Ayah dan Ibu, Dua Pintu Surgaku (Bagian ke-1)

Ilustrasi. (Foto : bbc.co.uk)

Ilustrasi. (Foto : bbc.co.uk)

Syahida.com – Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Isra [17]: 24)

Seorang pemuda Syam berkata, “Aku berdiri dengan hati remuk redam, jantungku terasa tercabik-cabik oleh nestapa yang menghantamku! Kemarin ibuku, dan sekarang ayahku. Kasihanilah aku, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih! Aku masih teringat hari itu, ketika satu dari pintu-pintu surga tertutup bagi diriku bersama dengan wafatnya ibu. Aku menangis sepanjang hari. Detak jantungku pun serasa ikut meratap menahan derita.

Aku teringat kisah yang dituturkan oleh Iyas al-Qadhi. Ketika ibunya meninggal, ia menangis. Seseorang bertanya, ‘Mengapa engkau menangis?’ Iyas menjawab, ‘Sebelumnya, ada dua pintu surga yang terbuka untukku, dan sekarang, satu pintu telah tertutup.’ Semakin aku mengingat kisah itu, semakin pilu hati ini. Sekarang, pintu yang satu lagi juga telah tertutup untukku. Siapakah gerangan yang akan menghiburku? Siapa yang akan mendoakn agar aku mendapat ridha? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengasihimu, wahai Ibu! Betapa besar ketabahanmu menahan azab dan derita dan betapa aku tidak mengenal keistimewaanmu! Semoga Allah mengasihimu, wahai ayahku.

Segala puji bagimu ya Tuhan, bukankah engkau tidak menutup pintu rahmat-Mu untukku? Tidakkah Rasul-Mu bersabda bahwa masih ada kesempatan untuk menyambung tali silaturrahim dengan orangtua meski keduanya telah tiada? Bukankah Rasul-Mu telah bersabda dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar, Bakti yang terbaik adalah anak yang menyambung tali persaudaraan dengan orang yang dicintai ayahnya. Aku berjanji kepadamu wahai Tuhan, aku akan menyambung tali persaudaraan dengan sahabat-sahabat ibu bapakku dan aku akan berbuat baik kepada mereka setelah kedua orangtuaku tiada.

Aku sungguh-sungguh bertaubat kepada-Mu (taubatan nasuha) atau maksiat dan perbuatan durhaka yang aku lakukan di masa lalu. Namun, bukankah di antara syarat bertaubat adalah harus mengembalikan hak orang lain yang menjadi kewajiban dirinya! Ayah…Ibu…, tetapi ya Allah, betapa dahsyatnya! Benarkah aku berada di alam nyata?! Bagaimana aku meminta maaf? Bagaimana aku menunaikan hak kedua orangtuaku, padahal saat ini mereka telah tiada?! Bagaimana aku menemui orangtuaku dan mengembalikan apa yang menjadi hak keduanya?! Bagaimana mereka mau menerima alasanku… Ayah… Ibu…!”

Pemuda itu melanjutkan penuturannya, “Lantaran duka hatiku yang teramat dalam, aku melihat seolah ayahku tersenyum dan berkata kepadaku, ‘Wahai As’ad anakku! Aku akan mengajarkan beberapa kalimat tentang kepribadian padamu!’

Aku berkata, ‘Baiklah ayah. Sepertinya engkau mendengarku meski engkau berada di alam lain!”

“Tidak, anakku! Aku hanya mengulangi pelajaran yang telah engkau kenal baik, yang telah aku ajarkan kepadamu ketika engkau masih kecil. Atau engkau telah seringkali membacanya dari buku-buku tebal setelah Allah memberi hidayah kepadamu dan engkau menjadi amat taat pada ajaran Islam! Wahai anakku! Lidah itu mempunyai harga diri, dan harga diri lidah adalah manisnya, keindahannya dan kelembutannya dalam bertutur kata. Akhlak pun punya harga diri, dan harga diri akhlak adalah kebesaran jiwa terhadap kawan dan lawan. Anakku! Adapun harga diri sebuah jiwa adalah apabila seseorang mampu mengendalikan jiwanya, baik secara paksa ataupun sukarela, untuk sesuatu yang indah dan baik, serta meninggalkan segala yang mencemarkan dan memperburuk jiwa, hingga hal tersebut menjadi kebiasaan.’



“Baiklah, ayah. Percayalah kepadaku. Aku berjanji kepadamu, jiwaku akan memiliki harga diri yang hakiki, dalam tutur kata dan perbuatanku.”

Si pemuda berkata, “Tiba-tiba ibu memotong pembicaraanku, ‘Tinggalkan omongan ini, ayah As’ad! Demi Allah, aku tidak pernah melihat pada dirinya tentang harga diri yang kau ajarkan kepadanya. Mulutnya tidak bisa bertutur kata dengan manis dan lembut, tidak berperilaku lapang dan tidak pula mengekang jiwanya.”

‘Cukup wahai ibu…., cukup!’

Si pemuda menuturkan, “Aku berteriak keras. Teriakan itu seakan merobek jantung dan mematahkan tulang rusukku. Aku meratap menangis.

Ibuku melanjutkan kata-katanya, ‘Di manakah harga dirimu ketika kami berdua masih hidup?’

Pemuda itu bertanya, “Di manakah engkau sekarang, ibu? Bukankah saat ini engkau masih ada bersamaku? Sungguh aku minta maaf atas kekhilafanku.”

Ibunya menyela, “Berhentilah berbicara, anakku. Dengarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Orang yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya ia akan melihat balasannya. Dan orang yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula. (QS. Al-Zalzalah [99]: 7-8)

Si pemuda berkata, “Nafasku tertahan di tenggorokan. Aku terjatuh, tetapi aku berusaha untuk menguasai diri. Aku bangkit berdiri sambil berteriak, ‘Rahmatmu, ya Allah! Aku mohon kepadamu, wahai ibu, jangan engkau berbicara! Sekarang aku telah bertaubat, dan engkau pasti akan memaafkan aku. Aku berjanji tidak akan mengulangi kesalahanku.”

“Apa pendapatmu, wahai Ibunda As’ad?” tanya sang ayah.

“Tidak ingatkah engkau, wahai ayah As’ad, betapa seringnya ia berbicara keras di hadapanku untuk membela istrinya atau melarangku ketika aku ingin memanjakan anak perempuannya? Tidakkah ia yang mengaku taat pada agama, mendengar hadist yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ radhiyallahu anhu, “Seorang laki-laki datang dan melapor kepada Abu Darda’, bahwa laki-laki itu beristri seorang wanita, tetapi sang ibu meminta menceraikannya. Abu Darda’ radhiyallahu anhu menjawab, ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Orangtua adalah pintu surga yang berada di tengah.” Jika engkau menghendaki, engkau dapat menjaga pintu surga itu atau mengabaikannya.

“Demi Allah, wahai ayah As’ad,” lanjut sang ibu, “Aku tidak memintanya untuk menceraikan istri anakku, hanya lantaran persoalan sepele dalam rumahtangga. Demi Allah, jika aku diberi kesempatan untuk kembali ke dunia, niscaya aku akan memaafkannya, tetapi takdir Tuhan menetapkan bahwa aku tidak akan bisa kembali.”

Pemuda itu berkata, “Benar, ibu. Aku memahami itu, tetapi mengapa engkau tidak memaafkan aku ketika engkau masih hidup?”

“Engkau telah menyia-nyiakan pintu surga, As’ad!” jawab sang ayah.

“Tidak, tidak ayahku! Ayah tidak menyia-nyiakannya.”

Pemuda itu menuturkan, “Ayahku berkata, ‘Engkau sungguh telah menyia-nyiakannya, As’ad! Bukankah aku marah kepadamu di hari itu…., lalu engkau memandangku dengan pandangan merendahkan, sedang engkau telah mengerti bahwa Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Urwahh, tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan. (QS. Al-Isra [17]: 24)

‘Urwah berkata, ‘Jika kedua orangtua marah kepadamu, maka janganlah engkau menatap mereka dengan pandangan yang merendahkan…”

“Ayahku, tetapi saat itu engkau zalim terhadap diriku.”

Ayahnya berkata, “As’ad, bukankah engkau juga mengerti bahwa ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu anhu berkata, “Tidak seorang muslim pun yang memiliki orangtua muslim dan ia berbuat kepada keduanya, kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuka dua pintu surga baginya. Apabila ia hanya mendapati salah seorang dari keduanya, maka akan dibukakan baginya satu pintu surga. Jika salah seorang dari keduanya marah, maka Allah tidak akan ridha kepadanya selama ia tidak meridhainya.’ (HR. Bukhari)

Seorang bertanya, “Bagaimana kalau mereka berbuat zalim kepadanya?’ ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu anhu menjawab, ‘Meski keduanya berbuat zalim pada dirinya.’ Selain itu, Allah berfirman, “Pergaulilah keduanya di dunia yang baik.” (QS. Luqman [31]: 15)

Lagi pula, kezaliman macam apa? Apakah aku memerintahkan kamu berbuat jahat? Tidak, demi Allah, ia tidak lebih menyangkut urusan dunia, tidak berhubungan dengan masalah ibadah! Percayalah bahwa engkau telah menyia-nyiakan pintu surga yang terbuka untukmu.

Pemuda itu menuturkan, “Aku menjerit. Apa yang bisa aku lakukan, padahal kedua orangtuaku telah tiada?! Benar, tidak ada lagi kata maaf, tidak ada lagi amalan baik yang bisa diterima, sedangkan Tuhan selalu mengawasi. Sungguh celaka diriku ini!

Selesai mengantarkan jenazah ayahku, aku pulang dengan berjalan kaki bersama rombongan yang berjumlah cukup banyak. Aku merasa amat ketakutan dan dadaku terasa terhimpir saat mengingat peristiwa-peristiwa di masa lalu. Hari-hari ketika aku melawan ibuku dengan kata-kata keras, atau memprotes ayahku dengan penuh amarah, seakan aku adalah penguasa dunia! Hari-hari ketika aku tidak senang pada ibuku demi membela kepentingan istriku, atau ketika ayahku tidak setuju pada kekeliruanku, meski amat sepele. Hari-hari itu aku mengetahui firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka hati-hatilah kamu terhadap mereka.” (QS. At-Taghabun [64]: 14)

Sedikit pun aku tidak memahami makna ayat tersebut. Baru sekarang aku faham sering menangis karenanya. Namun, aku menyimak perkataan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu anhu, “Membuat orangtua menangis termasuk perbuatan durhaka dan dosa besar.” Aku juga mendengar sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Tidakkah kalian ingin aku tunjukkan tentang dosa-dosa terbesar?” Rasulullah mengucapkannya tiga kali. Kami menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Menyekutukan Allah, durhaka kepada orangtua.” Beliau duduk bersandar kemudian bersabda, “Ya! Dan sumpah palsu.” Rasulullah terus mengulang-ulang kalimat itu hingga kami berkata dalam hati, “Tidakkah beliau berhenti!”

Si pemuda berkata, “Betapa seringnya aku membuatmu menangis, duhai ibu…dan betapa seringnya…! Andaikata aku telah meminta maaf, tetapi aku tidak melakukannya karena aku khilaf, aku murka, dan… aku tidak mengerti! Tetapi aku akan terus memohon ampunan Tuhanku selama aku masih hidup akan terus memohon ampunan Tuhanku selama aku masih hidup dan aku akan selalu mengingat hadist Nabi, “Jangan engkau memutus hubungan yang dijalin oleh ayahmu, niscaya cahayamu akan padam.” Aku merasa ibuku berkata, ‘As’ad, anakku! Jika engkau tertimpa musibah, apa yang hendak kau lakukkan?’

Aku menjawab, “Aku akan beristighfar memohon ampunan pada Tuhanku.”

Ibuku berkata, ‘Jika aku masih hidup, tentu hal itu akan mudah bagimu.’

Aku bertanya, ‘Bagaimana mungkin, wahai ibu?’

Ia menjawab, ‘Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu anhu bahwa seorang laki-laki datang kepadanya dan berkata, ‘Aku melamar seorang wanita, tetapi ia menolak untuk menikah denganku. Kemudian seorang laki-laki datang melamarnya dan wanita itu bersedia menikah dengannya. Karena cemburu, aku membunuh wanita itu. Apakah ada jalan bagiku untuk bertaubat?’ ‘Abdullah bin ‘Abbas bertanya, ‘Apakah ibumu masih hidup?’ Orang itu menjawab, ‘Tidak,’ ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata, ‘Bertaubatlah dan dekatkan dirimu pada Allah sebisamu!’ Ketika si laki-laki itu berlalu, seseorang bertanya, ‘Mengapa engkau bertanya perihal ibunya?’ ‘Abdullah bin ‘Abbas menjawab, ‘Aku tidak pernah tahu ada amal perbuatan yang lebih mendekatkan diri pada Allah selain berbakti kepada ibu’.

Si pemuda berkata, “Wahai ibu, demi Allah, aku tidak tahu apakah aku benar-benar menyia-nyiakan pintu surga yang dibukakan untukku atau tidak. Namun, aku merasa cukup berbakti semampuku dan Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya.’

Aroma surga itu tercium dari jarak lima ratus ribu perjalanan. Dan orang yang gemar membanggakan amal baiknya, orang yang durhaka pada orangtua dan pecandu khamr tidak akan merasakan aroma ini.

Sang ibu berkata, ‘Apakah engkau mengira pahala Allah itu didapat menurut keinginan hawa nafsu? Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Terhinalah dia, terhinalah dia, terhinalah dia!” Para sahabat bertanya, “Siapakah gerangan dia, wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Siapa yang mendapati salah seorang dari ibu bapaknya atau keduanya di usia lanjut, namun keduanya tidak dapat menjadikan dirinya masuk surga’.”[1] Lupakanlah hal itu! bukankah engkau telah membakar hatiku saat ibumu ini masih hidup? Bukankah engkau telah membuatku menangis demi menuruti keinginan hawa nafsumu, ambisi pribadimu, demi istrimu, atau demi menuruti seleramu, berkenaan dengan cara menghidangkan makanan, menyambut kedatangan tamu…dan seterusnya! Dengarkan, hai anakku, dan sampaikan pesan ini kepada semua orang.’

Si pemuda menjawab, ‘Katakan wahai ibu!’

Ibunya menuturkan, ‘Ketahuilah anakku, ketaatan yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bukanlah ketaatan yang begitu saja dapat kau tinggalkan saat engkau murka, dan engkau kerjakan saat hatimu senang. Sudah menjadi watak seorang ibu bahwa ia akan selalu berkata, ‘Aku merelakanmu wahai anakku!’ Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan fitrah seorang ibu untuk mencintai anaknya. Bukankah engkau telah menyaksikan sendiri betapa banyak sahabatmu yang pergi tanpa pesan dan berbuat durhaka pada ibunya. Ketika ia pulang, sang ibu menyambutnya dengan senyum seolah tidak pernah terjadi sesuatu! Seorang ibu tidak pernah merasa lelah dalam memelihara buah hatinya. Akan tetapi apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala ridha terhadap perbuatan seperti itu? Jika benar, maka apa makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Isra [17]: 23-24).

Ayat tersebut merupakan perintah dan ketetapan hukum yang wajib dilaksanakan dari Tuhan Yang Mahaperkasa, agar seorang anak tidak mengatakan ‘ah!’, sebagai perbuatan paling sederhana yang menyakitkan orangtua. Anda tidak tahu apakah seorang ibu peduli pada anaknya yang berkata, ‘ah!’, tetapi perintah tersebut merupakan bentuk ketaatan dan beretika kepada Allah. Pada ayat lain, perintah untuk berbakti pada orangtua disandingkan dengan keikhlasan pada Allah dan larangan untuk menyekutukan Allah. [Syahida.com]

  1. Hadist sahih, lihat Al-Albani, Shahih al-Jami’, hadist no. 34511

=====

Bersambung……

Sumber: Kitab Keramat Hidup : Orang Tua, Musa bin Muhammad Hajjad az-Zahrani  

Share this post

PinIt
scroll to top