Kesederhanaan Umar bin Khattab

Ilustrasi. (Foto: El Conquistador)

Ilustrasi. (Foto: El Conquistador)

Syahida.com – Perjalanan kehidupan Umar, yang menjabat sebagai khalifah selama kurang lebih sepuluh tahun setengah, diwarnai dengan dimensi yang beragam. Kadang tampil sebagai seorang negarawan yang mengutus pasukan perangnya ke wilayah-wilayah yang ditaklukkannya, kadang sebagai seorang komandan tertinggi yang melakukan sebuah operasi yang tidak ada preseden sebelumnya, bagaimana caranya dia berkomunikasi dengan para jenderal, mendudukkan para penakluk dan para gubernur di atas tikar, atau bagaimana dia melakukan persiapan menyambut seorang tamu dari Persia ataupun Romawi di dalam mesjid yang sangat sederhana.

Dia juga adalah seorang khalifah yang memakai pakaian lusuh, seorang khalifah yang memakai sepatu yang dijahit sendiri, atau seorang khalifah yang suka rela memikul sendiri makanan untuk diberikan kepada seorang janda, ataupun kepada orang-orang yang sedang menghajatkan. Bahkan dia sering kedapatan berbaring di atas lantai mesjid tanpa alas apa pun saat dia kecapekan setelah melakukan kerja dan tugasnya seharian.

Dia adalah sosok manusia yang sungguh luar biasa dalam arti kata yang sebenarnya. Umar hidup laksana orang lain hidup. Rumahnya, makanannya, pakaiannya tidak berbeda dengan apa yang biasa dimakan, dihuni dan dipakai oleh orang kebanyakan.

Dia dengan senang hati bergaul dengan rakyatnya siang dan malam. Pintunya selalu terbuka untuk siapa saja dan kapan saja. Dia melakukan proses pengadilan di mesjid Rasulullah. Dia mudah untuk ditemui. Pintu dan mesjid tidak pernah dijaga oleh seorang pun. Dia selalu siap untuk menemui siapa saja dan kapan saja. Dia memperlakukan setiap orang dengan cara yang sama, seperti yang diberlakukan kepada para pejabat dan gubernurnya.

Dan pada saat kelaparan, Umar menolak untuk tidak berada di tengah-tengah rakyatnya yang sedang menderita. Dia tidak akan makan keju dan sebagai gantinya dia makan roti yang diolesi minyak. Dia merasa tidak berhak memiliki makanan jika makanan tersebut tidak tersedia pada semua rakyat.

Dalam kedudukannya yang sedemikian tinggi itu, dia tidak malu untuk menjadi seorang penggembala kambing milik ayahnya. Dan dia menginginkan agar apa yang menjadi kebutuhan masyarakat banyak hendaklah selalu tersedia bagi mereka. [Syahida.com/ANW]

==

Sumber: Kitab Diplomasi Islam, Karya: DR. Afzal Iqbal, Penerjemah: Samson Rahman, Penerbit: Pustaka Al-Kautsar



Share this post

PinIt
scroll to top