Ciri Keluarga Sakinah Penuh Berkah (Bagian ke-3) : Menjaga Kebersihan Aqidah

Ilustrasi. (Foto : irrafeisal.blogspot.com)

Ilustrasi. (Foto : irrafeisal.blogspot.com)

Syahida.com – Barangsiapa mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan, dan ia seorang yang beriman, maka pastilah Kami (Allah) akan memberinya kehidupan yang baik dan Kami memberi balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang mereka kerjakan.” (QS: An-Nahl:16: 97)

Penjelasan:

Yang dimaksud aqidah yang bersih yaitu keimanan kepada Allah dan rukun-rukun iman lainnya murni tanpa bercampur dengan kepercayaan syirik, kufarat, dan tahayul.

Ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang benar-benar beriman kepada Allah secara baik dan bersih, kehidupannya dijamin menjadi baik dan mendapat berkah.

Seseorang dikatakan bersih aqidahnya apabila memiliki ciri-ciri antara lain:

  1. Keimanannya kepada Allah dan rukun-rukun iman yang dikerjakannya benar-benar tidak tercampur dengan kepercayaan syirik, tahayul, serta kufarat. Ia tidak mempercayai ada kekuatan tertentu diluar kekuatan dan kekuasaan Allah yang dapat mempengaruhi nasib manusia. Ia tidak percaya pada jimat yang dianggap dapat menjaga mereka dari mara bahaya. Hal ini dijelaskan dalam Hadits berikut:

“Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra, ia berkata: ‘Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘Barangsiapa mengalungkan jimat, maka Allah tidak akan memberikan manfaat kepadanya sedikitpun, dan barangsiapa menggantungkan jimat dari akar laut, maka Allah tidak akan menjaga dari bahaya.’” (HR. Ahmad no. 16763 CD, Abu Ya’la, dan Hakim)

Ia pun juga tidak percaya bahwa bulan tertentu atau tahun tertentu membawa sial atau keberuntungan kepada manusia atau tanda-tanda tertentu yang ditemuinya sebagai pertanda sial atau keberuntungan bagi dirinya (Thiyarah). Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Hadits berikut:

“Dari Ibnu Mas’ud ra, Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda; ‘Thiyarah itu syirik. Thiyarah itu syirik. Thiyarah itu syirik. Setiap orang diantara kita hatinya terpengaruh oleh hal itu, tetapi Allah menghilangkan (Pengaruh itu) dengan tawakkal.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban)



Hadits di atas menerangkan bahwa ada manusia yang terpercaya tanda baik dan buruk yang dilihatnya yang disebut dengan Thiyarah. Sebagai contoh, seseorang yang kejatuhan cecak berprasangka bahwa dia akan mendapatkan malapetaka. Seseorang yang melihat burung gagak hinggap di depan rumahnya percaya bahwa salah seorang dari kerabatnya akan meninggal. Inilah yang disebut dengan mempercayai tanda-tanda buruk. Sebaliknya, seseorang melihat kupu-kupu hinggap dirumahnya, lalu ia percaya bahwa ia akan mendapat rezeki atau akan datang tamu penting ke rumahnya. Hal-hal seperti ini dikatakan tanda-tanda baik.

Kepercayaan itu sama sekali tidak ada dasarnya dari agama Allah dan Rasul-Nya. Hal ini hanya didasarkan cerita-cerita atau dongeng-dongeng yang berasal dari pengalaman orang-orang dahulu. Mereka mempercayai hal semacam itu sehingga sikap hidupnya terpengaruh olehnya adalah orang musyrik.

  1. Ia senantiasa memenuhi tanggung jawabnya kepada Allah, Rasul-Nya, Al-Qur’an, dan Sunnah Rasulullah saw. Ia menyadari bahwa hanya mengikuti ketentuan yang Allah gariskan dan tetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw, kita dapat mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab manusia kepada Allah, Rasul-Nya, Al-Qur’an, dan sunnah Rasul-Nya. Begitu juga mengenai keimanan kepada yang ghaib, seperti kepada malaikat, jin, setan dan alam kubur, semuanya ini ia sadari menuntut manusia agar benar-benar melaksanakannya sesuai dengan yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Hal ini termasuk bagian dari tanggung jawab kepada Allah dan Rasul-Nya.
  2. Ia tidak terpengaruh perdukunan karena takut akan ancaman yang diberikan atas perbuatan ini sebagaimana dijelaskan dalam Hadits-hadits berikut:

“Dari ‘Imran bin Hushain ra, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda: ‘Bukanlah golongan kami orang yang melakukan tathayur atau tuthayyar, menjadi dukun atau minta tolong dukun, melakukan sihir atau minta tolong penyihir. Barang siapa datang kepada peramal, lalu ia mempercayai omongannya, maka ia telah kafir terhadap agama yang diturunkan kepada Muhammad saw…’” (HR. Al-Bazzar dan Thabarani, tanpa disebut kata-kata “Barang siapa…”)

Dari Abu Darda’ ra, ia berkata; “Rasulullah saw bersabda: ‘Tidak akan mencapai derajat tinggi orang yang berdukun, mengundi nasib, dan mengurungkan kepergiannya karena tathayyur.’” (HR. Thabarani)

Kedua hadits di atas menjelaskan bahwa orang yang menjadi dukun atau minta bantuan kepada dukun, menjadi penyihir atau minta bantuan penyihir, telah menjadikan dirinya musyrik. Begitu  juga orang yang mempercayai omongan, para dukun atau paranormal mengenai suatu hal yang ghaib adalah musyrik.

Kita sering menemui orang-orang yang ingin mendirikan bangunan atau rumah datang kepada dukun atau paranormal untuk menanyakan Feng Shui. Mereka berkata sebaiknya rumahnya menghadap kemana, kamar tidurnya dimana, ruang tamunya dimana dan sebagainya agar mereka tidak mengalami malapetaka atau gangguan dalam mendiami rumahnya. Ada juga orang datang kepada peramal atau dukun untuk menanyakan nasibnya pada masa datang yang disebut Hong Shui atau pekerjaan apa yang cocok buat dirinya sehingga mendapatkan rezeki yang banyak.

Perbuatan-perbuatan seperti itu membuat yang bersangkutan tidak memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Mereka selalu bergantung pada petunjuk peramal atau dukun dalam menghadapi masalah, sehingga mudah menjadi bingung, cemas, dan stres.

Sebenarnya setiap orang harus menyadari dan menggunkan akal sehatnya dalam menghadapi masalah nasib dirinya sebab tidak ada yang tahu manusia kecuali Allah swt. Para dukun dan peramal yang mengaku dapat memahami masalah ghaib atau nasib manusia yang akan datang sebenarnya adalah pembohong besar serta penipu yang amat licik dan kotor karena mereka sendiri sama sekali tidak akan tahu yang akan menimpa mereka pada masa datang walaupun semenit kemudian.

Pernah ada cerita dari seorang teman mengenai kasus yang menimpa seorang peramal di pinggir jalan di Yogyakarta. Seorang datang kepada peramal menanyakan nasibnya yang akan datang, lalu diberitahukan kepadanya bahwa nasibnya sial. Orang itu kemudian menampar si peramal. Si peramal marah dan hampir terjadi perkelahian. Orang itu pun berkata kepada peramal, dan orang-orang yang mengelilinginya: “Kalau kamu mampu meramal masa depan nasib orang, mengapa kamu tidak tahu bahwa saya datang akan menempeleng kamu? Tahukah kamu saya datang untuk menempeleng kamu?” Peramal itu tidak menjawab dan terjadilah keributan yang akhirnya dilerai oleh banyak orang. Ini adalah satu contoh betapa bohongnya pernyataan seorang peramal yang menerangkan nasib orang lain pada masa akan datang.

Rumah tangga yang anggota keluarganya menggantungkan kepercayaan kepada dukun atau benda-benda yang dianggap jimat untuk menjaga diri mereka, akan mudah terkena stres pada saat dukun meramalkan hal-hal yang tidak baik bagi diri mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah saw. bahwa setiap manusia hampir-hampir tidak ada yang selamat dari mempercayai ramalan-ramalan dukun tentang nasib mereka. Hanya orang-orang yang mendapatkan hidayah dari Allah yang bisa selamat dari pengaruh ramalan para dukun atau jimat-jimat yang dikatakan dapat memelihara diri mereka dari mara bahaya. Hal yang membentengi diri dari pengaruh kepercayaan kepada segala bentuk jimat dan pedukunan ialah keimanan dan tawakkal kepada Allah.

Rumah tangga yang anggota keluarganya kuat imannya kepada Allah dan penuh tawakkal kepada-Nya akan mendapat ketentraman, ketenangan, dan kejernihan dalam berpikir dan memecahkan masalah. Oleh karena itu, sangat perlu setiap rumah tangga memperdalam ajaran aqidah Islam agar selamat dari pengaruh pedukunan dan sejenisnya.

Suami istri atau keluarga yang ingin hidupnya menjadi sakinah penuh berkah wajiblah mempunyai aqidah yang bersih agar tidak terombang-ambing oleh berbagai macam kepercayaan yang merusak ketentraman, ketenangan, dan keteguhan hatinya dalam menghadpai segala persoalan hidupnya sehari-hari. Aqidah yang bersih, mereka akan dapat memperoleh pegangan yang pasti menyelesaikan masalahnya dengan penuh keyakinan, kejernihan, dan tekad yang besar. Hal ini akan membawa pengaruh besar pada suasana sakinah dalam keluarga dan terciptanya hidup berkah pada diri mereka. [Syahida.com]

—–

Bersambung….

Sumber : 25 Ciri Keluarga Sakinah Penuh Berkah dan Langkah Mewujudkannya, Drs. Muhammad Thalib

Share this post

PinIt
scroll to top