Hukum Menyusui dari Bank Susu

Ilustrasi. (syafiqadi.blogspot.com)

Ilustrasi. (syafiqadi.blogspot.com)

Syahida.com – Apa hukum menyusui dari bank susu dan dampaknya?

Anak yang lahir prematur sebelum waktunya kadang-kadang harus diasingkan di ruangan khusus dengan menggunakan inkubator yang bisa jadi memakan waktu yang agak lama hingga ibunya dapat menyusuinya secara langsung, kemudian setelah itu dia sedikit demi sedikit mengalami kemajuan. Sekalipun demikian, dia diperbolehkan menyusui dari sumber lain. Sebagaimana diketahui sebagian dari susu tersebut berasal dari susu manusia.

Pada kenyataannya, susu yang digunakan adalah susu campuran dari puluhan bahkan ratusan ibu-ibu yang menyusui, dan dari susu itulah puluhan bahkan ratusan bayi yang lahir prematur, baik laki-laki maupun perempuan menyusu tanpa diketahui bagaimana keadaanya pada saat itu dan yang akan datang. Akan tetapi itu dilakukan secara tidak langsung atau tanpa mengisap puting susu. Apakah persaudaraan antara mereka yang sama sama menyusu dari bank susu itu sah menurut syariat Islam? Apakah bank susu diharamkan sekalipun banyak memberikan konstribusi dalam menghidupkan banyak bayi? Jika bank susu itu halal dan mubah, apakah sebab-sebab yang memubahkannya? Tidakkah anda lihat bahwa itu dilakukan tanpa mengisap puting susu? Atau tanpa mengetahui saudari-saudari sepersusuannya, sekalipun jumlah mereka sedikit dan tidak banyak. Namun dengan jumlah sedikit ini saja sulit diketahui siapa yang termasuk saudara—saudaranya?

Syaikh Al Qaradhawi kemudian menjawab pertanyaan itu dengan jawaban sebagai berikut:

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah.

Tidak diragukan lagi bahwa tujuan dibangunnya bank susu sebagaimana dipaparkan dalam pertanyaan tersebut adalah baik dan mulia dan tentu saja di dukung oleh Islam yang mengajak untuk membantu setiap ada orang yang lemah, apapun sebab kelemahannya, terutama apabila ada anak yang dilahirkan prematur yang tidak memiliki daya dan kekuatan apapun sebagaimana bayi yang lahir normal.

Tidak diragukan lagi bahawa setiap wanita yang menyumbangkan susunya untuk didermakan kepada bayi yang lahir prematur mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah dan terpuji di hadapan manusia, bahkan susu itu diperbolehkan untuk dibeli darinya jika dia tidak mau begitu saja memberikannya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al Qur’an dan dilakukan oleh kaum muslimin. Demikian juga dengan adanya yayasan yang mengumpulkan susu-susu ini dan mengawetkannya untuk diberikan kepada bayi-bayi yang lahir prematur perlu di beri penghargaan atas usahanya yang mulia.

Jadi apa yang perlu diperingatkan dan ditakuti dari praktik ini?



Yang perlu diperingatkan adalah anak bayi yang menyusu kelak akan menjadi besar dengan izin Allah. Dia akan menjadi pemuda dan pasti ingin menikah dengan salah satu wanita di masyarakat. Dari sini khawatirkan wanita itu adalah saudarinya dari susuannya dan dia tidak mengetahuinya, karena dia tidak tau siapa orang yang disusui bersamanya dari susu yang dikumpulkan ini.

Dari sini kita perlu memahami masalahnya hingga mengetahui jelasnya bagaimana hukumnya:

  1. Kita harus memahami makna menyusui yang dengannya berdampak pada hukum syara’, yaitu diharamkannya menikahi wanita-wanita yang terkait dengan ibu yang menyusui.
  2. Kita harus memahami jumlah susuan yang diharamkan.
  3. Kita harus memahami hukum keraguan dalam susuan.

Makna menyusui:

Al Allamah Ibnu Qudamah menyebutkan dua riwayat tentang memasukkan susu melalui mulut dan hidungnya:

Pertama: Salah satu dari dua riwayatnya yang paling masyur dan sesuai dengan pendapat mayoritas ulama adalah bahwa yang ditetapkan pengharaman dengan keduanya. Adapun memasukkan susu melalui mulut, karena ia dapat menumbuhkan daging dan membesarkan tulang, sehingga menyerupai menyusu. Sedangkan memasukkan susu melalui hidung, karena ia dapat membatalkan orang yang puasa maka ia mendapat cara diharamkannya menikah dengan orang yang menyusui sama seperti menyusui dengan mulut.

Kedua: Tidak ditetapkan pengharaman, karena ia bukan susuan.

Menurut pendapat saya  bahwa Allah menjadikan landasan mahram adalah sifat ibu yang menyusui, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman Allah, “Ibu-ibu yang menyusui kamu, dan saudara perempuan sepersusuan.” (An-Nisaa’:23). Sifat ibu yang dinyatakan dalam Al Qur’an ini tidak tercipta hanya dengan mengambil susunya, melainkan dengan cara menyedotnya dan menempelkan susunya sehingga benar benar mendapatkan kasih sayang keibuannya dan merasakan keberadaan anak itu sebagai anaknya, sehingga benar-benar mendapatkan kasih sayang keibuannya dan merasakan keberadaan anak itu sebagai anaknya, sehingga dari status keibuan ini muncul persaudaraan sepersusuan. Ibu yang menyusuinya sebagai pangkal dan lainnya ikut kepadanya.

Oleh karena itu, kita wajib memahami lafazh-lafazh yang dinyatakan oleh Allah disini, dan lafazh itu semua berbicara tentang menyusui dan susuan. Makna lafazh ini secara bahasa dinyatakan dalam Al Qur’an dan As Sunnah, karena ia berarti mengisap puting susu dan menyedotnya, dan tidak hanya sekedar meminumnya dengan suatu perantara.

Saya akan mengutip perkataan Ibnu Hazm karena memuaskan dan dalilnya jelas, dia berkata, “Adapun sifat susuan yang mengharamkan adalah apabila bayi itu menyusui dari puting susu ibu yang menyusuinya. Sedangkan apabila seseorang meminum susu seorang wanita melalui bejana, atau memerahkan ke mulutnya, atau mencampurkannya dengan roti atau makanan atau dituangkan ke mulutnya atau hidung atau telinganya atau ‘dicekokin’, maka itu semua tidak berdampak mengharamkan, sekalipun susu itu menjadi minumannya sepanjang hidupnya. Sebab Allah berfirman, “Ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan.” (An-Nisaa’:23).

Rasulullah bersabda, “Diharamkan dari susuan apa yang diharamkan dari nasab.” Dalam hal ini Allah dan Rasul-Nya tidak mengharamkan pernikahan kecuali karena hubungan ibu yang menyusuinya dan saudara perempuan sepersusuannya saja. Dan, tidak dianggap menyusui kecuali apabila orang yang menyusui meletakkan puting susunya ke mulut anak yang disusuinya. Juga tidak disebut menyusui kecuali jika anak yang disusui meletakkan mulutnya ke puting ibu yang menyusui dan menghisapnya. Selain dengan cara itu tidak disebut menyusui.

Dengan demikian kita mengetahui kita mengetahui bahwa pendapat yang membuat hati menjadi tenang adalah pendapat yang sejalan dengan makna nash secara zhahir yaitu bahwa seseorang bisa menjadi mahram dengan disusui atau karena saudari sepersusuannya, sebagaimana ini juga sejalan dengan hikmah susuan, yaitu adanya sifat ibu yang menyerupai ibu kandungnya. Dari susuan ini muncul hubungan sebagai anak, dan saudara sepersusuan, serta hubungan hubungan kekerabatan lainnya. Sedangkan susuan melalui bank susu tidak ada, melainkan yang ada adalah memasukkan melalui mulut sebagaimana yang disebutkan oleh para fuqaha’.

Kesimpulan:      

Kita tidak mendapatkan apa yang menghalangi adanya bank susu selama itu dapat mewujudkan kemaslahatan yang dibenarkan oleh syariat Islam, dengan mengambil dalil yang disebutkan oleh para fuqaha’ setelah ditarjih. Sebagian orang berkata, “Mengapa perbedaan pendapat. Karena mengambil yang lebih berhati-hati termasuk sikap wara’ dan jauh dari hal-hal syubhat?”

Yang perlu diingatkan di sini adalah bahwa jika dalam menghadapi segala sesuatu kita harus bersikap hati-hati tanpa mengambil yang lebih mudah dan lebih adil bagi mereka, maka hal ini kadang-kadang menjadikannya hukum agama sebagai kumpulan hukum “kehati-hatian” yang menafikan kemudahan dan toleransi yang merupakan karakteristika agama Islam. Rasulullah bersabda, “Aku diutus dengan agama yang lurus dan toleransi.” Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya kalian diutus untuk mempermudah dan tidak diutus untuk mempersulit.” Manhaj yang kita ambil dalam masalah ini adalah manhaj tawassuth wal i’tidal (metode yang moderat dan adil) antara tidak berlebihan dan tidak lalai. Allah berfiman, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil.”(Al Baqarah: 143) Allah menyatakan yang haq dan Dia-lah yang memberikan petunjuk ke jalan yang lurus. [syahida.com]

Sumber : Kitab Wanita dalam Fiqih, DR Yusuf Qardhawi 

Share this post

PinIt
scroll to top