Jaga Pandangan & Tutuplah Aurat, Tafsir Surat An-Nur ayat 31, Bagian: 2 (Habis)

mb4Syahida.com – Kedua, menggunakan penutup kepala yang menutupi wilayah pundak, leher dan dada, serta tidak menampakan lekuk-lekuk tubuhnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.” Beberapa kosakata penting untuk dijelaskan dalam ayat ini:

  1. Wal yadhribna, artinya menutup dengan maksimal tidak seperti wanita yang pura-pura atau setengah hati menutup auratnya. Mereka menutup kepala tetapi masih nampak pundak dan lehernya. Menutup tangan tetapi masih nampak pergelangannya. Jadi, wal yadhribna adalah benar-benar menutup dengan penutup yang longgar sehingga tidak nampak lekuk-lekuk tubuhnyaserta kuat sehingga tidak mudah tersingkap oleh angin.
  2. Al-khumur, bentuk jamak dari alkhimaar (tudung penutup kepala). Menggunakan kata jamak supaya mencakup pengertian bahwa tudung kepala tersebut longgar, tidak ketat, menutup pundak hingga ke dada, menutup lekuk payudara.
  3. Al-jayub, artinya lubang bagian atas pakaian. Darinya nampak leher dan bagian atas payudara. Dalam ayat ini ditegaskan agar tudung kepala tersebut menutupi secara longgar hingga ke wilayah dada, sehingga seandainya ia dalam posisi merunduk, lubang pakaian atas tersebut tidak terlihat karena tertutup tudung.

Ketiga, tidak menampakkan sebagian auratnya kepada orang-orang tertentu yang diizinkan syariat, itu pun dalam batas yang wajar. Allah berfirman:

“Dan janganlah menampakan perhiasan kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.”  Dalam ayat ini ada beberapa penjelasan:

  1. Maksud boleh menampakkan aurat adalah dalam batas wajar, bukan dalam pengertian vulgar.
  2. Kecuali ditakutkan terjadi fitnah, seperti kepada ayah suami atau putra-putra mereka, atau putra-putra saudara mereka, maka sebaiknya menutup aurat di depan mereka.
  3. Mengenai pelayan laki-laki, syaratnya ia bukan laki-laki yang mudah terpancing nafsunya karena melihat aurat wanita. Ia dibolehkan karena keseringan bolak-balik di dalam rumah sehingga sangat sulit menutup aurat di depannya setiap saat. Kata taani’iin artinya selalu bersama karena tidak punya tempat tinggal khusus.
  4. Kepada wanita kafir, hukum menampakan aurat adalah haram, sama haramnya dengan menampakkan aurat kepda laki-laki asing yang bukan mahram.
  5. Untuk anak kecil, sekalipun belum baligh, jika ternyata sudah mengetahui atau mengenal aurat wanita dan boleh jadi ada gairah dalam dirinya melihat aurat tersebut, maka para ulama fiqih mengatakan tidak diperkanankan menampakan aurat di hadapannya. Dalam ayat ini penting untuk dijelaskan mengenai kata ath-thifl yang bentuknya tunggal tetapi digunakan untuk makna jamak, ini nampak dari kata alladziina yang menunjukkan ism mawshul jama’. Maksudnya adalah untuk menggambarkan bahwa semua anak kecil tabiatnya sama secara umum, secara umum belum ada gairah untuk melihat aurat wanita. Adapun kata yadhharu dalam Al-Qur’an bisa berarti mengetahui atau menguasai
  6. Termasuk pelayan-pelayan wanita di rumah, jika ternyata masih muda dan bisa jadi jika menampakkan auratnya akan menyebabkan fitnah bagi laki-laki yang diam di rumah tersebut, maka ia hendaklah tetap menutup auratnya agar terjaga dari fitnah.

Keempat, tidak secara sengaja mengundang perhatian kaum laki-laki agar melihat dirinya dengan menggerakkan kakinya yang dihiasi gelang kaki sehingga bunyi gelang tersebut terdengar kemana-mana. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” Ketika seorang wanita di luar rumah berjalan dengan cara seperti ini tentu akan menyebabkan banyak fitnah. Tidak mustahil orang yang tadinya hati-hati dari dosa pandangan, akhirnya terpancing oleh gaya berjalan wanita tersebut.

Itulah rahasia mengapa pada penutup ayat, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan semua manusia bertobat. Firman-Nya,

“Dan bertobatlah kamu sekalian, kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” Kata jami’a (semua) menunjukkan betapa ketika seorang wanita mulai menggoncangkan kakinya dengan perhiasannya, yang akan terkena fitnah bukan hanya banyak orang tetapi semua orang. Biasanya yang berbuat demikian adalah wanita penari. Bisa dibayangkan bagaimana jika tarian tersebut disebarkan melalui media.

Dari ayat ini kita juga paham bahwa setiap anak Adam tidak akan terlepas dari dosa. Karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak segan-segan menerima tobat bila dilakukan dengan jujur dan sepenuh hati. Para ulama menyebutkan tiga syarat tobat: hendaklah ia melepas dosa tersebut, menyesal  akan dosa tersebut, dan bertekad untuk tidak mengulangi lagi serta bersungguh-sungguh mengisi sisa hidupnya dengan kebaikan.



Jika dosa tersebut berhubungan dengan makhluk, syaratnya ditambah dengan menyelesaikan hak makhluk tersebut. Bila ia berutang, hendaklah ia membayar utang itu terlebih dulu. Pun jika ia pernah menzaliminya, hendaklah ia meminta maaf kepada orang tersebut sebelum meminta ampun kepada Allah.

Dr. Amir Faishol Fath, MA

Pendiri Fath Institute dan rumah Tafsir Al-Qur’an, menyelesaikan pendidikan S1-S3 Ushuluddin bidang tafsir Qur’an di Interantional Islamic Univesity Islamabad, Pakistan.

[Syahida.com]

Sumber: Ummi No.7/ XXVI/ Juli 2014/ 1435 H

Share this post

PinIt
scroll to top