Wanita Menjadi Kepala Negara

Ilustrasi. (mawarni-blog.blogspot.com)

Ilustrasi. (mawarni-blog.blogspot.com)

Syahida.com –  “Larangan wanita menduduki jabatan presiden (khalifah) atau jabatan kepala negara dan sejenisnya adalah dikarenakan umumnya kemampuan fisik wanita tidak sanggup untuk menanggung beban tersebut. Kami katakan ‘umumnya’, sebab ada pula beberapa orang wanita yang mempunyai kemampuan lebih dari laki-laki, seperti Ratu Saba’ yang kisahnya disebutkan di dalam Al Qur’an pada Surah An-Naml. Ratu Saba’ telah dengan sukses memimpin kaumnya meraih keuntungan dunia dan akhirat, dengan memeluk Islam dan bersama Nabi Sulaiman tunduk kepada Allah pencipta alam semesta. Akan tetapi, hukum dilahirkan dari kejadian yang jarang berlaku. Oleh sebab itu ulama melahirkan kaedah: Sesuatu yang jarang tidak mempunyai hukumnya.

Hadits yang diriwayatkan Imam Al Bukhari dari Abu Bakrah secara marfu’ yang berbunyi, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang mana urusan mereka dipimpin oleh wanita,” artinya pemimpin atas seluruh penduduk sebuah negeri atau jabatan kepala negara sebagaimana yang dapat dipahami dari kata-kata “amrahum” (urusan mereka) maksudnya adalah urusan kepemimpinannya mencakup semua urusan penduduk.

Jika kepemimpinannya terhadap sebagian urusan penduduk, maka tidak mengapa wanita menerima jabatan dimaksud, seperti jabatan memberi fatwa dan beritjtihad (menelurkan hukum), pendidikan, periwayatan dan pengajaran hadits, administrasi dan sejenisnya. Pada urusan-urusan ini wanita berhak atas jabatan tersebut berdasarkan kesepakatan ulama dan inilah yang dilakukan oleh manusia sepanjang masa.

Imam Al Ghazali juga menyebutkan, “Ulama telah melarang wanita untuk menerima jabatan besar dan kepemimpinan rakyat banyak. Ini yang dimaksud dalam hadits terkait. Sebab-sebab diriwayatkannya hadits ini pun dapat dipahami, sebagaimana yang dipahami dari sepenggal kalimatnya, “…yang mana urusan mereka dipimpin.” Pada riwayat lain, “Wanita memimpin mereka,” dan ini berlaku jika wanita telah menjadi ratu atau pemimpin negara yang memiliki kekuasaan mutlak atas rakyatnya. Dengan demikian urusan rakyatnya, keseluruhannya telah benar-benar dibawah pengaturan ratu dan presiden tersebut dan tidak ada sebuah hukum yang mampu mengamandemen keputusannya.

Sedangkan kepemimpinan wanita selain sebagai presiden atau jabatan yang semakna dengannya masuk dalam wilayah perselisihan ulama. [syahida.com]

Sumber : Kitab Wanita dalam Fiqih, DR Yusuf Qardhawi 

Share this post

PinIt
scroll to top