Menghafal Al Qur’an Bukan Sekedar Untuk Hafal, Tetapi Untuk Semakin Dicintai Allah

Ilustrasi. (Foto: inet)

Ilustrasi. (Foto: inet)

Syahida.com – Ustadz Deden Deden Makhyaruddin, juara satu pada Musabaqah Tahfiz, Tajwid, dan Tafsir Al-Quran (MTQ) Internasional untuk kategori bergengsi lomba hafalan Qur’an 30 juz dan tafsirnya dalam memperebutkan Piala Raja Mohammed VI ke-6, yang diadakan pada 4-7 Februari 2011 di Casablanca, Maroko. Beliau sudah hafal Quran hanya dalam waktu 19 hari, hafalan melekat dalam 56 hari. Jadi tidak sampai 2 bulan, hafalan itu melekat. Penyebabnya, Ustadz Deden menikmati dalam menghafal Al Qur’an. Berikut ini adalah penuturan beliau:

Kalau menghafal Al Qur’an tidak nikmat, berarti tujuannya bukan Allah. Kita menghafal Al Qur’an bukan sekedar untuk hafal, tetapi untuk semakin dicintai Allah. Kalau kita yakin Al Qur’an adalah kalamullah, mestinya nikmat. Untuk hafal Al Qur’an, tidak harus memahami, tidak harus berpikir, tapi cukup seyakin-yakinnya bahwa yang dibaca adalah kalamullah.

Menghafal Al Qur’an pun syaratnya tidak harus muda, sebagaimana syarat untuk mati tidak harus tua. Kalau sudah dapat nikmatnya, maka apapun yang terjadi, sudah dekatnya dengan Allah melalui jalur menghafal ini, apapun yang terjadi, apakah dikasih hafalankah oleh Allah, dikasih mudahkah oleh Allah, maka semuanya akan sangat menyenangkan.

Tujuan kita semua adalah Allah. Setiap ayat, ketika kita menghafal Al Qur’an kemudian ayat itu sulit dihafal, dihafal lalu satu jam lagi lupa, dihafal lagi lalu sejam kemudian lupa lagi, maka ketahuilah itu bukan ayat yang sulit, tapi ayat yang sedang kangen kepada kita.

Kata ayat, “Sudah, jangan pindah dulu, bareng sama saya saja sebulan deh.” Dan, kalau tujuannya Allah, saat-saat terdekat seorang penghafal Al Qur’an dengan Allah adalah saat-saat dikangenin ayat itu.

Menghafal Al Qur’an yang nikmat, pertama, adalah menghafal Al Qur’an yang menghitung waktunya, bukan menghitung ayatnya. Bukan berapa ayat dalam satu waktu, tapi berapa waktu untuk satu ayat. Menghafal Al Qur’an nikmat. Kalau seseorang sudah punya waktu rutin satu hari satu jam saja, maka bisa hafal Al Qur’an.

Menghafal Al Qur’an yang nikmat adalah ibarat metode argo taxi. Kalau sedang macet, maka argo berjalan menghitung menit. Kalau sedang lancar, maka argo berjalan sesuai kilometernya. Makanya, selama ada penumpang, supir taxi tidak pernah stres. Karena semacet apapun argo tetap berjalan. Menghafal Al Qur’an yang komit dengan waktu, saat macet pun, yang penting durasinya selesai, misalnya menghafal satu jam sehari, lalu satu jam tidak dapat apa-apa, maka bukan masalah, yang penting satu jam itu penuh untuk menghafal Al Qur’an. Dan tidak ada ceritanya orang yang komitmen dengan durasi menghafal Qur’annya, menjadi sulit menghafal. Banyak keluhan,“Sulit menghafal”, “Sulit istiqomah”, itu sebenarnya bukan sulit menghafal tapi karena memang belum bisa menjaga waktunya.

Allah telah mengukur panjangnya malam, mengukur panjangnya siang, untuk cukup digunakan durasi Al Qur’an. Kalau orang sibuk, lalu mengaku tidak punya waktu, “Durasi saya habis ini untuk pekerjaan-pekerjaan”, maka sebenarnya tidak bisa, karena sebenarnya Allah sudah mengukurnya.



Bahkan di dalam surat Al Muzzamil ayat 20 ini dijelaskan, Allah SWT berfirman, “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit, tetapi sakit bukan alasan untuk mengabaikan durasi Qur’annya, durasi sesuai sakitnya. Tentu durasi orang yang sakit dan orang yang sehat, berbeda. Yang penting tidak ada alasan untuk mengabaikan durasi itu.

Bahkan kata Allah dalam Surat Al Muzzamil pun, “dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” Allah pun tahu diantara kamu akan ada orang yang sibuk sekali. Keluar kota, berbisnis, tetapi kesibukan berbisnis itu sama sekali bukan alasan untuk mengabaikan durasi Al Qur’an. Ada lagi yang sibuk karena berperang di jalan Allah, berjihad, “dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah“. Misalnya, sedang membantu di Syam, tetapi kesibukan itu, bukan alasan untuk mengabaikan durasi Al Qur’an.

Kalau sudah punya durasi, komitmen durasi, maka satu hari satu jam saja. Tetapi satu jam itu durasi untuk orang sibuk, durasi orang yang sibuk berjihad, bolak balik keluar kota, untuk mencari rezeki, politisi, da’i, maka itupun tidak bisa mengabaikan durasinya, dan durasinya saya kira satu jam itu sudah untuk orang sibuk (kalau tidak sibuk, bisa lebih lagi durasinya).

Nikmatnya menghafal Al Qur’an, yaitu menghitung durasi, bukan menghitung ayat. Jadi setoran program nikmatnya menghafal Al Qur’an, bukan sekedar setoran jumlah hafalan.  Saat penghafal Al Qur’an akan setoran maka patokannya bukan jumlah ayat. Kalau seorang peserta penghafal Al Qur’an, ketika ditanya durasinya satu minggu ini ternyata bolong-bolong, tetapi ayatnya dapat, maka itu nilainya merah.

Orang yang menghafal Al Qur’an dengan durasi yang bolong-bolong, tidak akan bisa istiqomah di kemudian hari. Tetapi dengan durasi ini maka terlatih dari awal untuk bisa istiqomah. Bila saat setoran tidak ada ayat yang hafal, tetapi durasinya alhamdulillah full, meskipun dalam kesibukan  yang luar biasa, nah, itulah baru yang namanya jempol. Sudah ada darah hafidz dalam dirinya.

Yang kedua, bukan untuk diburu-buru, bukan juga untuk ditunda-tunda. Insya Allah mulai hari ini, sedekahkan waktu satu jam sehari, untuk Al Qur’an. Kalau kita katakan,”Insya Allah tanpa menunda”, maka sudah ada darah hafidz, darah quran dalam diri kita semua.

Menghafal Al Qur’an diburu-buru itu tidak nikmat. Kenapa kita merasa bosan menghafal Al Quran, merasa capek, lelah? Karena targetnya bukan Allah, tapi targetnya ujung ayat. “Saya akan berhasil menghafal Al Quran apabila selesai sampai ujung ayat”. Padahal bukan begitu, seharusnya, “Saya akan berhasil menghafal Al Qur’an apabila sampai sebelum ujung ayat, saya sudah bertemu Allah.”

“Aku capek” karena sesungguhnya Al Qur’an adalah ‘alamal Qurana yang menjadikan kita hafal, bukan kita, tetapi Allah, makanya kalau ingin hafal, dekati Allah melalui ayat-ayat itu.

“Sesungguhnya Kamilah Yang berkuasa mengumpulkan al-Quran itu (dalam dadamu).” (QS. Al Qiyamah: 17). Jadi jangan terburu-buru. Santai saja. Kalau sudah begitu, maka menghafal Al Qur’an ini akan menjadi sangat nikmat dan ini sebenarnya yang dilakukan oleh para sahabat dahulu; yang penting durasinya selesai.

Bahkan ada sebuah riwayat bahwa ada dua orang sahabat yang sholat malam sepanjang malam, yang satu, sholat malamnya selesai satu Al Qur’an, seluruhnya dan yang satu  lagi selesai surat Al Baqarah, tetapi kata Rasul, pahala dua orang yang mengerjakan sholat malam ini, sama. Padahal yang satu selesai seluruh Al Qur’an, yang satu lagi, selesai surat Al Baqarah, tapi pahalanya sama. Rupanya, pahala dari Allah, untuk orang yang membaca Al Qur’an itu, bukan jumlah ayatnya saja, tetapi juga durasinya. Makanya kalau tidak hafal ayat, maksimal durasinya selesai. Dan memang itulah untuk tetap istiqomah, yang paling utama adalah durasinya. [Syahida.com/ANW]

Share this post

PinIt
scroll to top