Mengapa Kita Tidak Bisa Merasakan Arti Cinta, Kecuali Setelah Kita Kehilangannya?

Ilustrasi : (Foto : pixabay.com)

Ilustrasi : (Foto : pixabay.com)

Syahida.com –  Tiba-tiba, istrinya menjerit kesakitan. Secepat kilat, dia berlari menuju sumber suara. Dia melihat istrinya tergeletak di lantai mengerang kesakitan. Dengan segera, dia menelepon mobil ambulan sambil berusaha mengurangi rasa sakit di perut istrinya.

Seketika itu juga, terlintas berbagai macam fikiran di benaknya. Dia teringat kemarin mereka baru saja bertengkar dengannya karena masalah sepele. Dia juga teringat dengan perkataan yang pernah dia ucapkan pada istrinya, bahwa dalam beberapa bulan terakhir merasa terganggu dengan ucapan dan gaya hidupnya. Dia ingat berapa banyak memarahi istrinya, menyakitinya, dan mengucapkan kata-kata yang membuatnya bersedih.

Dia tidak mampu menahan air matanya yang menetes, membanjiri tubuh istrinya yang tergeletak lemah tak berdaya dalam pelukannya; mengungkapkan beribu-ribu perasaan yang tersimpan dalam lubuk hatinya.

Dia berteriak, “Jangan tinggalkan aku…!”

Dia memanggil, mengharapkannya kembali karena tidak mampu hidup tanpa kehadirannya.

Dia memanggil dengan penuh kemesraan…

Namun, jasad itu telah diam untuk selamanya. Dia baru menyadari perasaannya yang telah lama mati setelah semua tidak berarti lagi…

Kisah di atas membuat saya bertanya-tanya:



Mengapa kita selalu menunggu bencana untuk mengetahui betapa berharganya sesuatu yang ada di hadapan kita?

Mengapa kita tidak tahu arti kesehatan, kecuali setelah kita sakit?

Mengapa kita tidak bisa merasakan arti sebuah cinta, kecuali setelah kita kehilangannya?

Mengapa kita tidak bisa merasakan nilai persahabatan, persaudaraan, keindahan, dan pergaulan, kecuali di saat semuanya telah sirna?

Pertanyaan lain yang tidak kalah pentingnya,

Mengapa kita tidak peduli dengan masalah-masalah yang selalu kita temui setiap hari, yang kita lihat sebagai masalah yang sangat mengerikan dan gawat, kecuali setelah kita menghadapi musibah?

Mengapa kita selalu menyepelekan masalah-masalah yang ringan?

Wahai para suami dan istri yang bijaksana…

Perhatikan nikmat yang ada di hadapan Anda sekarang, anugerah Allah yang telah diturunkan kepada Anda dan pada semua orang yang ada di sekitar Anda.

Rabbi awzi’ni an asykura ni’mataka

‘Ya Allah, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu’

Segala permasalahan kita akan berkurang, selama kita bisa merasakan nikmat-nikmat itu.

Kita akan menyayangi orang-orang yang ada di sekeliling kita karena kita sadar dan yakin kehidupan ini hanya sementara. Sangat rugi jika kita kehilangan kehidupan ini hanya karena keluhan, pertengkaran, dan pertikaian.

Kita akan merasa bahagia saat menyadari hidup ini sangat berharga. Lebih berharga dari sekedar membual dan omong kosong belaka.

Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim [14]: 7)

Kita harus banyak bersyukur kepada Allah atas nikmat rumah yang kita tempati meskipun sederhana. Kita harus banyak bersyukur kepada Allah atas nikmat lemari es yang penuh berisi makanan yang beraneka macam, atas nikmat anak yang dilahirkan dengan selamat, atas nikmat sahabat yang menyayangi kita….

Sungguh, merasakan segala nikmat Allah, mengetahui hakikat hidup yang kita jalani ini, dan memahami sunnatullah di alam ini merupakan langkah awal untuk meraih hidup yang bahagia.

Ibnu ar-Rumi menggambarkan dengan indah dalam syairnya:

Apa jadinya jika Allah tidak menyelimutimu dengan jubah

kesehatan

Tidak pernah kurang makanan yang datang dan pergi

Jangan iri dengan orang-orang yang berkecukupan sebab

Mereka

Hanya sekedarnya saja karena masa akan merenggutnya

Pencerahan!

Qana’ah dan tamak adalah kaya dan miskin. Berapa banyak orang miskin lebih kaya dari Anda dan berapa banyak orang kaya lebih miskin dari Anda.

Penjara terkejam di dunia adalah pikiran buruk yang ada di setiap diri manusia

 

Sumber : Kitab Teruntuk Sepasang Kekasih, Karim Asy-Sadzili

Share this post

PinIt
scroll to top