Ridha Kepada Takdir Allah

Ilustrasi. (Foto: embunhati.com)

Syahida.com – Terhadap sesuatu yang tidak dia sukai, seorang hamba memiliki dua derajat: derajat ridha dan derajat sabar. Yang dimaksud ridha adalah sebuah keutamaan yang disunahkan untuk dia kerjakan. Sedangkan sabar merupakan sesuatu yang wajib dikerjakan oleh seorang mukmin.

Orang ridha terkadang memperhatikan bahwa musibah yang diterima seorang hamba mengandung hikmah dari Dzat Yang memberikan musibah dan kebaikan untuk dirinya. Orang yang ridha tidak berburuk sangka terhadap takdir-Nya. Bahkan terkadang dia juga memperhatikan kebesaran, keagungan dan kesempurnaan Dzat Yang memberi musibah tersebut. Dia akan hanyut untuk menyaksikan kebesaran Tuhannya sehingga dia tidak lagi merasakan sakit karena musibah yang sedang dialaminya. Inilah yang dikerjakan oleh orang-orang yang ahli ma’rifat (mengenal Allah) dan mahabbah (cinta kepada Allah). Malah terkadang karena musibah itulah mereka merasa nikmat dengan pengamatan hati mereka terhadap kebesaran kekasih mereka (Allah SWT).

Perbedaan antara ridha dan sabar adalah sebagai berikut. Sesungguhnya sabar itu adalah sebuah upaya untuk menahan jiwa agar jangan sampai tidak rela -sekalipun dia tetap merasakan pedihnya musibah- dan berangan-angan agar musibah itu segera lenyap. Selain itu sabar juga berarti menahan anggota tubuh mengerjakan sesuatu yang didasari rasa mengeluh. Sedangkan ridha adalah lapangnya dada dan keleluasaannya menerima takdir. Dia sama sekali tidak memiliki keinginan agar musibah itu lenyap -sekalipun inderanya memang merasakan kepedihan musibah itu. -Akan tetapi perasaan ridha semakin membantu hatinya untuk bertambah yakin dan semakin mengenal Allah. Namun jika keridhaannya telah kuat, maka rasa sakit akibat musibah yang dideritanya akan hilang tanpa tersisa.

At-Turmudzi telah meriwayatkan dari hadits Anas, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda:

“Sesungguhnya jika Allah mencintai sebuah kaum maka Dia akan menimpakan musibah pada mereka. Barangsiapa yang ridha, maka dia (akan mendapatkan) keridhaan (Allah). Dan barangsiapa tidak ridha maka dia (akan mendapatkan) murka (Allah).”  {Hadits berkualitas hasan dan diriwayatkan oleh At-Turmudzi di dalam pembahasan az-Zuhd (VII/77). Dia berkata: “Hadits ini berkualitas hasan gharib.” Al Suyuthi juga menganggapnya sebagai hadits hasan di dalam kitab al Jaami’ush-Shaghiir (II/459)}.

Ibnu Mas’ud r.a berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala dengan keadilan dan pengetahuan-Nya telah menjadikan kegembiraan dan kebahagiaan di dalam keyakinan dan ridha. Dan Allah telah menjadikan rasa gundah dan sedih berada pada keraguan dan ketidakridhaan.”

‘Alqamah berkomentar tentang firman Allah Ta’ala sebagai berikut: “Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” {QS. At-Taghaabun (64): 11}. Komentarnya terhadap ayat ini adalah: “Ayat tersebut berkaitan dengan musibah yang menimpa seseorang. Dia mengetahui bahwa musibah itu berasal dari Allah. Oleh karena itulah dia menerima dan ridha terhadap musibah itu.”

Abu Mu’awiyah al Aswar telah mengomentari firman Allah Ta’ala: “Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” {QS. An-Nahl (16): 97. Komentarnya adalah sebagai berikut: “(Yang dimaksud dengan ayat itu adalah) ridha dan rasa qana’ah (menerima apa yang ada).”



Ali bin Abi Thalib r.a telah menyaksikan ‘Adi ibn Hatim sedang bersedih hati. Lantas dia berkata: “Mengapa aku melihatmu sedang bersedih dan gundah gulana?” ‘Adi menjawab: “Apa yang bisa mencegahku untuk bersedih. Putra-putraku telah terbunuh, sedangkan kedua mataku telah tercukil.” Ali berkata: “Wahai ‘Adi, barasangsiapa ridha dengan takdir Allah yang menimpanya, maka dia akan mendapatkan pahala. Namun barasangsiapa tidak ridha dengan takdir Allah maka (pahala) amalnya akan dilebur.”

Abud Darda’ r.a mengunjungi seorang lelaki yang telah meninggal dunia dan sebelumnya orang itu telah memuji Allah. Lantas Abud Darda’ berkata: “Kamu telah bersikap benar. Sesungguhnya apabila Allah ‘Azza wa Jalla telah memutuskan sebuah takdir, maka Dia senang jika disambut dengan ridha.”

Al Hasan berkata: “Barangsiapa ridha terhadap apa yang dibagikan kepadanya, maka Allah akan melapangkan dan memberikan berkah kepadanya pada apa yang dia terima. Dan barangsiapa tidak ridha, maka Allah tidak akan melapangkan dan tidak memberikan berkah kepadanya untuk apa yang dia terima.”

Umar bin Abdul Aziz berkata: “Tidak ada rasa gembira kecuali setelah marasakan takdir Allah (musibah).” Dia ditanya: “Apa yang menurutmu nyaman?” Umar menjawab: “Apa yang ditakdirkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.”

Abdul Wahid ibn Zaid berkata: “Ridha itu merupakan pintu Allah Yang paling agung, surga dunia dan waktu istirahat untuk orang-orang yang ahli beribadah.”

Sebagian ulama berkata: “Di akhirat Allah Ta’ala tidak akan melihat derajat yang lebih tinggi dari pada derajat yang dimiliki orang-orang yang ridha. Barangsiapa yang telah diberikan sifat ridha, maka sesungguhnya dia telah mencapai derajat yang paling utama.”

Ada seorang Badui yang meninggal dunia di pagi hari. Orang itu memliliki unta dan kuda yang cukup banyak. Lantas dia berkata: “Demi Allah, aku adalah seorang hamba yang beribadah dan menyembah Allah. Kalau bukan karena celaan para musuh yang memiliki rasa dengki, pasti musibah yang menimpaku tidak akan membuatku senang. Dan sesungguhnya sesuatu yang telah ditakdirkan Allah tidak terjadi.”  {Syahida.com – ANW}

===

Sumber: Kitab Kiat Menjadi Hamba Pilihan, Karya: Ibnu Qayyim, Penerjemah: Wawan Djunaedi Soffandi, Majid ibn Abul Lail, Penerbit: Pustaka Azzam.

Share this post

PinIt
scroll to top