Laki-Laki dan Perempuan, SETARA Tapi Tidak SAMA

Ilustrasi. (Foto : insistnet.com)

Ilustrasi. (Foto : insistnet.com)

Syahida.com – Gugatan atas persamaan hak, selalu menjadi tema utama feminisme. Lalu mereka lupa berbuat baik dan memberi manfaat pada banyak orang.

Feminisme seringkali disinonimkan dengan kalimat pemberdayaan kaum perempuan. Tapi benarkah pemberdayaan kaum perempuan yang dihasilkan feminisme? Dan kenapa pula harus menjadi feminis untuk berdaya?

Tuntutan kesetaraan adalah agenda besar dalam gerakan feminisme. Mereka memperjuangkan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Tapi banyak yang lupa, bahwa setara tak selalu sama. Setara tak selalu sebanding dan lurus simetris. Selalu ada perbedaan dalam kesetaraan. Dan kesetaraan muncul justru dari perbedaan.

Ustadz Shamsi Ali, Imam Islamic Center of New York, saat Aminah Wadud menggelar shalat Jum’atnya, mengirim sebuah e-mail panjang ke SABILI. Sebuah intisari dari khutbah Jum’at yang ia sampaikan di New York tanggal 11 Maret 2005 silam. Sebuah ceramah khusus darinya menanggapi Aminah Wadud. “Jika kaum laki-laki menuntut emansipasi untuk hamil, melahirkan, menyusui, sampai kiamat mereka tidak mendapatkan hal-hal itu.” Tulis Ustadz Shamsi dalam emailnya.

Satu dari sekian banyak ilustrasi yang dituliskan Ustadz Shamsi Ali adalah kisah Adam dan Hawa di surga. Dalam kisah tersebut, Adam dan Hawa berada pada posisi yang setara. Keduanya setara dalam menikmati kenikmatan surga. Keduanya setara mendapatkan aturan yang sama, dilarang memakan buah khuldi. Tapi iblis menggoda, dan keduanya mendapat sanksi yang setara. Tapi, ketika keduanya memohon ampun, keduanya mendapat ampunan yang setara.

Keduanya, Adam dan Hawa, laki-laki dan perempuan, posisi yang setara dalam kenikmatan, setara dalam kewajiban, juga setara atas sanksi dan hukuman.

“Tapi tidak banyak orang yang memahami secara utuh konsep Islam atas kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sebagian menganggap Islam diskriminatif pada perempuan karena imam shalat hanya diperbolehkan bagi kaum laki-laki,” tulis ustadz berdarah Makassar yang telah menetap di negeri Paman Sam.

Dalam kasus Aminah Wadud, ia tampaknya alpa memahami, menjadi imam atau tidak, menjadi imam atau tidak sama sekali bukan ukuran inferioritas atau superioritas. Justru dalam kasus seperti ini, kehormatan atau kehinaan ditentukan oleh taat atau tidak kita pada aturan. “Kemuliaan seseorang ada pada ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya,” tulis Ustadz Shamsi menutup e-mailnya.



Dan begitulah adanya, hanya kemuliaan untuk perempuan-perempuan dalam Islam. Jika kini banyak yang menuntut dan menuduh Islam Penuh diskriminatif terhadap hak-hak perempuan, sesungguhnya, mereka sama sekali tak memahami nilai-nilai Islam.

Dalam keterangannya, Ustadzah Lutfiah Sungkar justru, orang-orang yang meninggalkan Al-Qur’an untuk mencari penjelasan, adalah mereka yang sama sekali tidak menghargai kemajuan. “Mengkaji Al-Qur’an adalah mempelajari sesuatu yang modern. Meninggalkan Al-Qur’an diturunkan mengubah segala sesuatu menjadi cerah, termasuk pemikiran. Jangan lupa, hidup tidak berjalan mundur. Kehiduan ada di belakang kita sedang menuju kematian. Jangan salah!” ujar Lutfiah sungkar memperingatkan.

Prof. DR. Chamamah Soeratno, Ketua Aisyah, oraganisasi Muslimah dari Muhammadiyah, menambahkan hal yang sama. Baginya, setiap gerakan, termasuk gerakan kaum Muslimah, harus berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah. “Kita tidak akan sesat selama berpegang pada dua hal tersebut,” cetusnya.

Menurut kajian Prof. Chamamah, Islam menempatkan laki-laki dan perempuan tidak pada relasi hierarkis. “Masing-masing mempunyai tanggung jawab dan keunggulan. Meski Allah menciptakan manusia dengan dua kelamin, masing-masing memiliki peran sendiri. Sesuai dengan kondisinya,” jelas Chamamah pada SABILI.

Chamamah mengusulkan satu langkah riil untuk kaum Muslimah di Indonesia. Khususnya para keluarga Muslim, daripada memikirkan dan menggugat segala sesuatu tentang perempuan, lebih baik bersama-sama mempromosikan keluarga sakinah. “Sebab, seandainya kita berada dalam suasana keluarga yang sakinah, mawaddah dan penuh rahmah, pasti tidak diperlukan undang-undang kekerasan dalam rumah tangga, atau kekhawatiran terjadinya diskriminasi pada perempuan.

Setuju profersor. Daripada menggugat dan mempersoalkan sesuatu yang tak wajar, lebih baik membangun kebaikan. Memperbanyak manfaat dan melahirkan karya terbaik untuk umat. Perbanyak lampu dan lentera, insya Allah kegelapan akan terusir dengan sendirinya. Bagaimana jika memulai dari sekarang? [Syahida.com]

Sumber: Sabili No. 21 Th.XII 5 Mei 2005/26 Rabiul Awal 1426

Share this post

PinIt
scroll to top