Aku Membunuh Diriku

Ilustrasi. (Foto : avmedia.info)

Ilustrasi. (Foto : avmedia.info)

Syahida.com – Pemuda, “Hallo.”

Gadis, “Ya.”

Pemuda, “Maaf, sebentar saja hanya beberapa kata.”

Gadis, “Kamu mau apa?”

Pemuda, “Aku hidup dalam kecemasan memikirkan masa depan.”

Gadis, “Baik, ada apa denganmu?”

Pemuda, “Sebenarnya aku menginginkan seorang gadis untuk merajut ikatan cinta. Cinta tulus demi meringankan kepedihan dan luka-lukaku, kemudian menikahinya.”

Gadis, “Aku pun begitu. Seandainya ada pemuda jujur yang memenuhi janji dan ucapan-ucapannya.”



Pemuda, “Kamu telah mendapatkan apa yang kamu inginkan. Sayalah pemuda jujur itu. Setelah itu kita menikah, kamu akan menjadi ibu dan aku menjadi ayah.”

Gadis, “Akan tetapi aku tidak mengenalmu.”

Pemuda, “Sebagai permulaan, penjelasan sudah cukup. Namaku…Umur..Aku tampan, siapa saja yang melihatku pasti tertarik.”

Gadis, “Benar?”

Pemuda, “Benar, demi Allah.”

Percakapan Lain:

Pemuda, “Sebenarnya hati kita telah bertaut. Kita tinggal menikah.”

Gadis, “Ya, dan aku akan menolak siapapun yang akan melamarku.”

Pemuda, “Kita harus bertemu supaya jalinan ini lebih kuat.”

Gadis, “Sulit, aku takut untuk bertemu.”

Pemuda, “Harus bertemu. Perkenalan tulus. Jika tidak, maka tidak mungkin kita menikah. Pembicaraan kita ini terekam lho. Jika kamu menolak, maka aku akan menyebarluaskannya.”

Gadis, “Itu berarti kamu ingin memutuskan hubungan dan menyudahi cinta antara diriku dengan dirimu.”

Pemuda, “Bukan… Aku hanya dirimu bertemu dan berkenalan, seperti yang biasa dilakukan sebelum menikah.”

Gadis itu menemuinya dan terjadilah bencana yang memilukan.

Percakapan Lain

Gadis, “Kamu telah menipuku dengan pertemuan tulus. Kamu telah menjerumuskan ke dalam hubungan di luar nikah.”

Pemuda, “Kamu mau apa?”

Gadis, “Melanjutkan hubungan cinta dan mempersiapkan membangun mahligai rumah tangga.”

Pemuda, “Akan tetapi dirimu tidak mengagumkanku. Rasa cinta itu tidak di dalam genggamanku.”

Gadis itu meratap dan menangis, “Akan tetapi kamu telah mengambil milikku.”

Pemuda, “Aku mohon pembicaraan ini cukup sekian. Aku tidak berhasrat menikahi gadis-gadis telepon.”

Terdengar tangisan seorang gadis dan sambungan telepon ditutup.

Ini bukan cerita khayalan. Aku tidak melebih-lebihkan. Renungkanlah alur ceritanya. Banyak aib besar diawali dari bermain-main dengan perkara yang dianggap remeh dan kecil. Banyak orang lupa bahwa hujan dimulai dari setetes kemudian bertumpah ruah. Api besar berawal dari percikan kecil. Perkara kecil mendorong untuk mengulanginya, menyeret kepada yang lebih besar dan begitu seterusnya. Mereka lupa bahwa kemaksiatannya menyeret kepada kemaksiatan yang lain. Kemaksiatan sebagian meremehkan sebagian yang lain. Barangsiapa tidak mengingkari kemungkaran yang kecil, niscaya dia akan terbiasa menerimanya. Jika itu kemungkaran yang lebih besar, maka pengingkarannya pasti ringan, karena sebelumnya dia telah menerima yang lebih kecil dan diikuti oleh yang lebih besar darinya.

Syariat Islam tidak sekedar mengharamkan zina dan perbuatan-perbuatan keji semata. Lebih dari itu ia mengharamkan semua sarana yang mengantarkan kepadanya. Ada larangan berkata genit, mesra dan lembut. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di dalam hatinya.” (QS. Al-Ahzab: 32).

Ada larangan menampakkan perhiasan, “Dan janganlah menampakkan perhiasaanya kecuali kepada suami mereka.” (QS. An-Nur: 31).

Ada perintah menundukkan pandangan, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30).

Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaknya mereka menahan pandangannya.” (QS. An-Nur: 31).

Di dalam Sunnah terdapat laknat bagi wanita yang keluar dengan parfumnya supaya kaum laki-laki mencium baunya. Ada pula ancaman khalwat dalam sabda Nabi Subhanahu wa Ta’ala,

“Janganlah laki-laki berkhalwat dengan wanita karena pihak ketiganya adalah setan.” (Sunan An-Nasa’i).

Barangsiapa mengikuti syariat, niscaya dia akan selamat dan aman. Dan barangsiapa melanggar rambu-rambu pengaman ini, meremehkan dan menyepelekannya, maka dia beresiko terjerumus ke dalam kebinasaan yang memalukan.

Ada sebuah peribahasa bagi orang yang meremehkan; “Siapa yang menggali lobang, dia pasti terperosok ke dalamnya.” Hendaknya para keluarga berhati-hati dan para gadis waspada.[1] [Syahida.com]

  1. Kasykulul Usrah, hlm 50-53.

Share this post

PinIt
scroll to top