Al-Quran

Apakah Sebaiknya Saya Fokus pada Hafalan atau Pemahaman?

Advertisement

Ilustrasi. (Foto: therightfulrecital.com)

Syahida.com – Pertanyaan: Saya membaca Al Qur’an, tapi tak paham Bahasa Arab, jadi saya tak memahami isi Al Qur’an. Bukankah sebaiknya saya membaca terjemahannya saja? Banyak orang berkata, “Anda harus hafalkan Qur’an karena berpahala banyak.” Tapi banyak huffadz yang sudah hafal Al Qur’an tapi tak memahami artinya. Bukankah sebaiknya kita anjurkan membaca Al Qur’an saja, daripada hafalkan Al Qur’an?

Jawaban Ust. Nouman Ali Khan :

Saat mendengar pertanyaan ini, saya menyadari bahwa setiap aksi akan munculkan reaksi setara yang bertentangan. Ada pendapat ekstrim tentang ini. Di satu sisi, ada grup yang menekankan hafalan Al Qur’an tanpa adanya pemahaman sama sekali. Anda dianggap sebagai “piala” setelah Anda hafal. Lalu Anda akan memimpin shalat tarawih, melagukan Al Qur’an dengan indahnya dan semua orang memuji tajwid dan bacaan Anda. Tapi, Anda tak paham arti bacaan itu. Ini satu pendapat ekstrim yang lahirkan pendapat ekstrim lain yang berkata, “Orang-orang ini hanya membaca tanpa tujuan. Mereka melagukannya dengan indah, tapi apa isi pesan sebenarnya (mereka tidak tahu). Lupakan hafalan, kita harus fokus pada membaca dan pemahaman.” Keduanya ini adalah pendapat ekstrim.

Untuk hal seperti ini, biasanya kebenaran ada di tengah-tengahnya. Dari berbagai pertanyaan yang diajukan, saya semakin menyadari bahwa reaksi muncul dari satu pendapat ekstrem sebagai pembenaran terhadap pendapat ekstrem yang berseberangan, tanpa menyadari bahwa jawabannya ada di pertengahannya.

Jawabannya adalah, pada akhirnya, menghafal Al Qur’an adalah amal yang sangat memperkaya dan memperkuat spiritual kita. Menghafal Al Qur’an adalah pengamalan warisan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ  “Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.” (QS. Al Ankaabut ayat 49).

Salah satu ayat terindah dalam Surat Al Ankaabut menggambarkan ayat-ayat Al Qur’an hidup di dalam dada orang yang beriman. Ayat tak hidup di secarik kertas. Ayat tak hidup dalam sebuah mushaf. Tempat ayat yang disimpan di dunia ini ada di dalam dada orang beriman. Sesuatu yang sangat hebat. “Saya ingin menyimpan banyak ayat di dada. Saya ingin hafalkan Al Qur’an sebanyak mungkin yang saya bisa.” Itu adalah sesuatu yang harus Anda perjuangkan dan inginkan untuk diri Anda.

Mengapa Anda tak hafalkan Al Qur’an jika itu bisa meninggikan orangtua Anda dengan mahkota di kepala mereka pada hari akhir? Di satu sisi, kita harus hafalkan Al Qur’an, tapi di sisi lain, Al Qur’an sendiri mengeluh, أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? “ (QS. Muhammad ayat: 24).

Jadi, merefleksikan dan menghafalkan Al Qur’an, sebenarnya saling berkaitan. Saya tambahkan satu lagi. Ini keseimbangan dalam agama kita, ini sangat menakjubkan. Kedua ini tak terpisahkan satu sama lain. Saat saya hafalkan Al Qur’an, saya mengulang ayat yang sama, berulang kali. Semakin saya mengulangnya, semakin saya memikirkannya. Semakin memikirkannya, semakin tersadarkan diri saya.  Sebenarnya, refleksi diri, difasilitasi saat kita menghafalkan Al Qur’an. Begitulah caranya. Lalu, Anda membaca Al Qur’an dengan tajwid, dan dengan tajwid, Anda membaca setiap huruf sesuai aturannya, dimana Anda berhenti dan membaca dengan seksama setiap hurufnya. Bukankah hal seperti itu memperlambat Anda? Tajwid memperlambat Anda. Saat tajwid memperlambat Anda, pikiran Anda tak hanya melafalkan setiap huruf sebagaimana mestinya, tapi juga memberikan pikiran Anda kesempatan untuk memikirkan setiap kata, daripada membaca semuanya sepintas lalu membiarkan tanpa ada sebuah kata yang meresap ke dalam diri Anda. Bahkan ilmu tajwid juga bertujuan untuk memikirkan dan merefleksikan Al Qur’an.



Itulah tujuannya. Semua ini saling berkaitan. Tapi yang justru kita lakukan adalah merobeknya menjadi bagian-bagian; “Saya hanya mau membaca terjemahannya atau pelajari ilmu tajwid saja tanpa refleksi diri.” Subhanallah…  Ini adalah sesuatu yang Allah perintahkan menjadi satu kesatuan, tapi kita selalu berusaha memisahkannya.

Pada akhirnya, jawabannya ada pada keseimbangan. Satu pendapat ekstrem, pasti akan memunculkan pendapat ekstrem lainnya.

Semoga Allah Azza wa Jalla melindungi kita dari pendapat ekstrem dan jadikan kita umat pertengahan, “Ummatan wasathan.” (QS. Al Baqarah: 146). [Syahida.com/ANW]

====

Sumber: Nouman Ali Khan

Penerjemah: NAK Indonesia

Advertisement
Admin Syahida

Disqus Comments Loading...
Share
Kontributor:
Admin Syahida
Keyword: Al-Qur'anhafalan

Recent Posts

Perhatian Rasulullah SAW Terhadap Tanda-Tanda Hari Kiamat (Bagian ke-1)

Tanda-tanda hari Kiamat termasuk salah satu topik yang mendapat perhatian besar dari Rasulullah SAW dalam…

4 tahun yang lalu

Perhatian Al-Quran Terhadap Tanda-Tanda Hari Kiamat

Adapun tanda-tanda peristiwa yang membicarakan dekatnya hari Kiamat, maka ayat-ayat tersebut terkesan membicarakan secara sekilas.…

4 tahun yang lalu

Sikap yang Baik dalam Menghadapi Pandemi COVID-19

“Ilusi adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah langkah pertama untuk penyembuhan”.…

4 tahun yang lalu

Pandemik, COVID-19, Babi, dan Akhir Zaman

Mengapa Nabi Isa - sebagai bagian dari umat Nabi Muhammad - malah justru membunuh babi…

4 tahun yang lalu

Antara Samiri dan COVID-19

Sejak mewabahnya COVID-19, kini hampir sebagian besar penduduk bumi dilarang untuk saling bersentuhan, harus menjaga…

4 tahun yang lalu

Antara Doa Nabi Ibrahim AS, Doa Nabi Muhammad SAW, Wabah COVID-19, dan Dajjal

Sejak awal tahun 2020 ini, seluruh dunia dilanda wabah penyakit COVID-19 yang disebabkan virus SARS-CoV-2…

4 tahun yang lalu
Advertisement

This website uses cookies.