Adzan Subuh

Ilustrasi. (Foto : muslimshares.wordpress.com)

Ilustrasi. (Foto : muslimshares.wordpress.com)

Syahida.com – Adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu shalat dengan lafal khusus. Hukum adzan wajib kifayah atas penduduk kota atau desa. Ini pendapat yang rajih, lebih kuat diantara dua pendapat para ulama. Dasarnya, sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Jika datang (waktu) shalat, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan dan orang tertua dari kalian mengimami kalian.”[1]

Salah satu hadits yang menerangkan keutamaan adzan diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sekiranya orang-orang tahu pahala yang disediakan untuk adzan dan shaf pertama, lantas mereka tidak mendapatinya kecuali dengan mengundi, niscaya mereka akan melakukannya. Sekiranya mereka tahu pahala yang disediakan untuk tahjir (bersegera ke masjid), niscaya mereka akan berlomba-lomba kesana. Dan sekiranya mereka tahu pahala yang disediakan untuk ‘atamah (shalat Isya di akhir waktu) dan shalat Subuh, niscaya mereka akan mendatanginya meski dengan mengesot.”[2]

Imam Ahmad meriwayatkan dari Bara’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,  “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas shaf depan. Muadzin itu diampuni dosanya sepanjang suaranya. Siapa saja yang mendengarnya: yang basah dan yang kering membenarkannya, dan dia akan mendapat pahala seperti yang didapat oleh orang-orang yang shalat bersamanya.”[3]

Masih banyak lagi kabar yang menerangkan agungnya keutamaan adzan dan besarnya pahala muadzin. Sebab dia menyeru orang-orang untuk melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah?” (QS: Fushlihat: 41: 33) tak seorang pun.

Kita tidak sedang mengumpulkan dalil seputar keutamaan adzan. Hanya saja ini sebagai pengantar sebelum kita membahas tentang adzan Fajar.

Dibandingkan dengan shalat-shalat lain, shalat subuh teristimewakan dengan dua adzan. Adzan yang pertama dikumandangkan sebelum masuk waktu Fajar untuk membangunkan orang-orang yang tidur, memberitahu orang-orang yang bangun malam, dan mengingatkan orang-orang yang hendak berpuasa.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah adzan Bilal menghalangi sahur salah seorang dari kalian. Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari supaya yang bangun (shalat malam) dari kalian kembali (tidak tidur lagi) dan yang tidur menjadi sadar.”[4]

Sedangkan menurut riwayat Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari. Makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.”[5]



Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni menulis, “Disyariatkan adzan sebeblum masuk waktu Fajar –adzan yang pertama-, inilah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i, dan Ishaq. Sedangkan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan Muhammad menyatakan tidak boleh. Menurut mereka adzan hanya dikumandangkan setelah masuk Fajar. Lafal yang dikumandangkan sebelum masuknya berbeda dengan lafal adzan, seperti yang dilakukan oleh penduduk Mesir hari ini.”

Di dalam Fath Al-Bari, Al-Hafizh Ibnu Hajar menulis, “Sebagian fuqaha madzhab Hanafi –sebagaimana disampaikan oleh As-Sarwaji- mengklaim bahwa adzan sebelum Fajar tidak dengan lafal-lafal adzan. Hanya saja itu adalah lafal-lafal peringatan atau pemberitahuan waktu sahur, seperti yang dilakukan oleh orang-orang hari ini. Ini tidak benar. Sebab yang dilakukan oleh orang-orang hari ini adalah muhdats (baru, bid’ah). Hadits-hadits yang ada mengisyaratkan penggunaan lafal adzan sehingga orang yang mendengar bisa keliru. Konteks hadits menegaskan bahwa dikhawatirkan mereka akan keliru.”[6]

Maknanya jika adzan pertama tidak dengan lafal-lafal adzan, maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak perlu menerangkan perbedaan tujuan adzan Bilal dengan adzan Ibnu Maktum kepada para sahabat dengan mengatakan, “Janganlah adzan Bilal menghalangi sahur salah seorang dari kalian…dst” beliau menamainya dengan adzan seperti halnya adzan yang kedua. Kemudian, jika adzan yang pertama tidak dengan lafal-lafal adzan, lantas mana lafal-lafal itu?

Shalat Lebih Baik Daripada Tidur

Salah satu kelebihan adzan Subuh adalah tatswib. Yaitu bacaan: “Shalat lebih baik daripada tidur.” Penulis Al-Mughni berkata, “Saat adzan Subuh (muadzin) membaca, ‘ash-shalatu khairun minan naum.’ (shalat lebih baik daripada tidur) Hukum bacaan ini mustahab (sunnah); dibaca setelah bacaan, ‘hayya alal falah.’ (marilah menuju kemenangan) bacaan ini disebut tastwib. Inilah pendapat Ibnu Umar, Al-Hasan, Malik, Ats-Tsauri, Ishaq dan Asy-Syafi’i menurut riwayat yang shahih darinya. Penulis Nail Al-Authar menambahkan Umar bin Khaththab, Ibnu Sirin, Az-Zuhri, Ahmad, Abu Tsaur, dan Dawud.[7]

Diantara dalilnya adalah pelajaran adzan yang diberikan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, kepada Abu Mahdzurah radhiyallahu ‘anhu, Beliau bersabda, “Apabila mengumandangkan adzan pertama saat Subuh bacalah: ash-shalatu khairun minan naum (2 kali).”[8]

Ibnu Khuzaimah, Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Termasuk sunnah, setelah muadzin saat Fajar mengumandangkan: hayya alal falah, dia mengumnadkan: ash-shalatu khairun minan naum.”[9]

Abu Mahdzurah bertutur, “Saya pernah beradzan untuk Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, saat adzan Fajar yang pertama saya membaca: hayya alal falah, ash-shalatu khairun minan naum, ash-shalatu khairan minan naum, Allahu akbar Allahu Akbar, la ilaha illallah.”[10]

Di dalam Al-Adzkar Imam An-Nawawi menulis, “Tatswib hukumnya sunnah menurut kami. Yaitu bacaan (muadzin), ash-shalatu khairun minan naum, ash-shalatu khairun minan naum, setelah membaca, hayya alal falah pada waktu mengumandangkan adzannya tetap sah. Hanya saja dia meninggalkan yang utama.”[11]

Tatswib Hanya Ada di Adzan Subuh

Tatswib tidak disyariatkan selain di adzan Subuh, Barangsiapa mengumandangkan tatswib saat adzan Dzuhur atau Ashar, maka dia telah berbuat bid’ah, memasukan ke dalam adzan sesuatu yang bukan bagian darinya, dan mensyaritakan sesuatu yang tidak dizinkan Allah di dalam agama.

Didalam hadits disebutkan, “Barangsiapa mengadakan sesuatu yang baru dalam urusan kami ini yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.”[12] Maknanya dikembalikan kepada yang melakukannya.

Ibnu Qadamah menulis, “Tatswib selain pada waktu Fajar hukumnya makruh; baik diucapkan ketika adzan ataupun sesudahnya. Ini berdasarkan riwayat Bilal radhiyallahu ‘anhu, katanya, ‘Aku diperintahkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk ber-tatswib pada saat fajar dan melarangku melakukannya pada waktu Isya.’ [13] juga, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, pernah memasuki sebuah masjid lantas dia shalat didalamnya. Ibnu Umar  mendengar seseorang mengumandangkan tatswib saat adzan Dzuhur. Ibnu Umar pun keluar. Seseorang bertanya, ‘Anda mau kemana?’ ‘Satu kebid’ahan memaksaku keluar.’ [14] jawabnya. Juga karena shalat subuh dilaksanakan pada waktu kebanyakan orang sedang tidur makanya adzan shalat Subuh dikhususkan dengan tatswib karena memang dibutuhkan.”[15]

Pada adzan yang ke berapa tatswib dibaca? Apakah pada adzan Subuh yang pertama ataukah pada adzan Fajar yang kedua? Setelah meniliti perbedaan pendapat dalam hal ini saya katakan, “Penulis At-Tahdzib menulis, ‘Jika (muadzin) ber-tatswib di adzan yang pertama, hendaknya tidak bertatswib di adzan yang kedua. Jika ber-tatswib di adzan yang kedua[16], hendaknya tidak ber-tatswib di adzan yang pertama. Wallahu ta’ala a’lam.”

Adzan subuh di Saat Berpergian

Adzan subuh dan selain subuh dusaar berpergian disyariatkan; baik berjamaah maupun sendirian.[17] Dasarnya adalah hadits shahih yang menegaskan maslah itu. Di anataranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Abdurrahman dari ayahnya, bahwa Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh,kulihat kamu senang (menggembala) kambing dan (pergi ke) daerah pegunungan. Jika kamu bersama kambingmu atau dipegunungan, lalu kamu hendak mengumandangkan adzan untuk shalat, keraskanlah suaramu dengan seruan itu. Sungguh, tidaklah jin, manusia atau apapun mendengar suara muadzin kecuali akan bersaksi baginya pada hari Kiamat.” Abu Sa’id melanjutkan, “Aku mendengarnya dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.”[18]

Kalimat “Keraskanlah suaramu dengan seruan itu” mengisyaratkan bahwa adzan seseorang yang hendak menunaikan shalat adalah sesuatu yang sudah biasa dilakukan oleh mereka. Sebab Abu Sa’id tidak memerintahkan adzan melainkan memerintahkan untuk mengeraskan suara saat mengumandangkannya. Berdasarkan hadits ini dan hadits-hadits lain sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa hukum adzannya orang yang shalat sendirian adalah wajib.

Berdasarkan hadits ini juga Imam Ar-Rafi’i berpendapat dan inilah pendapat yang rajih, kuat menurut para ulama madzhab Syafi’i bahwa hukum adzannya orang yang shalat sendirian sunnah. Sebab, adalah hak waktu.

Dari hadits diatas dapat disimpulkan bahwa hukum adzannya orang yang shalat sendirian adalah sunnah, walaupun dia berada di suatu tempat sendirian adalah sunnah walaupun dia berada di suatu tempat sendirian, walaupun tidak mendapatkan do’a dari orang-orang yang shalat, dia masih mendapatkan kesaksian mereka (selain manusia) yang shalat, dia masih mendapatkan kesaksian mereka (selain manusia) yang mendengarnya.[19] Inilah pendapat madzhab Hanafi, syafi’i dan Hambali.

Imam An-Nasa’i meriwayatkan dari Uqbah bin Amir  radhiyallahu ‘anhu  katanya, “Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Rabbmu kagum kepada seorang penggembala kambing di puncak gunung  yang mengumandangkan adzan lalu mengerjakan shalat. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, ‘Lihatlah kepada hamba-Ku ini! Dia mengumandangkan adzan, lalu mendirikan shalat karena takut kepada-Ku. Aku telah mengampuni hamba-Ku dan Kumasukan dia ke dalam surga.”[20]

Di dalam kitabnya yang berjudul Al-Mushannaf, Abdurrazzaq meriwayatkan sebuah hadits shahih dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidaklah seseorang berada di suatu negeri dari bumi ini, lalu dia mengumandangkan adzan dan mendirikan (shalat) kecuali akan shalat di belakangnya makhluk-makhluk Allah yang tak tampak oleh kedua matanya.”[21]

Al-Baihaqi juga meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidaklah seseorang berada di bumi ini, lalu dia mengumandangkan adzan saat waktu shalat tiba, lantas dia beriqamat dan melaksanakan shalat kecuali akan shalat dibelakangnya malaikat-malaikat yang tak tampak oleh kedua matanya. Mereka rukuk dengan rukuknya, mereka sujud dengan sujudnya dan mereka mengamini doanya.”[22]

Malik bin Al-Huwaits radhiyallahu ‘anhu bertutur, “Ada dua orang yang hendak berpergian menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam beliau berpesan, ‘Jika kalian berpergian, hendaklah mengumandangkan adzan, beriqamat, dan yang lebih tua menjadi imam.”[23]

Imam At-Tirmidzi berkata, “Kebanyakan ulama beramal berdasarkan hadits ini. Mereka memilih mengumandangkan adzan di saat berpergian. Sebagaimana  mereka memilih mencukupkan dengan iqamat. Adzan hanya bagi mereka yang hendak mengumpulkan orang banyak. Pendapat yang pertamalah yang lebih benar. Dan itu adalah pendapat Ahmad dan Ishaq.”

Ibnu Hajar di dalam Fath Al-Bari menegaskan bahwa itu adalah pendapat tiga imam (madzhab), Ats-Tsauri, dan lainnya. Madzhab mereka adalah disyariatkannya adzan atas semua.[24] Pendapat yang kedua yang marjuh, kurang kuat adalah pendapat Abdulllah bin Umar dan lainnya, seperti yang akan datang keterangannya.

Didalam kitabnya, Al-Mushannaf, Abdurrazzaq meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, katanya, “Hanyasanya adzan dilakukan oleh kafilah atau tentara yang dipimpin oleh seorang amr. Seseorang menyeru untuk shalat supaya orang-orang berkumpul. Adapun selain mereka, yang dilakukan adalah iqamat.”[25]

Inilah pendapat Ibnu Umar untuk semua shalat. Dia tidak mengecualikannya selain shalat subuh. Beliau mengumandangkan adzan dua kali untuk shalat subuh. Abdurrazzaq meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu mengumandangkan dua adzan untuk shalat Subuh di saat bepergian.[26]

Malik meriwayatkan dari Nafi bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu tidak pernah menambah dari iqamat di saat bepergian kecuali untuk shalat subuh; dia mengumandangkan adzan dan iqamat. Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hanyasanya adzan itu untuk imam yang orang-orang berkumpul kepadanya.”[27]

Ibnul Mundzir berkata, “Ada kabar yang menegaskan bahwa Umar beriqamat untuk semua shalat di saat bepergian, kecuali untuk shalat subuh. Dia mengumandangkan adzan dan iqamat.” Ibnu Sirin berkata, “Cukup bagimu iqamat kecuali di saat Fajar. Mereka berpendapat, dikumandangkan adzan dan iqamat di saat bepergian kecuali untuk shalat Subuh.”[28]

Dari kabar-kabar tersebut, kita tahu bahwa mereka yang menyelisihi pendapat kebanyakan ulama mengatakan cukup beriqamat di saat bepergian. Tidak perlu mengumandangkan adzan. Pendapat mereka untuk shalat Subuh sama dengan pendapat kebanyakan ulama. Mereka mengumandangkan adzan untuk shalat Subuh dan menganjurkan hal itu. Sebagai penutup, kami simpulkan bahwa disyariatkannya adzan[29] untuk shalat lima waktu telah ditetapkan berdasarkan sunnah, baik di saat berpergian. Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh Alam. [Syahida.com]

 

Sumber: Sulitkah Shalat Subuh Tepat Waktu? oleh Samir Al-Qarny bin Muhammad Riziq 

 

[1] Al-Bukhari hadits no. 630 dan Muslim hadits no. 673.

[2] Al-Bukhari hadits no. 2869 dan Muslim hadits no. 437.

[3] Al-Fath Ar-Rabbani 3/9. Shahih sunan Ibnu Majah hadits no. 997, Shahih sunan An-Nasa’i hadits no. 627 dengan isnad yang baik, At-Taghrib 1/272. Shaf depan adalah shaf di belakang imam. Shalawat Allah adalah menyebut mereka dan memuji mereka di Mala’ A’la. Shalawat malaikat adalah doa dan istighfar mereka. Keutamaan ini bagi orang-orang yang bersegera datang, bukan bagi yang datang belakangan lalu menyela-nyelai orang-orang. Wallahu a’lam.

[4] Al-Bukhari hadits no. 621.

[5] Al-Bukhari hadits no. 621.

[6] Fath Al-Bari, 2/312.

[7] Nail Al-authar, 2/38.

[8] Al-Fath Ar-Rabbani, 3/21, katanya, isnadnya baik. Hadits ini juga di dalam Shahih Sunan An-Nasa’i hadits no.614.

[9] Ibnu Sayyidunnas Al-Ya’muri mengatakan bahwa sanadnya shahih. Nail Al-Authar, 2/38.

[10] Shahih Sunan An-Nasai hadits no. 628.

[11] Al-Adzkar halaman 90.

[12] Al-Bukhari hadits no. 2967 dan Muslim hadits no. 2718.

[13] Dhaif Sunan Ibnu Majah hadits no. 715, Al-Fath Ar-Rabbani 3/17 kata pensyarahanya, ‘Di dalam hadits ini ada inqitha’, namun ada syahid-syahidnya.

[14] Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/64 semakna dengannya.

[15] Al-Mughni, 1/399.

[16] Al-Majmu’ Syarth Al-Muhadzdzab 3/101.

[17] Ini untuk musafir yang berpergian menyeberangi lautan atau melewati padang pasir atau yang semisal itu. Sedangkan para musafir yang melewati masjid, hal mana adzan dikumandangkan di sana atau berada di kapal laut yang sudah ada yang mengumandangkan adzan, maka dia tidak perlu mengumandangkannya Wallahu a’lam.

[18] Al-Bukhari hadits no. 609.

[19] Disarikan dari Fath Al-Bari 2/292.

[20] Shahih Sunan An-Nasai hadits no.642, Sunan Abu Dawud hadits no. 1203 dan Silsilatul Al Hadits Ash-Shahihah hadits no.41.

[21] Dinyatakan Shahih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam sebuah rekaman ceramah.

[22] Al-Baihaqi, 1/406 dan Muntakhabu Kanzul ‘Ammal, 3/ 416.

[23] Shahih Sunan At-Tirmidzi hadits no. 205 dan shahih Al-Bukhari hadits no. 630.

[24] Fath Al-Bari, 2/321. Dan yang dimaksud dengan imam yang tiga adalah Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad.

[25] Ibid.

[26] Ibid, 2/ 319.

[27] Al-Muntaqa syarh Al-Muwaththa’. 1/139.

[28] Al-Ausath, Ibnu Mundzir, 3/47.

[29] Disyariatkan adzan adalah dengan Al-Kitab, As-Sunnah dan Al-Ijma’. Namun disini kita hanya menyebutkan sunnah karena adzan saat safar adalah dengan As-Sunnah. Saya telah melihat adanya perbedaan pendapat diantara sahabat tentang adzan selain untuk shalat Subuh. Untuk shalat subuh semua telah sepakat.

Share this post

PinIt
scroll to top