Jihad Terbesar

Ilustrasi. (perantauz.blogspot.com)

Ilustrasi. (perantauz.blogspot.com)

Syahida.com – Aku merenungkan secara seksama jihad melawan hawa nafsu. Ternyata ia merupakan jihad terbesar. Aku melihat sejumlah ulama dan kaum sufi tak memahami maknanya, karena sebagian orang dari mereka berusaha untuk menuruti keinginannya, walau cuma sedikit, dan ini merupakan sebuah kesalahan bila ditilik dari dua segi.

Pertama, kadang orang tak menuruti keinginan hawa nafsunya justru memberinya sesuatu yang lebih besar dari apa yang diinginkannya. Misalnya ia mencegah hawa nafsu melakukan sesuatu yang mubah, lalu ia terkenal dengan tindakannya ini. Ia pun menjadi senang pada tindakannya ini, sebab dia telah memperoleh pujian sebagai gantinya. Jebakan yang lebih samar dari jebakan ini adalah seseorang yang merasa tidak menuruti keinginan hawa nafsu menganggap dirinya lebih hebat dari orang lain yang memerlukan sebuah alat pengurai yang hebat yang bisa menjabarkan secara tepat permasalahannya dan solusinya.

Kedua, kita telah diperintahkan untuk menjaga hawa nafsu, dan salah satu hal yang bisa mejaganya adalah kecenderungannya pada segala sesuatu yang bisa memeliharanya. Karena itu, kita harus memberinya apa-apa yang bisa memeliharanya dalam batasan minimalnya atas batasan maksimalnya. Kita seperti para petugas yang diperintahkan memeliharanya. Karena ia bukan milik kita, tapi sekedar titipan yang dititipkan kepada kita. Oleh sebab itu, tak menuruti segala keinginannya secara terus-menerus adalah tindakan berbahaya, disamping itu, tak jarang yang kita perketat justru menuntut kita dengan melonggarkan. Seseorang yang membebani dirinya dengan sesuatu yang tak dimampuinya justru (akan) harus kehilangannya, hingga ia pun kesulitan untuk mendapatkannya kembali.

Jihad melawan hawa nafsu sama dengan jihad seorang penderita suatu penyakit cerdas.

Ia memaksanya memakan sesuatu yang dibencinya asal saja ia mengandung efek yang baik. Melarutkan sedikit manisan pada obat pahit, mengonsumsi makanan menurut takaran yang disarankan dokter serta tak  menuruti keinginan hawa nafsunya untuk memakan makanan yang bisa jadi akan menghalanginya memakan berbagai jenis makanan. Tindakan seperti ini pula yang harus dilakukan seorang mukmin yang cerdas. Ia tak boleh melepaskan tali kendai hawa nafsunya dan tak diizinkan menelantarkan tali pengikatnya. Sesekali ia harus membiarkan mengendor, meski harus tetap selalu mengawasi dan mengontrol.

Jika ia melihatnya ada jalan yang benar, ia tak boleh menyakitinya. Namun kalau ia melihatnya telah cenderung pada jalan yang salah, ia harus mengembalikannya ke jalan yang benar dengan lemah lembut. Jika ia membangkang da menolak, jalan kekerasan adalah sebuah keharusan, meski demikian, hal ini wajib dilakukan secara perlahan. Sebagai contoh, seorang istri yang membangkang perlu dinasihati terlebih dahulu. Jika nasihat tak membuahkan hasil, ia tinggal sendirian di tempat tidurnya, dan kalau ini telah dilakukan tapi istri tetap tak bisa melakukan perbaikan, pukulan terhadapnya tak bisa lagi dielakkan.

Salah satu alat pendidik hawa nafsu yang paling baik adalah tekad dan semangat.

Bentuk alat pendidik tersebut serupa berupa amal perbuatan. Adapun wujud alat pendidikan yang berupa perkataan adalah ketika seseorang melihat temannya cenderung pada makhluk atas cenderung pada perbuatan rendah, seyogiannya ia mengiatkan temannya pada penganggungan Khalik. Katakan padanya, “Bukankah kamu adalah makhluk yang difirmankan Allah dengan firman-Nya, ‘Aku telah menciptakanmu dengan tangan-Ku,’ dan, ‘Aku telah menyuruh malaikat-malaikat-Ku bersujud kepada-Mu?’ Bukankah Dia tlah memercayaimu menjadi khalifah-Nya di muka bumi, mengirimkan rasul-rasul-Nya kepadamu, meminjam dan membeli sesuatu darimu?”



Kalau kita melihatnya menyombongkan diri ia harus mengingatkannya dengan mengatakan, “Bukankah kamu hanyalah setetes air yang hina yang bisa mati cuma karena tersedak dan dapat sakit hanya gara-gara seekor serangga kecil?”

Bila melihatnya teledor, ia mesti mengingatkannya pada hak majikan atas budak-budaknya. Jika melihatnya malas beramal, ia wajib mengingatkannya pada pahala yang banyak. Dan kalau melihatnya malas beramal, ia wajib mengingatkannya pada pahala yang banyak. Dan kalau melihatnya cenderung menuruti keinginan, ia mesti menakut-nakutinya akan dosa yang besar dan memperingatkannya akan hukuman duniawi yang bersifat fisik seperti firman Allah Ta’ala, Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu” (Q.S. Al-An’am [6] 46) dan hukuman yang bersifat maknawi, seperti, “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku” (Q.S. Al-A’raf [7]: 146). Yang disebutkan terakhir ini adalah jihad dengan perkataan, sedang yang sebelumnya adalah jihad dengan perbuatan.

Sumber : Kitab Shaid Al-Khatir Nasihat Bijak Penyegar Iman, Ibnu Al Jauzi

Share this post

PinIt
scroll to top