Mari Mulai Jaga Lisan

Ilustrasi. (Foto : lifehacker.com.au)

Ilustrasi. (Foto : lifehacker.com.au)

Syahida.com – Pernah dengar kalimat semacam ini, “Maklum ibu-ibu, suka banyak bicara”. Sebagai perempuan, setujukah Anda dengan ucapan demikian? Betulkah laki-laki lebih bisa mengerem bicaranya?

Dengan Ilmu, Lisan Selamat

Menurut Ustadz Ahmad Bisyri Syakur Lc, MA, dosen STID DI Al-Hikmah Jakarta, kecenderungan untuk banyak bicara tidak semata milik perempuan. Pengendalian lisan seseorang tergantung pada pendidikan orang tersebut. Laki-laki pun jika tidak berpendidikan akan sulit menjaga lisannya. Sedangkan perempuan yang berpendidikan biasanya lebih berkualitas bicaranya.

“Ini belum bicara pada tataran keimanan. Coba perhatikan orang kafir yang educated, bicaranya bermanfaat sesuai ilmunya. Bandingkan dengan orang Muslim yang tidak berpendidikan dan tidak berpengetahuan, bicaranya dan tidak berpengetahuan, bicaranya akan ngalor-ngidul tidak banyak manfaat,” jelas ulama lulusan Universitas As-Salafiah, Islamabad, Pakistan, ini.

Mengapa kaum perempuan sering menjadi ‘kambing hitam’ dalam masalah tidak bisa menjaga lisan? Dosen fiqih dan ushul fiqih ini memperkirakan, bisa jadi karena kebanyakan perempuan tidak disibukkan dengan pengetahuan, hanya sibuk mengurus rumah. Ketika pengetahuan minim, dia bicara yang diketahui saja. Ketika yang diketahui adalah kejelekan, itulah yang keluar dalam pembicaraannya.

Lisan yang tidak disibukkan dengan hal positif, maka dia akan sibuk dengan yang negatif. Salah satu cara agar sibuk dengan yang negatif. Salah satu cara agar sibuk dengan kebaikan adalah pendidikan. Sebaliknya, lisan yang banyak bicara akan mendatangkan banyak kerugian. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Tidak ada baiknya orang yang banyak bicara.” Umar bin Khattab radhiyallahu anhu pun berkata, “Barangsiapa yang banyak bicaranya, akan banyak kesalahannya.”

Simpan yang Didengar Jaga Gurauan

Menyampaikan atau membicarakan hal-hal terbaru yang belum banyak diketahui orang memang menarik. Tapi berhati-hatilah menyampaikan hal yang baru sekadar kita dengar, apalagi belum kita ketahui kejelasan masalahnya. Bahkan, apa-apa yang sudah jelas pun tidak selayaknya kita sampaikan pada sembarang orang, sesuai hadist Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Cukuplah seseorang itu telah berdusta, jika ia membicarakan setiap apa yang didengarnya,” (HR. Muslim).



Ini menjelaskan bahwa kita harus pandai menempatkan pembicaraan sebagaimana mestinya. Sebab, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun menegaskan, “Setiap tempat ada temannya, dan setiap tema ada tempatnya.”

Hikmah dari tidak membicarakan setiap yang didengar ini, jelas dosen di STEI SEBI ini, pertama, agar kita bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kedua, agar aib orang  tidak terbuka. Ketiga, penyelesaian masalah. Masalah yang tidak banyak dikomentari orang tak berkepentingan, biasanya akan lebih mudah diselesaikan. “Karenanya, bicaralah yang sistematis, tematik, itulah yang bagus!”

Berkaitan dengan gurauan, jika ada manfaatnya, tidak masalah. “Bercanda, kan diperbolehkan. Karena itu dari awal kita jelaskan bahwa ‘ini cerita fiktif, ya’ sehingga tidak jatuh dusta. Yang tidak boleh adalah jika bahan yang ditertawakan itu hal-hal negatif, misalnya porno,” tambah Ahmad Baisyri.

Menghindari dusta dalam bergurau sangat penting, karenanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewanti-wanti, “Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang-orang tertawa. Celakalah dia, dan celakalah dia!” (HR. Abu Dawud).

Adab Lisan Terjaga

Sebagaimana pentingnya ilmu dalam menjaga lisan, maka penting pula bagi kita mengetahui ilmu tentang adab penggunaan lisan sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

>> Selalu bersedekah melalui kalimat baik.

“Kalimat yang baik adalah sedekah. Dan setiap langkah yang ia langkahkan untuk shalat (berjamaah di masjid) adalah sedekah dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah,” (HR. Al-Bukhari).

>> Hindari perdebatan, walau benar.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjamin orang yang menghindari perdebatan akan mendapatkan surga. “Saya adalah penjamin di rumah yang ada di sekeliling surga bagi orang yang meninggalkan dusta, meskipun dia bergurau. Juga di surga yang tertinggi bagi orang yang baik akhlaknya,” (HR. ABU DAUD).

>> Tidak mengutuk dan bicara kotor.

Orang yang menggunjing atau merendahkan orang lain adalah tha’an, dan ini bukanlah sikap orang beriman. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Seorang Mukmin itu bukanlah seorang yang tha’an, pelaknat, (juga bukan) yang berkata keji dan kotor,” (HR. Bukhari).

>> Bersuara jangan terlalu keras.

Bersuara keras atau tertawa terbahak-bahak tidak mencerminkan adab yang baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan, “Dan rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai,” (QS. Luqman [31]: 19).

Gemar Bicara Alihkan dengan Cara Islami

Ustadz Ahmad Bisyri Syakur Lc, MA, penulis buku The Pocket Fiqh, berbagai kiat agar kegemaran seseorang dalam berbicara bisa tetap bermanfaat.

  1. Minta pertolongan Allah agar lisan terjaga dari dosa, dan basahilah ia dengan zikir.
  2. Beristighfar jika menyadari ada kekeliruan dalam ucapan, dan berjanji tak mengulangi.
  3. Cari pergaulan yang sehat yang positif, seperti berteman dengan orang penting, yang jelas kehidupannya di masyarakat. Orang penting hanya bicara yang penting. Jangan bergaul dengan orang yang gemar ngerumpi atau suka nongkrong di pinggir jalan, biasanya itu banyak membicarakan hal yang tak penting.
  4. Pandai-pandai membawa suasana pembicaraan. Maksudnya, jangan selalu menjadi objek atau pendengar dari sebuah pembicaraan, tapi harus lebih aktif dalam berbicara sehingga kita bisa mengendalikan mana pembicaraan yang pantas dan mana yang tidak.
  5. Sibukkan lisan dengan hal-hal yang bermanfaat. Jika tidak, otomatis ia akan sibuk dengan yang tidak bermanfaat. Perbanyak membaca daripada mendengar, dan lebih banyak mendengar daripada berbicara. [Syahida.com]

Sumber: Majalah Ummi No. 11 | XXIV

 

Share this post

PinIt
scroll to top