Apa yang Harus Dilakukan Gadis Saat Pemuda Menelepon dan Mengajak Bertemu?

Ilustrasi. (Foto : publicdomainpictures.net)

Ilustrasi. (Foto : publicdomainpictures.net)

Syahida.com – Aku melihat gadis itu bermuram durja. Wajahnya pucat. Kelelahan terpancar darinya. Kurang tidur membuatnya sangat gelisah. Dia menginginkan kehadiran seseorang untuk mencurahkan kepedihannya dan mengungkapkan perasaannya. Ketika aku melihat itu semua pada dirinya, aku pun mendekatinya. Aku berkata kepadanya, “Wahai muridku terkasih, aku adalah ibu gurumu. Aku tidak akan mengungkapkan kepedihanmu kepada siapapun. Kepedihan hampir saja berbicara dari rona mukamu.”

Muridku, berbagilah kepedihan kami. Izinkan aku menangani masalahmu. Percayalah, aku adalah saudarimu yang mencintaimu. Ibu guru yang mengerti dan ibu yang penuh kasih. Apa yang kamu rasakan, aku pun merasakannya. Kesedihanmu adalah kesedihanku. Ayolah  berbicaralah. Jangan diam. Aku jadikan diriku sebagai penggantimu.”

Dia mendongak mengambil nafas panjang, kemudian memandangku. Kedua matanya yang sendu mengeluarkan air mata bening. Dia berkata, “Ibu yang baik, masalahku, kepedihanku dan kebingunganku tidak sama dengan problem-problem yang telah Ibu dengar atau baca.”

Dengan cepat aku menukas, “Apa itu?”

Dia menjawab, “Aku malu untuk mengatakannya.”

Aku berkata, “Ayolah, tidak apa-apa, anakku. Ucapanmu terjamin tersimpan di sumur tak berdasar. Sumur itu lalu ditimbun dan tak seorang pun bisa sampai ke sana.”

Dia berkata, “Begini, bu. Suatu kali seorang pemuda meneleponku di rumah. Dia berbicara kepadaku dengan lembut, maka aku juga berbicara lembut kepadanya. Akhirnya dia berhasil mencuri hatiku. Begitu aku menutup pesawat telepon, aku telah tergila-gila padanya. Aku menunggu janji telepon darinya esok hari. Esoknya, dia benar-benar menghubungiku… Begitulah, pembicaraan antara kami terus berjalan. Selang beberapa waktu, pembicaraan kami berubah menjadi kisah cinta hingga urusan asmara. Sepanjang malam kami berbincang melalui pesawat telepon. Tadi malam dia mengajakku keluar dengan alasan karena kita akan menikah dan bertekad untuk menikah.”

Dia berkata kepadaku begini, “Kita bertemu, agar kita bisa saling melihat sebelum lamaran, jika kita saling mengagumi. Jika tidak, ya anggap saja tidak terjadi apa-apa.”



Dia terus menerus meminta bertemu, dan aku selalu menolak. Kemudian dia berkata, “Ini sangat membantu kelanggengan pernikahan.”

“Sejak saat itu, bu, aku selalu gelisah, sedih dan benar-benar bingung. Antara cintanya kepadaku dan cintaku kepadanya. Antara rasa malu, antara adat kebiasaan, antara bagaimana cara keluar bersamanya, antara ketakutan diketahui orang. Cintanya telah menguasai hatiku, sehingga aku tidak kuasa mendengar ketika dia marah kepadaku. Setiap kali berbicara kepadaku, dia selalu meminta bertemu, dan aku selalu menolak. Inilah yang membuatku selalu gelisah, sedih dan bingung.”

Aku tersenyum setelah mendengar problemnya. Aku kagum terhadap serigala lapar ini, begitu cerdik dan liciknya. Dia ingin memangsa domba yang baik hati dan patut dikasihani, yang telah disihirnya dengan kata-kata bermadu mengawang di angkasa. Kata-kata yang kejujuran adalah musuhnya, dan kedustaan adalah temannya.

Aku heran, bagaimana saudari-saudariku bisa dengan mudah terbujuk dengan kedunguan itu. Menggelikan. Aku tercenung cukup lama. Dia memandangku sambil berkata, “Ada apa denganmu, wahai Ibu guru yang budiman? Mengapa engkau tidak menjawabku? Mana perhatian yang engkau janjikan kepadaku?”

Suaranya menyadarkanku. Aku pandang dia. Aku menenangkan pikirannya dengan mengatakan, “Tidak apa-apa. Masalah itu ringan dan mudah.” Dengan cepat dan diselimuti kegembiraan dia berkata, “Bagaimana caranya? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjagamu.”

Aku menjawab, “Sore nanti, jika kamu bisa, temui Ibu di rumah. Insya Allah, ada jalan keluarnya.”

Bel berdering menandakan waktu istirahat telah habis. Dia beranjak ke kelas dengan senyuman menunggu saat sore tiba.

Ketika sore tiba dan malam mulai turun dengan kegelapannya, pintu rumah kecilku diketuk. “Siapa?”

Dia menjawab, “Saya, bu.” Aku mengenal suaranya. Aku mengenal suaranya. Aku membukakan pintu untuknya. Dia masuk seraya mengucapkan salam. Aku menjawab salamnya dengan salam yang lebih baik. Dia pun duduk menjadi tamuku. Aku katakan kepadanya, “Putriku yang mulia, masalahmu ini seperti yang telah aku katakan adalah sangat mudah.”

Dia bertanya, “Mudah bagaimana?”

Aku bertutur, “Ini bukan problem pertama yang aku dengar dan bukan kejadian pertama yang aku ketahui. Ada banyak peristiwa seperti ini. Banyak sekali. Akan tetapi aku ingin memberimu pembukaan sebelum aku menceritakan sebagian di antaranya kepadamu. Ketahuilah, segala sesuatu  yang pelakunya tidak merasakan adanya pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menyimpang dari jalan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melanggar ketentuan-ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ia adalah sesuatu yang buruk di dunia. Pelakunya diancam adzab di Akhirat. Aku ceritakan kepadamu tentang seorang gadis berhati bersih sepertimu. Dia menjalin hubungan dengan seorang laki-laki melalui telepon. Hal itu berlangsung cukup lama, dia sering merasa berdosa. Kemudian dia bersedia dibawa oleh laki-laki itu dengan mobil. Di dalam mobil, laki-laki itu menghisap sesuatu, bukan rokok tapi narkoba.

Dia baru sadar ketika sampai di pintu rumahnya. Laki-laki itu telah menodainya. Perutnya membawa seorang anak zina. Tidak kuasa menanggung aib, akhirnya dia bunuh diri. Adapun laki-laki itu, ia hanyalah serigala yang menerkam domba.

Gadis lain. Seorang pemuda meneleponnya. Dengan ucapan yang bermadu dia berhasil menyihirnya. Dia curi hatinya. Dia mengajaknya keluar. Dia bertekad menolak dan berlindung di balik kehormatan dan kesuciannya yang harus dijaga. Akan tetapi dia memberikan kepercayaan buta kepada pemuda itu. Dia meyakinkan dirinya. “Inikan cuma hiburan saja, seperti layaknya dengan teman-teman wanitanya.” Akhirnya pemuda itu berhasil membawanya keluar. Dan pergi ke tempat sepi. Dia meronta-ronta agar dipulangkan, akan tetapi pemuda itu menolak, kemudian…

Begitulah hal itu terus terjadi, wahai anakku terkasih. Oleh sebab itu, wahai puteriku, walaupun kamu mengatakan dirimu adalah gadis berakal, berpikiran jernih sementara pemuda itu jujur. Tetap saja itu dilarang dan diancam adzab oleh-Nya di akhirat. Hal itu sudah cukup bagimu untuk tidak keluar bersamanya. Ketahuilah, bahwa angan-angan yang kamu hembuskan kepada dirimu, bahwa dirimu bisa membangun hubungan kasih sayang yang erat dengan orang asing, itu hanya angan-angan semata. Ia akan melayang bersama angin dan fatamorgana penipu. Begitu kamu mendatanginya, kamu tidak akan menemukan apapun.”

Kemudian aku memandangnya untuk menenangkannya. Aku berkata, “Puteriku yang mulia, sekarang jangan banyak menangis. Perkara ini ada di tanganmu. Kamulah pemegang kendali. Oleh sebab itu, aku mengingatkanmu sekaligus gadis-gadis lain sepertimu agar waspada terhadap serigala-serigala buas lagi lapar ini yang mengincar mereka setiap saat. Jika domba betina begitu ketakutan terhadap dirinya dari serigala yang mengincar dagingnya, maka seharusnya seorang gadis lebih takut terhadap laki-laki asing yang mengincar kehidupannya. Lebih dari itu, merenggut kemuliaan dan keormatannya lalu menggantikannya dengan kehinaan, menukar Surganya dengan Neraka, membeli akalnya dan meninggalkan kedunguannya. Oleh karena itu, manusia-manusia buruk seperti mereka tidak berhak walaupun hanya dipandang. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berbicara kepada Ummul Mukminin yang mulia dan terhormat, “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara, sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di dalam hatinya.” (QS. Al-Ahzab: 32).

Lalu bagaimana dengan diri kita? Akal kita telah hilang, begitu pula agama kita. Padahal akal kita di hadapan akal mereka hanyalah seperti dataran kecil di laut yang luas.

Oleh karena itu, wahai puteriku yang mulia, kita memperingatkan semua wanita seperti kita.

Bayangkan, seandainya dia selamat. Dia satu mobil dengannya untuk pertama kali, kemudian kedua, lalu ketiga dan begitu seterusnya. Kebingungan dan kegelisahan apa yang akan menimpanya? Apa akhir dari keluar bersamanya? Dia pasti akan menggiringnya untuk direnggut kesuciannya, kehormatannya dan kemuliaannya. Hal itu karena keteledorannya, ditambah lagi setan yang selalu menghiasi setiap kemungkaran. Jika keluarganya mengetahuinya, bagaimana nasibnya? Bisa-bisa ia langsung dibunuh. Tidak ada jalan lain.

Dari sini, wahai puteriku, janganlah terkecoh dengan orang-orang buruk dan rendahan seperti mereka. Walaupun mereka memperlakukanmu dengan baik, mereka tetap saja serigala berbulu domba.

Ukhti yang mulia, hati mereka itu tidak merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka ia pun mengalir di jalan hawa nafsu.

Apakah kamu pernah memikirkan akibat perkara ini, wahai ukhti yang mulia, bagi seorang pemuda dan bagi seorang gadis? Akibatnya adalah seperti ini:

Urusan seperti ini bagi seorang pemuda hanyalah sekedar membuang sesuatu yang tidak diperlukan oleh tubuhnya dan membuangnya di lubang najis. Jika aibnya terbongkar, maka dia menunjukkan penyesalan dan masyarakat pun memakluminya. Mereka berkata, “Seorang pemuda telah salah langkah, lalu bertaubat. Seorang pemuda berbuat salah, lalu bertaubat. Seorang pemuda terbujuk oleh setan, lalu bertaubat. Seorang pemuda tergoda oleh kenikmatan dunia lalu bertaubat.” Dan masih banyak lagi pemakluman.

Kalaupun dia benar-benar ingin menikahimu apakah kamu yakin wahai ukhti kalau pernikahanmu itu akan berhasil?

Tidak, kecuali bila Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki hal itu karena hatinya akan disusupi oleh keraguan siang dan malam. Wanita yang mengkhianati keluarganya dan bersedia pergi bersamaku di awal hubungan, maka dia akan mengkhianatiku. Dia pasti mempunyai hubungan dengan selainku. Lalu dia mematai-matai teleponnya. Pikirannya sibuk untuk mencurigainya. Bahkan dia akan mencurigai anak-anaknya walaupun tidak ada bukti-bukti nyata yang mengindikasikan kalau dia telah melakukan sesuatu. Akhir dari kecurigaan adalah problem yang tidak pernah selesai, kemudian talaklah yang akan menghancurkan kehidupannya.

Dalam sebuah wawancara dengan beberapa pemuda penjara, di salah satu media informasi, dikatakan bahwa mereka sering berkasak-kusuk melalui telepon dan mereka mempunyai kekasih-kekasih yang menurut mereka. Mereka bertanya, “Apakah kalian pernah benar-benar berpikir untuk menikahi salah satu dari mereka?”

Semuanya menjawab, “Kami tidak pernah memikirkannya. Tidak pula kami memikirkan  untuk melamar mereka. Gadis-gadis itu hanya sekedar mainan, seperti seorang bocah bermainan dengan mainannya. Ketika dia merasa bisan maka dia mencampakkannya. Kita juga begitu. Kami bosen lalu kami tinggalkan. Masa bodoh dengan mereka. Kami tidak menanggung apa-apa. Biarkan mereka yang menyesali diri mereka sendiri.”

Mereka ditanya, “Apakah kalian membiarkan wanita bersenang-senang seperti kalian bersenang-senang?”

Mereka menjawab, “Demi Allah, kami hanya menganggapnya wanita muraham, wanita rendahan. Anggota masyarakat paling hina dan tidak berguna, walaupun kami menampakkan kepadanya bahwa dia adalah anggota masyarakat paling baik dan paling berakal. Bahkan kami menganggapnya hanyalah ibarat hamba sahaya yang bisa kami perlakukan sekehendak kami.”

Dalam salah satu penelitian seorang pemuda ditanya tentang seorang gadis yang katanya adalah kekasihnya. “Apa pandanganmu terhadapnya?” Dia menjawab, “Demi Allah, aku tidak lain kecuali seperti lautan. Aku ambil yang ia lempar, aku buka, aku ambil mutiaranya, lalu aku campakkan.”

Sekarang kamu telah mengetahui, wahai wanita yang berakal. Itulah yang ada di benak para pemuda yang berada di puncak kepemudaan. Yang mereka pikirkan hanyalah menuntaskan kenikmatan sesaat dan yang memikul dosanya adalah wanita. Pada waktu aku membaca penelitian-penelitian itu, aku teringat ucapan Ibnu Hazm, “Orang pertama yang tidak berharga di depan laki-laki adalah wanita yang berzina dengannya.”

Akibat yang harus dipikul oleh gadis adalah kebingungan, kecemasan dan kepedihan. Dia takut aib. Dia khawatir itu akan diketahui oleh orang tuanya, khawatir saudaranya, takut kepada masyarakat jika dia keluar bersama kekasihnya, sementara harapan menikah tidak terwujud. Dia harus menutup amplop nikah untuk selama-lamanya, karena dia tidak mungkin menikah. Dia khawatir suaminya mengetahuinya, kemudian berakibat kepedihan.

Apa yang mesti dia lakukan? Siangnya bukanlah siang dan malamnya bukanlah malam. Dia seperti burung terluka. Apa yang mesti dia lakukan?

Dia takut membeberkan kepada siapapun, karena itu merupakan aib.

Lalu, apa kira-kira yang dipikirkannya? Dia berpikir untuk membalas dendam terhadap dirinya, dengan bunuh diri. Dia berpikir meninggalkan alam ini secepat mungkin. Dia rindu dan mengharapkan kematian. Berapa banyak gadis-gadis yang mati bunuh diri? Berapa banyak yang dibunuh oleh ayahnya? Yang dibunuh oleh saudaranya? Yang dibunuh oleh kekeluarganya? Berapa banyak gadis yang menjadi gila, akalnya hilang dan dia harus mendekam di rumah sakit jiwa? Berapa banyak gadis yang menusuk dirinya dan dia harus mendekam di rumah sakit jiwa? Berapa banyak yang menusuk dirinya dan dia sekarang berbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit? Apa penyebabnya?

Pesawat telepon!!

Dia tergesa-gesa mengenyam kenikmatan hina lagi rendah di dunia dan Akhirat.

Ini adalah akibat akhirnya. Oleh karena itu, wahai puteriku yang mulia, tolaklah para serigala itu. Jangan diterima. Jangan ditemui, kecuali melalui jalan yang masyru’ di bawah naungan keamanan dan rasa aman, di bawah naungan cinta suci dan terhormat, di bawah naungan pernikahan syar’i dan dibolehkan oleh agama, yang telah membolehkan pelamar melihat wanita yang dilamarnya pada waktu lamaran, agar hubungan suami isteri menjadi langgeng. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Lihatlah kepadanya, karena itu lebih berpeluang untuk dilanggengkan antara kalian berdua.”

Dia memotong ucapanku dengan pandangannya. Tangisan tersendat di dadanya. Air mata membasahi pipinya. Dia berkata, “Demi Allah, wahai Ibu guruku yang mulia, sungguh engkau telah membangunkan diriku dari tidur panjang dan kelalaian yang besar. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalasmu dengan kebaikan atas nasihatmu yang berharga.[1] [Syahida.com]

  1. Dzi’ab Basyariah, Amal Al-Abdullah, hlm 1-10.

Sumber: Khalid Abu Shalih (Waspadalah Putriku, Serigala Mengintaimu!) 

Share this post

PinIt
scroll to top