Masalah Ujub (Ketaajuban terhadap Diri Sendiri) dan Cara Mengobatinya

Syahida.com – Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda:

Ilustrasi. (Foto: generationxpose.com)

Ilustrasi. (Foto: generationxpose.com)

Selagi seseorang membangga-banggakan dua lembah mantelnya dan dia ujub terhadap dirinya sendiri, tiba-tiba Allah memutarbalikkan bumi karenanya sehingga dia terguncang-guncang di atas bumi hingga Hari Kiamat.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

Beliau juga bersabda,

Tiga perkara yang merusak, yaitu: Kikir yang dituruti, nafsu yang diikuti dan ketaajuban seseorang terhadap diri sendiri.” (Diriwayatkan Al-Bazzar dan Abu Nu’aim).

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a, dia berkata, “Kebiasaan itu terletak pada dua perkara, yaitu: Ujub dan putus asa. Dua hal ini dipertemukan, karena kebahagiaan tidak akan bisa diraih kecuali dengan mencari dan tekun. Orang yang putus asa tidak mau mencari. Sedangkan orang yang ujub mengira bahwa dia telah mendapatkan apa yang dikendakinya, sehingga dia tidak mau berusaha lagi.

Mutharrif Rahimahullah berkata, “Aku lebih suka tidur malam lalu menyesal, daripada shalat malam hari lalu aku ujub.”

Ketahuilah  bahwa ujub itu bisa berubah menjadi takabur, karena ujub merupakan salah satu penyebab takabur, sehingga dari ujub inilah timbul takabur, lalu dari takabur timbul bencana yang banyak. Hal ini berlaku di hadapan manusia. Jika di hadapan Khaliq, maka ujub terhadap berbagai amal ketaatan merupakan hasil dari anggapannya bahwa ketaatannya sudah hebat, bahwa dengan amalnya dia menjadi pilihan Allah, sementara dia lupa bahwa nikmat yang diterimanya merupakan taufik Allah, lalu dia menjadi buta terhadap bencana-bencana yang merusak amalnya. Orang yang tahu bencana ialah yang takut amalnya tidak diterima dan tidak merasa ujub.

Ujub ini muncul karena adanya gambaran kesempurnaan dari orang yang mengetahui atau yang beramal. Jika keadaan seperti ini ditambah lagi, karena dia merasa melihat haknya di sisi Allah sebagai suatu penguat, maka ujub itu terjadi karena menganggap hebat apa yang ditaajubi, lalu diikutkan dengan adanya pembalasan amalnya, seperti doanya yang dikabulkan.



Cara Mengobati Ujub

Ketahuilah bahwa Allah-lah yang menganugerahkan nikmat kepadamu yang telah menciptakan dirimu dan juga menciptakan amalmu. Jadi sebetulnya tak ada gunanya ujub seorang pengamal terhadap amalnya, tak ada gunanya orang yang merasa tahu karena ilmunya, tidak ada gunanya orang yang merasa elok karena keelokannya, tidak ada gunanya orang yang merasa kaya karena kekayaaannya, karena semuanya berasal dari karunia Allah. Keturunan Adam hanyalah sebagai tempat pelimpahan nikmat dan tempat bagi kenikmatan orang yang lain.

Sesungguhnya suatu amal itu tercapai karena ada kesanggupanmu. Tidak bisa digambarkan ada amal kecuali jika engkau ada, begitu pula amalmu, kehendak dan kesanggupanmu. Lalu darimanakah kesanggupanmu itu? Semua itu adalah dari Allah, bukan dari dirimu sendiri. Jika amal harus dengan kesanggupan, maka kesanggupan ini merupakan kunci. Kunci ada di Tangan Allah. Siapa yang diberi kunci, maka tidak mungkin bisa beramal, sebagaimana jika engkau berdiri di depan lemari penyimpan yang tertutup rapat, tentu engkau tidak mengambil isinya jika engkau tidak memegang kuncinya.

Di dalam “Ash-Shahihain” diriwayatkan dari hadits Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW beliau bersabda,

“Sekali-kali amal salah seorang di antara kalian tidak bisa memasukkannya ke surga”. Mereka bertanya, “Tidak pula engkau wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak pula aku, kecuali jika Allah melimpahiku dengan rahmat dan karunia dari-Nya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

Ketahuilah bahwa ujub itu muncul karena berbagai sebab, yang karena sebab-sebab itu pula muncul takabur. Masalah takabur ini sudah diuraikan, begitu pula cara pengobatannya.

Di antara gambaran ujub ialah ujub terhadap keturunannya, seperti anggapan orang terpandang yang mendapatkan keselamatan karena ayahnya yang juga terpandang. Cara mengobatinya, bahwa jika dia menyadari bahwa dia tidak seperti ayahnya dan dia sejajar dengan orang-orang lain, tentu dia tidak akan dikenal. Jika dia merasa seperti mereka, maka dia tidak akan merasa ujub dan lebih hebat dari mereka. Bahkan boleh jadi dia akan merasa takut terhadap keadaan dirinya.

Sesungguhnya manusia itu menjadi mulia karena ketaatan yang terpuji, bukan karena keturunannya yang terpandang. Allah berfirman,

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian ialah yang paling bertakwa di antara kalian.” (Al-Hujurat: 13).

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

Wahai Fathimah, aku tidak membutuhkan dirimu sedikit pun karena Allah.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

Jika engkau bertanya, “Orang yang mulia itu hanya ingin meminta syafaat kepada kaum kerabatnya”, maka dapat dijawab, “Setiap orang muslim memang mengharapkan syafaat. Bisa saja seseorang diberi syafaat setelah di dibakar di dalam neraka. Namun jika dosanya menguat, maka syafaat baginya pun juga tidak ada manfaatnya.”

Di dalam “Ash-Shahihain” disebutkan dari hadits Abu Hurairah r.a bahwa Nabi SAW bersabda,

“Sekali-kali janganlah salah seorang di antara kalian dikumpulkan pada Hari Kiamat, sedang dia memanggul seekor unta yang melenguh”. Lalu ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, selamatkanlah aku!” Beliau menjawab, “Aku tidak berkuasa sedikit pun terhadap dirimu. Aku sudah menyampaikan kepadamu.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

Perumpamaan orang yang tenggelam dalam dosa secara sengaja dan dia mengharapkan syafaat, ialah seperti orang sakit yang tenggelam dalam berbagai macam nafsu, lalu dia hanya mengandalkan dokter yang menanganinya. Tentu saja ini tindakan yang amat bodoh. Sebab usaha dokter hanya bermanfaat untuk sebagian penyakit saja, tidak semua penyakit bisa disembuhkannya.

Hal ini dapat diperjelas lagi, bahwa para pemuka sahabat adalah orang-orang yang takut terhadap Hari Akhirat. Lalu bagaimana mungkin orang yang derajatnya tidak seperti mereka justru tidak takut?

Ada pula ujub justru karena melihat ada kesalahan pada dirinya, sebagaimana firman Allah,

Maka apakah orang yang dijadikan  (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik?” (Fathir: 8).

Mengobati penyakit ujub ini lebih sulit daripada selainnya. Sebab selagi seseorang merasa taajub terhadap pendapatnya sendiri, maka tidak ada gunanya nasihat yang diberikan orang lain. Bagaimana mungkin dia mau meninggalkan sesuatu yang dianggapnya sebagai keselamatan? Namun upaya untuk mengobatinya ialah dengan menyalahkan pendapatnya dan tidak boleh tertipu oleh pendapatnya yang salah itu, kecuali jika memang dia mempunyai penguat dari Al-Qur’an, As-Sunnah atau dalil aqli yang memang memenuhi syarat untuk dijadikan dalil, yang tidak bisa diketahui kecuali dengan berkumpul bersama orang-orang yang rajin memahami Al Qur’an dan As-Sunnah.

Sebaiknya bagi orang yang belum cukup dewasa, janganlah mengikuti madzhab terlebih dahulu, tetapi dia cukup mengikuti keyakinan secara umum. Sebab kebenaran adalah satu dan tidak mengenal sekutu. Rasulullah SAW juga benar tentang apa yang dibawanya dan mengimani apa yang ada dalam Al Qur’an, tanpa mencari-cari yang lain dan tanpa menghindarinya. Sebab jika dia mengikuti madzhab dan tidak sampai kepada ma’rifat, maka dia akan binasa. [Syahida.com/ANW]

===

Sumber : Kitab MINHAJUL QASHIDIN, “Jalan orang-orang yang mendapat petunjuk”, Karya IBNU QUDAMAH, Penerjemah: Kathur Suhardi, Penerbit: Pustaka Al Kautsar

Share this post

PinIt
scroll to top