Muslim yang Shalatnya Tidak 5 Waktu

 

Ilustrasi. (Foto : cipitmeni.blogspot.com)

Ilustrasi. (Foto : cipitmeni.blogspot.com)

Syahida.com – Ada dua pernyataan yang merupakan dua masalah yang berbeda. Masalah pertama adalah, “Aku tidak bisa shalat 5 waktu sehari. Aku tidak bisa melakukannya.” Dan, aku tak mempercayaimu. Siapapun yang berkata, “Aku tidak bisa melakukannya”. Aku tidak percaya padamu. Kau tahu kenapa? Karena aku percaya Allah.

Dia SWT berfirman, “Laaa Yukallifullahu Nafsan Illa Wus’aha (Allah tidak membebani siapapun kecuali orang tersebut dapat menanggung beban itu). Inilah yang Allah firmankan. Allah berfirman bahwa Dia tidak membebani siapapun dengan tanggung jawab apapun, kecuali mereka dapat menanggung beban itu. Inilah firman-Nya. Kau berkata bahwa kau tidak bisa bertanggung jawab atas apa yang Allah perintahkan, bukankah begitu? Kau berkata, “Aku tidak bisa shalat 5 kali. Ini terlalu banyak.” Sedangkan Allah berfirman, “Ya, kau bisa!”

Jadi aku punya pilihan antara mempercayaimu atau mempercayai Allah. Dan mungkin jika kau tidak menyadari ini, mungkin kau berbohong pada dirimu sendiri. Mungkin kau meyakinkan diri sendiri karena kemalasanmu, karena kamu kurang kemauan, sehingga kau tidak mau shalat 5 kali sehari. Aku tidak bisa menghakimimu, aku tidak tahu apa masalahnya. Tapi mungkin masalahnya kau malu shalat di depan non-muslim… Orang-orang dapat beristirahat 15 menit untuk merokok di tempat kerja, benar kan? Mereka dapat beristirahat dan melakukan apa saja, tapi kau tidak bisa shalat 5 kali sehari? Subhanallah…

shalat-5

Di Amerika Serikat, aku dulu bekerja di Kota New York, dan aku seringkali melihat Muslim shalat dimana-mana, di pinggir jalan 5th Avenenue, seseorang sedang bertugas jaga, tetapi dia tetap shalat karena sudah masuk waktunya. Atau di universitas, kau membuka ruang fotokopi di perpustakaan dan kau melihat 3 orang di sana sedang shalat. Muslim akan shalat, jika masuk waktunya, mereka akan shalat. Titik, itu saja.

Jadi itulah yang pertama, Allah berfirman kau mampu shalat. Jadi Allah telah memerintahkanmu melakukannya, maka kau bisa melakukannya. Yakinlah bahwa kau bisa, dan berdoalah pada Allah agar Dia memudahkannya.

Pertanyaan kedua adalah: “Apakah Dia benar-benar peduli kalau aku shalat atau tidak?” Dan pertanyaan ini sebenarnya lebih tentang, ‘Apakah Dia butuh shalatku atau tidak?” Kau lupa bahwa shalat bukanlah untuk Allah. Ini untukmu. Ini bukan untuk Allah. Jika semua orang di seluruh dunia, jika di sepanjang hidup mereka digunakan untuk shalat, hal itu takkan membuat Allah lebih kaya. Hal itu tidak akan menambah kebesaran-Nya, karena Dia sudah Maha Besar. Dan jika tak seorang pun berzikir kepada Allah lagi, hal itu tidak akan mengurangi kebesaran-Nya, kemuliaan-Nya, kerajaan-Nya, dalam cara apapun. Dia tidak butuh kita, kita yang butuh Dia. Kita butuh Dia.



shalat-13Jadi pertanyaannya adalah, “Apakah kau merasa bahwa shalat adalah kebutuhanmu?” Dan jika tidak, jika kau merasa tidak perlu meminta bantuan pada Allah, tidak perlu mendekat kepada Allah dan tunduk pada perintah-Nya, maka ada masalah serius dalam keimananmu. Keimananmu jadi lemah dan pertanyaan ini hanya muncul karena kau telah menjauh dari Allah untuk waktu yang sangat lama, sehingga setan datang kepadamu dan berkata, “Ya, aku tahu dulu kau merasa menyesal karena tak beribadah, mari kita buang rasa penyesalan itu dan ganti dengan perasaan, ‘Lagipula aku tak butuh shalat.’”. Itulah fase selanjutnya dari penyakit tersebut… Pada awalnya kau masih merasa menyesal, masih merasa berdosa. Itu adalah karunia dari Allah. Ketika rasa bersalah itu telah pergi, kau berkata, “Allah… lagipula aku tidak butuh shalatku. Jadi aku tidak perlu melakukannya, selama aku berbuat baik. Dan itulah bagian terakhir yang ingin kubicarakan. Bagian, “Selama aku berbuat baik.” Siapa yang menentukan apa saja yang baik?

Ada dua jenis kebaikan di dunia ini, tolong ingat ini. Ada dua jenis kebaikan. Ada kebaikan etika: “Aku baik kepada tetanggaku, aku jujur di tempat kerja, aku baik pada orang, aku tidak mencuri, aku tidak curang.” Ini semua etika dasar. “Aku jujur, aku bayar pajak, aku jujur dalam berdagang…” Semua ini adalah etika. Dan juga ada kebaikan religius: “Aku berhaji, aku berzakat, aku shalat 5 waktu, aku puasa saat Ramadhan”, semua ini bukanlah kebaikan etika, ini adalah kebaikan religius. Ada 2: kebaikan yang sifatnya religius dan kebaikan yang sifatnya etika/moral.

Ilustrasi. (Foto : 02varvara.wordpress.com)

Ilustrasi. (Foto : 02varvara.wordpress.com)

Apa yang seringkali terjadi pada Muslim dan non-Muslim, terutama lagi dengan yang Muslim, adalah kita seringkali membedakan keduanya. Jadi pada umat Muslim, kau akan melihat orang-orang yang baik secara moral seperti mereka baik pada keluarga, mengurus anak-anak, mengurus rumah, baik pada tetangga, jujur di tempat kerja. Orang yang baik. Tapi coba tebak? Tidak beragama. “Aku tidak butuh agama untuk menjadi orang baik”, itulah kata mereka. Dan di sisi lain, kau melihat orang-orang yang shalat, berhaji, berzakat, punya jenggot panjang, berpakaian  sangat agamis, namun mereka jahat kepada keluarga, berbuat curang dalam berdagang, sangat tidak bermoral dan beretika.

Jadi yang terjadi adalah kita memisahkan dua dimensi kebaikan: Kebaikan etika/moral dan kebaikan religius. Sedangkan yang Allah lakukan dalam Quran adalah menyatukan keduanya. Dalam sebuah ayat yang bernama Ayatul Birr (ayat kebaikan), dijelaskan apa makna kebaikan. Jika kau mempelajari ayat itu, kebaikan adalah kombinasi dari dua hal. Dia adalah kombinasi dari prinsip-prinsip etika seperti menepati janji, bersabar, tetap teguh, dan juga kebaikan religius seperti menjaga shalat, berzakat. Jadi ini adalah kombinasi dari dua hal tersebut.

Jadi jika kau berpikir bahwa yang kau yang berhak menentukan definisi kebaikan, kau akan cenderung hanya pada kebaikan moral, dan kau akan mengesampingkan kebaikan religius, seperti ibadah-ibadah yang Allah ajarkan pada kita. Tapi yang Allah inginkan adalah agar kita memiliki keduanya dalam waktu bersamaan. Inilah ketika seseorang benar-benar baik. Kalau tidak, maka kau tidak benar-benar baik. Kau hanya mendefinisikan kebaikan bagi diri sendiri dan kau menolak definisi Allah tentang kebaikan. Tapi kita meminta petunjuk pada Allah karena kita tidak bisa mendefinisikan banyak hal sendiri, sehingga kita ingin Dia yang mendefinisikannya untuk kita, Insya Allah. [ANW/Syahida.com]

Oleh : Nouman Ali Khan

Share this post

PinIt
scroll to top