23 Penyebab Meninggalkan Perintah Allah Lebih Berat Dosanya daripada Mengerjakan Larangan Allah (Bagian 2)

Syahida.com – Pada pembahasan sebelumnya telah disampaikan, Sahl bin Abdullah berkata, “Meninggalkan perintah lebih berat di sisi Allah daripada mengerjakan larangan. Sebab Adam dilarang memakan buah pohon, namun beliau tetap memakannya, lalu bertaubat. Sementara Iblis diperintah untuk bersujud kepada Adam, kaligrafi-11namun dia menolak dan tidak mau bertaubat.”  Dosa mengerjakan larangan biasanya bersumber dari nafsu dan kebutuhan. Sementara dosa meninggalkan perintah biasanya bersumber dari kesombongan dan kecongkakan. Padahal tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan meskipun hanya seberat dzarrah. Sementara orang yang meninggal dalam keadaan tauhid akan masuk surga meskipun dia pernah berzina dan mencuri.

Kita lanjutkan pembahasan meninggalkan perintah lebih berat di sisi Allah daripada mengerjakan larangan, yang bisa dilihat dari beberapa sisi:

12. Manusia berbeda pendapat tentang apa yang dituntut dari larangan.

Golongan pertama berpendapat, bahwa yang dituntut dari larangan adalah menahan diri untuk tidak mengerjakan. Ini merupakan masalah yang bersifat pengadaan. Menurut mereka, karena pembebanan kewajiban itu hanya berkait dengan sesuatu yang ditetapkan. Sementara peniadaan merupakan kebalikannya. Ini adalah pendapat jumhur.

Menurut Abu Hasyim dan lain-lainnya, yang dituntut dari larangan adalah meniadakan perbuatan. Dengan cara inilah ada pencapaian tujuan dari ketetapan peniadaan, selagi di dalam hati tidak terlintas pikiran untuk mengerjakannya. Andaikata yang dituntut adalah menahan diri, maka dia sudah bisa disebut orang durhaka sekalipun belum mengerjakannya. Karena manusia dipuji selagi tidak mengerjakan yang buruk, yaitu selagi di dalam hatinya tidak terlintas pikiran untuk mengerjakannya dan menahan diri. Ini juga merupakan pendapat Al-Qadhy Abu Bakar Al-Baqilany. Karena itu dia berpendapat bahwa peniadaan perbuatan tersebut dalam usaha.

Golongan kedua berpendapat, bahwa yang dituntut dari larangan adalah mengerjakan kebalikannya. Inilah yang ditetapkan dan merupakan tujuan pembuat larangan. Allah melarang kekejian karena menuntut kehormatan diri dan inilah yang diperintahkan. Allah melarang dusta karena menuntut kejujuran dan kejujuran inilah yang diperintahkan. Begitulah yang berlaku untuk semua larangan.

Menurut pendapat mereka, hakikat larangan adalah menuntut kebalikan dari apa yang dilarang. Berarti perintah kembali kepada tuntutan yang hanya berkaitan dengan mengerjakan apa yang diperintahkan.

Yang pasti, yang dituntut di sini ada dua macam: Sesuatu yang memang dituntut untuk dirinya, yaitu apa yang diperintahkan, dan sesuatu yang dituntut untuk ditiadakan, karena bertentangan dengan apa yang diperintahkan, yaitu apa yang dilarang, karena di dalamnya ada kerusakan yang bertentangan dengan apa yang diperintahkan. Jika di dalam hati seseorang tidak ada kehendak untuk mengerjakan yang dilarang dan tidak ada dorongan serta senantiasa menjaga peniadaan ini ala kadarnya, maka tidak ada pahala yang diperolehnya karena meninggalkannya. Jika di dalam hatinya tidak ada kehendak untuk mengerjakannya dan menahan diri darinya karena Allah dan meninggalkannya karena memang itu merupakan pilihannya, maka dia mendapat pahala. Karena yang demikian ini merupakan perbuatan yang sifatnya ada. Pahala diberikan karena perintah yang sifatnya ada, dan tidak berlaku untuk peniadaan yang bersifat ala kadarnya. Jika dia meninggalkan yang dilarang, sementara ada kehendak untuk mengerjakannya, maka andaikan dia tidak disiksa sebagaimana siksaan yang dijatuhkan kepada pelakunya, maka dia disiksa karena kehendaknya itu. Yang demikian ini telah ditunjukkan beberapa nash, yang tidak bisa diabaikan orang yang menentangnya, seperti firman-Nya,



“Dan, jika kalian melahirkan apa yang ada di dalam hati kalian atau kalian menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kalian tentang perbuatan kalian itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikendaki-Nya.” (Al Baqarah: 284)

Tetapi Allah menghukum kalian disebabkan (sumpah kalian) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hati kalian.” (Al Baqarah: 225).

Nabi SAW pernah bersabda, “Jika ada dua orang Muslim yang saling berhadap-hadapan dengan pedang masing-masing, maka yang membunuh dan yang dibunuh di dalam neraka.”
Mereka bertanya, “Itu berlaku bagi orang yang membunuh. Lalu bagaimana dengan orang yang dibunuh?” Beliau menjawab, “Karena dia juga berkeinginan membunuh lawannya.” (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).

Dalam sabda beliau yang lain dijelaskan bahwa jika ada seseorang berkata, “Andaikata aku mempunyai harta, tentu aku akan mengerjakan (keburukan) seperti yang dikerjakan Fulan”, maka dengan niatnya itu keduanya sama-sama di neraka. (Diriwayatkan Ahmad, Ibnu Majah dan At-Tirmidzy).

Adapun tentang pendapat orang yang mengatakan, “Yang dituntut dari larangan adalah mengerjakan kebalikannya”, tidak bisa dibenarkan. Karena yang dimaksudkan dari larangan adalah peniadaan perbuatan dan kesamar-samaran antara dua hal yang bertentangan. Jika yang wajib tidak bisa menjadi sempurna kecuali karena sesuatu, maka sesuatu itu bukan merupakan tujuan yang pertama, sekalipun dimaksud dengan tujuan pertama itu adalah larangan dari hal-hal yang melemahkan.

Adapun tentang perkataan Abu Hasyim, “Orang yang meninggalkan keburukan dipuji, sekalipun di dalam hati tidak terlintas kehendak untuk menahan diri”, jika yang dimaksud dengan pujian ini adalah tidak dicela, maka itu benar. Tapi jika yang dimaksudkan adalah memperoleh pahala, maka itu tidak benar. Manusia tidak akan memuji seseorang yang memotong kemaluannya agar dia tidak berzina, tidak memuji orang yang memotong lidahnya agar dia tidak menggunjing dan mencaci maki. Mereka memuji orang yang mampu menahan diri walaupun sebenarnya mampu mengerjakannya.

13. Perintah kepada sesuatu merupakan larangan dari kebalikannya dilihat dari sisi kelaziman akal, bukan dilihat dari sisi tujuan pencarian. Tujuan dari perintah adalah mengerjakan apa yang diperintahkan. Jika di antara konsekuensinya adalah meninggalkan kebalikannya, maka hal itu merupakan tujuan sampingan.

Inilah yang benar dan kaitannya dengan kaidah: Apakah perintah terhadap sesuatu merupakan larangan dari kebalikannya ataukah tidak?

Itu merupakan larangan selagi dilihat dari keharusannya, dan bukan dari sisi tujuan dan tuntutannya. Begitu pula larangan dari sesuatu. Maksud pertama dari yang melarang adalah menjauhi apa yang dilarang. Kalau pun seseorang mengerjakan kebalikannya, maka itu merupakan kelaziman dari sisi penalaran. Tetapi yang dilarang tetap kebalikan dari apa yang diperintahkan seperti yang sudah dijelaskan di atas. Jadi, seakan-akan apa yang diperintahkan merupakan tujuan yang pertama dari dua masalah ini.

kaligrafi-12

14. Perintah dan larangan dalam masalah tuntutan, serupa dengan penafian dan penetapan dalam masalah pengabaran. Pujian dan sanjungan tidak akan terjadi hanya dengan penafian semata, selagi tidak mengandung penetapan. Penafian merupakan peniadaan, yang di dalamnya tidak ada kesempurnaan dan pujian. Jika mengandung penetapan, maka bolehlah ada pujian, seperti penafian lupa karena ada kesempurnaan ilmu, penafian kepayahan dan kelemahan karena ada kesempurnaan kekuatan dan kemampuan, penafian mengantuk karena ada kesempurnaan hidup, penafian anak dan pendamping karena ada kesempurnaan kemandirian dan rububiyah, penafian kezhaliman karena ada kesempurnaan keadilan. Jika tidak, maka dalam keberadaannya tidak ada yang dipuji. Begitu pula yang terjadi dalam peniadaan semata.

Jika hal ini sudah diketahui, lalu jika di dalam hal yang dilarang tidak terkandung masalah yang ada dan tetap, maka meninggalkan apa yang dilarang itu tidak ada pujian dan pahala hanya karena meninggalkannya semata, sebagaimana pujian tidak layak diberikan hanya karena sifat yang tidak ada.

15. Allah menjadikan pahala dari apa yang diperintahkan-Nya sepuluh kali lipat dan membalas larangan dengan satu kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa mengerjakan apa yang diperintahkan, lebih Dia sukai daripada meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Andaikata dibalik, maka keburukan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat dan kebaikan dibalas dengan satu kali lipat atau serupa.

16. Maksud dari hal yang diarang adalah peniadaannya dan sama sekali tidak masuk dalam pengadaannya, baik meniatkannya atau tidak meniatkannya, baik terlintas di dalam hati atau pun tidak. Maksud dari larangan adalah agar apa yang dilarang itu tidak terjadi. Sedangkan maksud dari apa yang diperintahkan ialah pengadaannya, niat dan pelaksanaannya.

Rahasia dari masalah ini, bahwa keberadaan apa yang dituntut pengadaannya, lebih disukai Allah daripada ketiadaan apa yang dituntut untuk ditiadakan. Ketiadaan apa yang lebih disukai-Nya, lebih Dia benci daripada keberadaan apa yang dibenci-Nya. Kesukaan-Nya terhadap pelaksanaan apa yang diperintahkan-Nya, lebih besar daripada kebencian-Nya terhadap pelaksanaan apa yang dilarang-Nya.

17. Mengerjakan apa yang disukai Allah, menolongnya, balasan yang diperoleh dan pujian yang menyertainya, berasal dari rahmat Allah. Mengerjakan apa yang tidak disukai-Nya, pembalasan yang diterima, celaan, siksa dan hukuman yang menyertainya, berasal dari kemurkaan-Nya. Namun rahmat-Nya mendahului dan mengalahkan kemurkaan-Nya (Seperti yang disebutkan di dalam riwayat Al-Bukhary dan Muslim dari Abu Hurairah). Segala hal yang berasal dari sifat rahmat akan mengalahkan segala hal yang berasal dari sifat murka. Allah adalah Maha Pengasih, Rahmat-Nya merupakan keharusan Dzat-Nya, seperti sifat ilmu, kekuasaan, hidup, pendengaran, penglihatan dan ihsan-Nya. Mustahil jika keadaan Allah kebalikan dari hal ini. Berbeda dengan kemurkaan-Nya, yang bukan temasuk keharusan Dzat-Nya. Allah tidak terus menerus dalam keadaan murka dan tidak bisa digambarkan bahwa Dia tidak pernah lepas dari kemurkaan. Rasulullah SAW yang paling tahu tentang Allah berada.

“Sesungguhnya Rabbku murka pada hari ini dengan suatu kemurkaan, yang Dia tidak pernah murka seperti itu sebelumnya dan sekali-kali tidak akan murka yang seperti itu pula setelah itu.” (Diriwayatkkan Al Bukhary dan Muslim).

Rahmat Allah meliputi segala sesuatu dan murka-Nya tidak meliputi segala sesuatu. Dia telah menetapkan rahmat bagi Diri-Nya dan tidak menetapkan kemurkaan pada Diri-Nya. Dia meliputi segala sesuatu dengan rahmat dan ilmu, tidak meliputi segala sesuatu dengan kemurkaan dan dendam.

Rahmat dengan segala keharusan dan pengaruhnya mengalahkan kemurkaan dan segala pengaruhnya. Keberadaan sesuatu yang disertai rahmat lebih Dia sukai daripada keberadaan sesuatu yang disertai kemurkaan. Karena itu rahmat lebih Dia sukai daripada siksa, ampunan lebih Dia sukai daripada dendam. Keberadaan sesuatu yang dicintai-Nya lebih Dia sukai daripada tidak adanya sesuatu yang Dia benci. Allah tidak menyukai hilangnya keharusan apa yang dicintai-Nya, sebagaimana Dia tidak menyukai keberadaan keharusan apa yang dibenci-Nya.

18. Pengaruh dari apa yang tidak disukai Allah, yaitu hal-hal yang dilarang, lebih cepat hilang karena apa yang disukai-Nya daripada hilangnya pengaruh apa yang dicintai-Nya karena apa yang tidak disukai-Nya. Pengaruh kebencian Allah cepat hilangnya. Allah menghilangkannya dengan ampunan dan maaf. Kebencian itu hilang karena taubat, istighfar, amal-amal shalih, musibah yang menghapuskan kesalahan dan syafaat. Kebaikan itu menghilangkan keburukan. Andaikan dosa-dosa hamba itu mencapai langit kemudian dia memohon ampunan, niscaya Allah akan mengampuninya. Andaikata Allah menemui hamba dengan sekeranjang kesalahan, kemudian hamba itu menemui Allah tanpa menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, maka dia akan menerimanya dengan sekeranjang ampunan. Allah mengampuni dosa, seberapapun besarnya dosa itu, dan Allah tidak peduli. Dia akan menghapusnya dan menghapus pengaruh dosa itu, asalkan hamba bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat dan meyesali perbuatannya. Hal ini terjadi karena adanya sesuatu yang dicintai-Nya, berupa taubat hamba, ketaatan dan tauhidnya. Ini menunjukkan bahwa keberadaan hal itu lebih disukai dan diridhai Allah. [Syahida.com/ANW]

Bersambung….

===

Sumber: Kitab Mendulang Faidah dari Lautan Ilmu, Karya; Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah: Kathur Suhardi, Penerbit: Pustaka Al-Kautsar

Share this post

PinIt
scroll to top