Suami Pelit!

Ilustrasi. (Foto : bayusatrya007.blogspot.com)

Ilustrasi. (Foto : bayusatrya007.blogspot.com)

Syahida.com – Bakhil atau pelit adalah bencana. Kasihan wanita yang diuji dengan suami yang bakhil. Semoga Allah menolongnya dan memberi petunjuk kepada suaminya.

Menafkahi istri hukumnya wajib menurut Al-Qur’an dan sunnah. Sungguh buruk jika seorang suami memiliki harta tapi bakhil kepada istrinya. Terlebih bila ia pelit kepada istri, namun menghamburkan uang untuk hal yang tidak jelas.

Berapa banyak rumah tangga yang tidak bahagia lantaran kekikiran suami dalam memberi nafkah.

Penting diketahui, di antara hak istri yang harus dipenuhi suami adalah memberi nafkah dengan baik sesuai dengan kemampuan dan kelapangan rezekinya. Bertakwa kepada Allah dalam mengurusi istri dan anak-anaknya. Jika suami tidak baik pemahaman agamanya, tentu suami yang bakhil akan mengklaim bahwa segitulah kemampuannya. Sebab, Allah berfirman:

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang di sempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (Ath-Talak: 7)

Kemudian, apa dosa istri yang tidak pernah mengeluhkan permasalahan nafkah sedikit pun, sehingga ia harus diuji dengan suami yang pelit dan kenapa si suami menikahinya?

Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah pernah berkhotbah:

“Bertakwalah kepada Allah dalam mengurus istri karena mereka adalah (seperti) tawanan kalian. Kalian telah menjadikan mereka istri-istri dengan amanat dari Allah. dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah untuk mereka. Kalian harus memberi mereka makan dan pakaian mereka dengan cara yang baik.”



Wahai orang bakhil yang malang, nafkahilah keluargamu, insya Allah Anda akan diberi pahala sebelum mati, dan Anda berdosa karena kebakhilanmu, kemudian keluarga dan anak-anakmu menikmati hartamu. Kalau begitu, amalan apa yang telah Anda usahakan?

Sikap banyak mencela dan mengkritik istri akan merenggangkan hubungan suami-istri dan menimbulkan kebencian.

Sudah menjadi kewajiban suami untuk menerima alasan istri dan berprasangka baik kepadanya. Jika mendapati sesuatu yang mengharuskannya untuk mengkritik, hendaklah ia mengkritik dengan rasa cinta. Yaitu, kritikan yang lembut dalam menyampaikannya.

Adapun yang lebih baik adalah melupakan dan menganggap kesalahan istri sebagai angin lalu. Jika selalu memperhitungkan setiap masalah, seluruh hidupnya akan menjadi keruh dan sengsara.

Berikut ini beberapa faktor yang dapat membantu suami bersikap proposional dalam mencela istrinya:

1. Jangan lupa bahwa istri juga manusia biasa yang bisa berbuat benar dan salah. Karena itu, suami tidak akan pernah menemukan setiap yang diinginkannya pada diri istrinya. Suami harus menerima alasan sendiri. Sebab, terkadang ia juga berbuat benar dan salah, sedangkan kesempurnaan hanyalah milik Allah.

2. Menghias diri dengan akhlak yang baik serta selalu mengharapkan pahala dan kemuliaan dari akhlak tersebut di sisi Allah.

3. Tidak melupakan tabiat wanita dan bagaimana Rasulullah telah mewasiatkan dengan keras tentang perihal wanita, sebagaimana yang disebutkan didalam hadits.

Berwasiatlah kepada wanita, karena mereka diciptakan (oleh Allah) dari tulang rusuk, dan sungguh, bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian yang paling atas.”[1]

4. Segera meminta maaf kepada istri jika kritikannya diiringi lafal yang melukai perasaan. Selain itu, suami harus segera mengakui kesalahannya karena hal itu termasuk sifat orang yang mulia.

Ibnu Hibban radhiyallahu ‘anhu berkata, “Siapa yang bergaul dengan manusia tanpa mengabaikan hal-hal yang disenangi maka hidupnya akan lebih dekat dengan kekeruhan daripada kejernihan; permusuhan dan kebencian daripada persahabatan dan kecintaan yang ia dapatkan dari mereka.”[2] [Syahida.com]
Sumber: Buku Suamiku, Dengarkanlah Curahan Hatiku. Isham Muhammad Syarif.

 

[1] HR. Bukhari dan Muslim

[2] Lihat Raudhatul ‘Uqala, hlm 72.

Share this post

PinIt
scroll to top