Orang yang Membaca Al-Qur’an Harus Tahu Bahwa Dirinyalah yang Menjadi Tujuan Seruan Al-Qur’an dan Ancamannya

Ilustrasi. (Foto: onislam.net)

Ilustrasi. (Foto: onislam.net)

Syahida.com – Dianjurkan untuk membaca Al-Qur’an dengan suara yang indah. Jika tidak bisa, diusahakan agar indah menurut kesanggupannya. Namun orang-orang salaf memakruhkan bacaan dengan lagu. Dianjurkan membaca dengan suara pelan-pelan dan tersembunyi. Disebutkan dalam sebuah hadist:

“Kelebihan bacaan secara pelan-pelan atas bacaan secara keras sama dengan kelebihan shadaqah secara sembunyi-sembunyi atas shadaqah secara terang-terangan.” (Diriwayatkan Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Jadi bacaan pelan-pelan yang bisa didengar sendiri. Memang bacaan secara keras diperbolehkan pada saat-saat tertentu untuk tujuan yang benar, seperti untuk menguji kebenaran hapalan, agar dia tidak malas dan mengantuk, untuk membangunkan orang-orang yang tidur. Tentang bacaan Al-Qur’an dalam shalat, mana yang harus dijelaskan dan mana yang harus disembunyikan, sudah dijelaskan dalam berbagai kitab fiqih.

Orang yang membaca Al-Qur’an harus melihat bagaimana kelembutan dan kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya, bagaimana Allah menyusupkan makna kalam-Nya ke dalam pemahaman mereka. Dia harus menyadari bahwa apa yang dibacanya bukan ucapan manusia. Karena itu dia harus merasakan keagungan Allah yang seakan berbicara dengannya dan sekaligus memahami kalam-Nya. Sebab pemahaman dan pengamatan merupakan tujuan dari bacaan. Jika tidak bisa paham kecuali dengan mengulang bacaan, satu ayat umpamanya, maka hendaknya dia mengulanginya.

Abu Dzar meriwayatkan dari Nabi SAW, bahwa beliau mendirikan shalat malam, dengan membaca satu ayat yang diulang-ulangi, yaitu, “Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau juga.” (Al-Maidah: 118)

Begitu pula  yang pernah dilakukan Tamim Ad-Dari dan Ar-Rabi’ bin Khaitsam saat membaca firman Allah dalam shalat malamnya,

“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka?” (Al-Jatsiyah: 21)

Orang yang membaca Al-Qur’an harus membuat gambaran yang pasti dan menyimak setiap ayat yang dibaca. Apabila dia membaca ayat, “Yang menciptakan langit dan bumi”, hendaklah dia menyadari keagungan-Nya dan memperhatikan kekuasaan-Nya atas segala sesuatu yang dilihatnya. Jika dia membaca, “Maka terangkanlah kepadaku tentang nuthfah yang kalian percayaka”, (Al-Waqi’ah: 58), hendaklah dia memikirkan air mani yang jumlahnya ribuan, lalu dari satu bagian dari malam ini, dibagi-bagi menjadi daging dan tulang, urat dan nadi, lalu membentuk bagian-bagian tertentu seperti kepala, tangan, kaki lalu badan yang utuh muncul sifat-sifat yang mulia, tangan seperti mendengar, melihat, berfikir dan lain-lainnya. Perhatikanlah dengan seksama semua keajaiban ini. Jika sedang membaca ayat-ayat yang menjelaskan para pendusta, maka hendaklah dia merasa takut dari murka dan kelalaian dalam mengikuti perintah.



Dia harus bisa melepaskan diri dari hal-hal yang bisa menghambat pemahaman, seperti membayangkan bahwa setan membuatnya tidak sanggup memahami satu huruf pun dan membelenggu pikirannya. Dia harus mengulang lagi bacaannya hingga hasratnya untuk memahami maknanya bisa pulih. Sebagai contoh, dia merasa terus-menerus melakukan dosa, atau memiliki sifat sombong atau tidak bisa melepaskan dari hawa nafsu. Hal ini menyebabkan hati yang pekat dan berkarat dan berkarat. Perumpamaannya seperti bercak-bercak di cermin, yang menghalangi kejelasan hakikat. Hati itu bisa diibaratkan cermin, dan nafsu, seperti halnya membersihkan permukaan cermin.

Orang yang membaca Al-Qur’an harus tahu bahwa dirinyalah yang menjadi tujuan seruan Al-Qur’an dan ancamannya. Kisah-kisah yang disebutkan di dalamnya, bukan untuk obrolan, tetapi sebagai pelajaran. Maka hendaklah dia membacanya dengan seksama lalu berbuat sesuai dengan petunjuknya. Perumpamaan pembaca Al-Qur’an yang durhaka sekalipun dia sudah membacanya berulang kali, seperti orang yang berulang kali membaca surat raja, lalu dia tidak mau mendukung kerajaannya. Apa yang diperintahkan dalam surat itu tidak mau dipelajarinya, sehingga dia tidak bisa melaksanakan perintahnya. Jika tidak mau memahami dan juga tidak melaksanakan perintah, berarti bisa dikatakan melecehkan dan bisa mendatangkan murka.

Dia tidak boleh merasa dirinya kuat dan perkasa, tidak boleh melihat dirinya sebagai orang yang suci, tetapi dia harus melihat dirinya sebagai orang yang serba memiliki keterbatasan. Hal ini bisa menyebabkan taqarrubnya kepada Allah. [Syahida.com]

 Sumber : MINHAJUL QASHIDIN, “Jalan Orang-Orang yang Mendapat Petunjuk”, IBNU QUDAMAH

Share this post

PinIt
scroll to top