Sombong Dalam Beragama (Bag-2): Hati Menjadi Keras dan Suka Menjatuhkan Orang Lain

Ilustrasi. (Foto: theoutcast1821.deviantart.com)

Ilustrasi. (Foto: theoutcast1821.deviantart.com)

Syahida.com – Kita lanjutkan pembahasan tentang kesombongan dalam beragama pada bagian ke-2 ini.

Ego, hanya dapat diukur oleh dirimu sendiri. Karena tidak seorangpun yang bisa melihat atau menilai hal ini untukmu. Ketika ego itu ada dalam dirimu, maka sebaik apapun tampilan luarmu, itu tidak akan berarti, kalau hatimu buruk. Allah SWT berfirman, “Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. 26. 89). Kita harus memperbaiki diri kita, dan menghapus ego dalam diri.

 

Tips Mendeteksi Ego

Ini adalah beberapa cara untuk mengetahui apakah kamu orang yang memiliki ego atau tidak.

Pertama adalah, lihatlah jika ada seseorang yang menasehatimu, lalu bila kamu merasa tersinggung dan justru merendahkan orang yang menasehati, seperti, “Memangnya kamu siapa menasehati saya?”, “Siapa dia sampai berani menasehati saya seperti itu?”. Jika itu adalah reaksi pertamamu ketika menerima nasehat, maka kamu dipastikan punya masalah dengan ego. Meskipun apa yang dikatakan orang itu tidak benar, dan tidak seharusnya ia mengatakannya kepadamu, tapi jika reaksi pertamamu ketika mendengarnya adalah “Siapa dia sampai berani menasehati saya seperti itu?”. Seharusnya reaksi yang baik adalah, “Ya, mungkin yang disampaikannya ada benarnya juga.” Atau “Mungkin Allah sedang menasehatiku melalui dia.” Jangan sampai kamu berpikir, bahwa memangnya siapa dia sampai berani mengatakan hal itu padamu. Lebih baik kamu mengambil sisi baiknya. Ambil nasehat baiknya dan buang yang jeleknya. Reaksi seperti itu lebih baik.

Kedua, kalau kamu selalu ingin memotong pembicaraan orang lain, jika kamu selalu ingin saranmu didengarkan, atau jika kamu merasa tersinggung saat saranmu tidak diambil pada akhir keputusan syuro, maka kamu memiliki masalah dengan ego. Khususnya dalam urusan agama, urusan masjid, ketika sedang bermusyawarah, lalu saranmu tidak dipakai dan justru saran dari orang lain yang dipakai. Karena seharusnya kita syuro karena Allah, bekerja untuk masjid karena Allah. Ketika kamu memberikan saran, itu juga karena Allah. Kamu memberikan saran bukanlah demi dirimu sendiri. Mengenai apakah saran itu akan dipakai atau tidak, itu bukan tujuanmu. Saranmu diterima atau tidak, Allah sudah mencatatnya sebagai kebaikan. Jadi itulah yang terpenting. Kalau kamu tersinggung karena saranmu tidak dipakai, maka niatmu bukan karena Allah.

Ini adalah tes yang sulit untuk diukur, tapi kita harus memeriksanya pada diri kita masing-masing.



HATI MENJADI KERAS

Lalu masalah selanjutnya adalah, dari luarnya tampak beragama, terlihat tidak ada masalah, terlihat memiliki ilmu agama, punya kemampuan berbicara yang baik, penampilannya juga baik, dan orang-orang yang melihatnya akan memujinya sebagai orang yang sholeh. Dari penampilannya terlihat sangat baik, tapi di dalamnya ada hati yang sombong dan hati yang keras.

Hati menjadi keras, ketika hati tak lagi tergerak ketika mendengar ayat-ayat Qur’an. Rasanya sudah lama sekali kamu tidak menangis dalam sholatmu. Kamu mungkin sering mendengar Al Qur’an, tapi sayangnya yang terlintas di pikiranmu hanya,”Oh, saya sudah tahu itu.”, “Saya sudah pernah dengar itu.”

Ketika sholat, yang terlintas dalam pikiranmu adalah, “Tajwidnya kurang pas.”, “Kurang panjang Mad nya.” Hanya itu yang terlintas dalam pikiranmu ketika shalat.

Itulah ciri-ciri orang yang hatinya keras. Bacaan Qur’an dan tajwidnya baik, tapi hanya sekedar lewat, dan tidak mampu menggetarkan hatimu. Ilmu agamamu bertambah, kamu terlihat sangat sholeh, tapi saat kamu sendirian, kamu melakukan maksiat yang sampai-sampai mungkin orang tak akan bisa membayangkan orang sepertimu melakukannya. Ketika kamu sendirian, kamu berubah menjadi orang lain. Untuk penyakit yang seperti ini, tidak ada orang lain yang dapat memperbaikinya, karena tidak ada yang dapat melihatnya kecuali dirimu sendiri. Yang bisa mendeteksinya, hanya dirimu sendiri karena ada di dalam dirimu.

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS al-Hadid [57]: 16).

Allah Azza wa Jalla berfirman dalam Surat Al Hadid. Allah berbicara kepada para ahli kitab, lalu Allah berbicara pada kita. Firman-Nya, dalam Surat Al Hadid ayat 16, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, agar tunduk hati mereka untuk mengingat Allah…….”  Hati mereka merasa terkuasai, hati mereka seharusnya menjadi lunak. Ketika kamu merasakan otot-ototmu menjadi lemah, itulah khusyuk yang sebenarnya karena perasaanmu terkuasai oleh takut kepada Allah SWT. Hati kita seharusnya melunak karena perasaan takut kepada Allah.

Selanjutnya, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, agar tunduk hati mereka untuk mengingat Allah dan tunduk pada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)”. Kebenaran apa yang turun itu? Ini merujuk pada Qur’an dan lalu Allah memberikan peringatan dalam ayat yang sama, Ia firmankan, “dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya yang telah diturunkan Al Kitab kepadanya, setelah berlalu masa yang panjang lalu hati mereka menjadi keras.” Jangan seperti para ahli kitab, yang mereka berpegang kepada kitabnya lalu berlalulah masa yang panjang, kemudian hati mereka menjadi keras. Ini sama seperti ketika seseorang yang dengan bersemangat kembali pada agamanya, tapi lalu semangat itu hilang dan yang tersisa hanya penampilan luarnya saja. Agama hanya menjadi rutinitas. Karena sudah terbiasa melaksanakannya, hati menjadi keras, hati tidak tergerak. Ketika hati menjadi keras, maka sangat mudah bagimu untuk berbuat zalim.

Oleh karena itu kelanjutan ayat itu adalah “Dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang fasiq.” Ayat ini memang diakhiri dengan ‘para ahli kitab’, tetapi ayatnya dimulai dengan “orang-orang yang beriman”. Sehingga ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang mengaku beriman tapi lalu hati mereka menjadi keras. Penyakit kerasnya hati ini tidak ada yang bisa mendeteksinya kecuali dirimu sendiri. Apakah kamu rendah hati pada orang lain, tidak ada yang dapat mengetahuinya, kecuali kamu sendiri. Kalau kamu merasa hatimu sudah menjadi keras, Allah berfirman bahwa jangan kamu berputus asa.

Suka Menjatuhkan Orang Lain 

Penampilan luas yang agamis, terkadang terlihat sangat ‘menakutkan’. Akan sulit untuk berdialog dengan mereka. Kita mungkin takut ketika berada di dekatnya, karena kamu mengetahui bahwa mereka akan mengeluarkan kata-kata yang menjatuhkanmu. Sering para muslimah yang belum memakai jilbab, mereka lebih baik memilih jalan lain demi untuk menghindari muslimah yang sudah memakai jilbab karena takut akan dikatakan sesuatu yang tak enak. Dan ini benar adanya, bahwa ada sebagian orang yang sukanya menjatuhkan orang lain, mereka sombong. Dirinya lupa darimana ia berasal, bahwa Allah yang membimbingnya, menyelamatkannya saat sudah di tepi jurang neraka. Bila melihat orang yang bermaksiat, mereka serta merta akan berkomentar yang menjatuhkan. Wallahi, memangnya kalian dulu tidak begitu juga? Seharusnya kamu ingat akan pertolongan Allah padamu.

“Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.  Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (di masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara.  Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS 3 Ali ‘Imran : 103)

Jadi untuk memiliki rasa kasih sayang, hati yang bersatu, kamu juga harus selalu ingat bahwa dulunya kamu juga pernah ada di tepi jurang neraka itu, kemudian kamu diselamatkan Allah, dan itu bukan karena kamu hebat. Itu adalah pertolongan Allah atasmu. Bagaimana bisa, kamu berani melihat orang yang berdosa dengan pandangan seperti itu padahal dulunya kamu juga begitu. Kesombongan ini sangatlah buruk dan dapat menghapus amal baikmu.

Sering terjadi pula, saat seorang muslim masuk ke perdebatan, tentang berbagai topik, misalnya tentang ketuhanan, fiqih, atau apapun masalah itu, akar masalahnya sebenarnya adalah ego. Sayang sekali, saat seseorang membicarakan ulama, tapi mereka menyamakannya seperti mereka membicarakan seorang atlet. “Aku tidak suka ulama itu, dia itu sesat.” Subhanallah, apakah kamu tidak tahu dia adalah orang yang pergorbanannya sangat besar di jalan Allah, walaupun mungkin kamu tidak sepemahaman dengannya. Ulama itu meninggalkan rumahnya, dan melakukan perjalanan jauh ke berbagai belahan dunia untuk menimba ilmu dan menghabiskan banyak malam untuk ibadah, untuk belajar agama, lalu tiba-tiba kamu yang belum apa-apa, sudah langsung mengomentarinya seperti itu.

Ketika kamu memiliki pendapat yang berbeda dengan muslim lain, lalu kamu pikir mereka salah, kamu tidak seharusnya langsung menyimpulkan mereka masuk neraka. Seharusnya kamu bersikap tulus kepada mereka, dan tidak membicarakannya kepada orang lain. Itu yang seharusnya kamu lakukan bila kamu tulus mengkhawatirkan akhirat mereka. Langsung bicara kepada orang yang dimaksud, bukan pada orang lain. Tapi sayangnya yang terjadi, kamu malah menunjukkan ketidaktulusan, dengan mencari pendukung sendiri, memihak kepentingan diri sendiri dan kamu terus membicarakannya kepada orang lain. Ini akhlaq yang sangat kekanakan. Kesombongan dan ego, inilah penyebab itu semua. [ANW/Syahida.com]

Bersambung….

 

Share this post

PinIt
scroll to top