Sombong Dalam Beragama (Bag-1): Ingin Menunjukkan Kekuasaan dan Lebih Unggul Dari Orang Lain

Ilustrasi.

Ilustrasi.

Syahida.com – Hal ini jarang dibahas, padahal sangat penting dan membutuhkan perhatian dari kita semua. Kita akan membahas salah satu fenomena dalam kehidupan kaum muslimin yang biasanya disebut, mereka telah ‘hijrah’.

Mereka yang biasanya fokus pada dunia, bersenang-senang, tetapi lalu mendapatkan hidayah untuk kembali kepada agamanya. Hatinya berubah, dan mereka ingin kembali pada agama, dan menjalaninya dengan sangat serius, bahkan sangat ‘serius’. Mereka juga sangat bersemangat dalam beragama.

Ilmu mereka didapatkan dari guru. Guru itu bisa saja adalah seseorang, atau sebuah website, radio, majalah, buku-buku Islam, blog di internet, atau apapun itu yang menurut mereka bisa dijadikan sumber mereka dalam mencari ilmu agama.

Saat mereka belajar agama, mereka sangat bersemangat, tetapi sikap mereka sangat kaku, ‘keras’ . Keluarga, teman-teman, atau orang-orang di sekitarnya, mungkin tidak menyadari perubahan dari diri mereka. Semua muslim mungkin belajar agama, tapi dengan guru yang berbeda-beda, sehingga tidak memahami agama sebagaimana yang mereka pahami.

Ketika mereka ‘hijrah’, yang terjadi pertama kali adalah, mereka tertekan oleh muslim di sekitar mereka, terutama oleh keluarga. Saat mereka belajar agama dengan pemahaman mereka, mereka mulai berpikir, kenapa keluarganya tidak dapat memahami padahal beginilah cara yang benar dalam beragama. Perbedaan pemahaman itu bisa menjadi konflik. Hal seperti ini benar-benar terjadi dalam keluarga muslim, terlebih lagi apabila keluarganya adalah non muslim. Keluarga mereka juga muslim, tetapi memiliki pemahaman yang berbeda dengan mereka. Hal seperti ini bisa menyebabkan konflik.

Konflik ini tidak hanya terjadi dalam keluarga, tetapi juga dalam lingkungan teman-teman yang sudah lama mengenalmu. Tapi teman-temanmu, masih dalam keadaan seperti kamu dulu, saat kamu belum ‘hijrah’. Ataupun bila teman-temanmu sudah ‘hijrah’, mereka hijrah dengan cara yang berbeda dengan dirimu, atau mungkin memiliki pemahaman yang tidak sama persis denganmu. Bila kamu keras dalam beragama, sedangkan teman-temanmu tidak sekeras dirimu, dan kamu tidak bisa mentolerirnya, maka kamu menjadi lebih sering menegur mereka. Kamu membuat pernyataan bahwa kamu benar, mereka salah. Dalam pikiran mereka, mereka sedang melakukan kebaikan untuk mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka juga akan mengingatkan saudara semuslimnya tentang hadits, qur’an.  Tapi disamping itu, ada hal lain yang sedang terjadi pada diri mereka, yang tidak mereka sadari.

Saat kamu belum ‘hijrah’, mungkin kamu adalah orang yang sangat dikenal di kalangan banyak orang, terutama teman-temanmu. Kamu bisa jadi seorang pemimpin grup band, preman, atau apapun itu, di mana kamulah yang terdepan. Saat kamu memutuskan untuk kembali pada agama, kamu kehilangan status tersebut. Tetapi masih ada keinginan dalam dirimu, bahwa kamu ingin menunjukkan kekuasaan atas orang lain, bahwa kamu masih berkuasa dalam hal lainnya. Keinginan seperti ini, seringkali tidak disadari oleh orang itu sendiri, bahkan mereka sering memberitahu orang lain tentang ilmu agama mereka, tetapi sebenarnya hanya untuk menunjukkan kekuasaan dari dirinya. Mereka ingin membuat orang-orang seperti tidak tahu apapun tentang agama, bahwa hanya dirinya lah yang tahu apa yang benar. Mereka suka untuk memberi tahu, ini ayat qur’annya, ini haditsnya, bahwa dirinya selalu benar. Sehingga agama hanyalah sarana untuk menunjukkan kekuasaanmu, ego dari dirimu.

Sebenarnya hal ini sangat ironis, karena agama ini diturunkan justru supaya kita rendah hati. Tetapi kita malah menggunakan agama, hanya untuk menunjukkan kesombongan kita.



Kita lihat kisah iblis saat menolak bersujud kepada Nabi Adam Alaihis salaam. Padahal Allah SWT menugaskan Nabi Adam Alaihis salaam untuk menyembah-Nya, untuk beribadah kepada-Nya. Ketika Allah SWT memberikan tugas itu kepada Adam sebagai khalifah di bumi, Nabi Adam Alaihis salaam tidak lah ditawari promosi, gaji tinggi, rumah yang besar, atau harta benda dunia. Tetapi Iblis justru merasa dirinyalah yang lebih pantas menerima tugas itu. Jadi jika kita pikirkan, agaknya aneh bahwa iblis memiliki rasa dengki kepada Adam dikarenakan kesempatan Adam Alaihis salaam untuk beribadah.

Bukti ego dari iblis ini adalah ketika ia menyangka bahwa ia lebih pantas untuk beribadah dalam agama ini, dibandingkan Adam Alaihis salaam. Hal ini sama halnya dengan ego ketika ada pemilihan ketua masjid atau ketua rohis, bahwa seseorang merasa dirinya lebih pantas dipilih daripada yang lain. Padahal ini adalah tugas keagamaan, dan bukankah kamu juga tidak mendapat gaji atau mobil baru ketika menjadi ketua rohani Islam. Tapi inilah yang terjadi, sesama muslim berkelahi dalam gelar keagamaan. Tentang siapa yang harus memimpin masjid, dan pendapat siapa yang harus diterapkan. Ini adalah penyakit yang sudah lama usianya dan dimulai oleh iblis. Iblis berkelahi dalam hal menjalankan kewajiban beragama. Ini jelas sekali adalah penyakit hati. Dan kita semua harus menyadari penyakit ini, bila ada dalam diri kita. Ketika penyakit ini datang, kamu mungkin akan merasa paling berjasa karena telah menunjukkan orang lain pada agama. Seakan-akan semua berjalan lancar berkat dirimu. Kamu memiliki penyakit yang menganggap agama ini bergantung pada dirimu. Padahal sebenarnya kitalah yang membutuhkan agama Allah. Agama tidak membutuhkan kita. Wallahi ghoniyyun hamid, Allah tidak pernah membutuhkan apapun. Allah SWT tidak membutuhkan diri kita. Jadi kita harus merendah-hatikan diri kita.

Tentang ego ini, juga terjadi dalam konteks keluarga, seperti saat kita mengkhawatirkan keluarga kita bila kita mati, maka siapa yang akan menjaga mereka, siapa yang akan memberi mereka makan. Padahal waktu kematian kita sudah ditentukan Allah SWT. Meskipun kita menabung dalam jumlah banyak, tapi kalau Allah SWT menghendaki kita mati esok harinya, apa yang akan kita lakukan? Ini adalah takdir. Saat kita mati, Allah SWT yang akan menjaga istri/suami/anak kita, atau siapapun itu. Bukan kita yang menjaga keluarga kita, tapi Allah SWT.

Dari mana sebenarnya ego ini datang? Ego ini datang saat kita tidak menghargai tentang Allah SWT. Ketika kamu tidak menghargai Allah SWT, maka kamu akan menggantinya dengan penghargaan kepada diri kamu sendiri. Itulah di mana semuanya bermula. Itulah akar masalah sebenarnya.

Jadi, inilah yang ingin ditekankan, bahwa ada orang-orang yang memakai topeng dalam beragama. Dari luar mereka terlihat sholeh, beragama, karena mereka berbicara hal agama, dan juga ilmu agama. Semoga Allah SWT melindungi kita semua dari hal ini. Karena ini hal yang sangat serius. Mungkin mereka terlihat sholeh dibanding pria yang tidak memiliki jenggot, atau terlihat lebih sholehah ketimbang perempuan yang tidak memakai jilbab itu. Di luarnya mereka terlihat sangat baik, tapi sayangnya di dalam diri mereka, ada sebuah ego. Ego apakah itu? Yaitu ego untuk memperlihatkan keunggulan dari diri, bahwa kamu lebih sholeh, lebih pantas untuk suatu jabatan, dibanding orang lain. Jika dalam hatimu kamu merendahkan muslim lain, dengan apapun keadaan mereka, maka hati-hati, kamu memiliki penyakit “Kibr”. Kibr adalah kesombongan. Dan kita tahu dari hadits Rasulullah SAW, bahwa bila seseorang memiliki sombong seberat dzarrah, atom, molekul terkecil itu, maka pintu surga tak akan pernah terbuka.

Bila ada muslim yang bermaksiat seperti minum bir, atau apapun itu, itu jelas terlihat adalah perbuatan dosa. Perbuatan dosa mereka, bisa terlihat dari luar. Tapi dosa yang kamu lakukan, sudah masuk ke dalam hati. Dari luar kamu terlihat baik-baik saja. Perilaku peminum minuman keras, sudah pasti harus dihukum dan akan dimintai pertanggung jawaban di hari akhir. Tetapi apakah dosa dalam hatimu tidak akan dimintai pertanggung jawaban. Jika kita membandingkannya, walaupun meminum minuman keras tak bisa dimaafkan, tapi coba kita bandingkan, dan ternyata rasa sombong dalam hati lebih sulit diperbaiki, karena kita tidak bisa melihatnya. Setidaknya perilaku meminum minuman keras, dapat dilihat, dan dapat diperbaiki. Tapi kalau sombong, satu-satunya manusia yang bisa mengetahui dan memperbaikinya adalah dirimu sendiri. Jadi kita tidak dapat menghakimi satu sama lain. Jangan sampai setelah mengetahui hal ini, lalu kamu segera berpikir, “Saya tahu orang yang sombong itu si fulan dan dia seharusnya membaca tulisan ini.” Jangan, jangan memikirkan orang lain, karena itu dengan sendirinya menunjukkan sifat sombongmu. Yang seharusnya dipikirkan adalah dirimu sendiri. Tujuan awal dari adanya agama, bukanlah untuk orang lain. Tapi untuk dirimu sendiri dulu.

Sangat sayang kalau kita mengira bahwa tujuan dari diturunkannya Al Qur’an adalah untuk seluruh orang lain. Seakan-akan ayat-ayat-Nya adalah ditujukan untuk orang lain. Bukan begitu. Yang benar adalah, sebenarnya diri kita sendirilah yang seharusnya mendengarkan dan mempelajari Al Qur’an. Kita akan menjadi sangat egois dan mementingkan diri kita sendiri ketika sampai pada masalah agama Allah ini. Contohnya ketika seorang suami mendengar hadits tentang hak-hak seorang suami, maka hal yang pertama dilakukan kepada istrinya, “Hey, tahukah kamu apa yang aku dengar barusan, biar saya beritahu kamu.”  Contoh lainnya, para orangtua, apa ayat pertama yang mereka beritahu kepada anaknya? “Hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” Bukankah itu berarti mementingkan diri sendiri? Apakah kita beragama untuk melayani diri kita? Apakah agama ada untuk memenuhi kebutuhan ego kita? Atau apakah kita ada di sini untuk mengabdi kepada Agama Allah? Inilah perubahan yang sangat berbeda. [ANW/Syahida.com]

Bersambung….

Share this post

PinIt
scroll to top