Inilah 5 Batasan Agama dalam Humor dan Tertawa yang Harus Dijaga

Ilustrasi. (Foto: brakpanherald.co.za)

Syahida.com – Tertawa, senda gurau dan humor merupakan sesuatu yang diperbolehkan dalam agama, sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash qauly dan juga sikap-sikap yang diambil oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Semua itu dilakukan karena demi memenuhi kebutuhan fitrah manusia untuk mendapatkan sesuatu yang dapat meringankan beban dan kerasnya kehidupan serta jerih payahnya. Humor dan hiburan seperti ini berfungsi untuk menyegarkan kembali diri seseorang agar mampu untuk melanjutkan perjalanan dalam mengemban tugas yang panjang, sebagaimana seseorang mengistirahatkan kendaraannya dalam perjalanan agar dapat digunakan lagi dengan baik. Diperbolehkannya tertawa, senda gurau dan humor merupakan sesuatu yang tidak disangkal lagi, namun hal tersebut diberi batasan-batasan dan syarat yang harus dijaga, sebagai berikut.

Pertama, tidak boleh menggunakan kebohongan dan dusta sebagai alat untuk mengundang tawa, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang yang mereka namakan dengan April Mop. Oleh karena itu, Rasulullah SAW bersabda, “Celakalah orang yang berbicara dan berbohong agar orang-orang tertawa. Celaka dia. Celaka dia. Celaka dia.” Rasulullah SAW melakukan senda gurau namun hanya mengatakan yang benar.

Kedua, humor tidak boleh dilakukan untuk menghina orang lain dan melecehkannya, kecuali apabila orang tersebut telah mendapatkan izin dan kerelaan darinya. Allah SWT berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.Dalam shahih Muslim disebutkan, “Cukuplah seseorang itu dianggap jahat ketika ia menghina temannya yang muslim.” (QS. Al Hujurat: 11)

Diriwayatkan bahwa Aisyah menyebut salah satu madunya di depan Nabi dan mensifatinya dengan buruk dan mencelanya, maka Rasul berkata, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kamu telah mengatakan sesuatu, andai kamu campur dengan air laut niscaya kamu akan mengeruhkannya.”

Aisyah berkata, “Aku menceritakan seseorang dengan menirukan gerakan atau suara dan yang semisalnya, maka Rasul berkata, “Aku tidak suka mendengar cerita tentang seseorang dengan begini dan begini.”

Ketiga, tidak untuk menakuti dan mengagetkan muslimin. Abu Dawud meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abu Laila, ia mengatakan, “Para sahabat Nabi menceritakan kepada kami bahwa ketika mereka berjalan bersama Rasulullah SAW., mereka mengambil tali yang ada padanya dan mengambilnya, hal ini membuatnya takut. Maka Rasulullah SAW berkata, “Tidak halal seseorang menakutkan seorang muslim.”
Diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir, ia mengatakan, “Kami bersama Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan. Kemudian tiba-tiba seseorang mengantuk di kendaraannya. Maka salah seorang yang lain mengambil panah dari sarungnya sehingga lelaki yang mengantuk tadi terkejut dan takut. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Tidak halal seseorang menakutkan seorang muslim.” (HR.Ath-Thabrani).

Dilihat dari suasananya, dalam peristiwa ini orang yang melakukan perbuatan tersebut bermaksud untuk bergurau. Dalam hadits lain disebutkan, “Salah satu kalian tidak boleh mengambil barang saudaranya baik bergurau maupun sungguh-sungguh.” (HR.At-Tirmidzi dan dianggap hadits hasan).

Keempat, tidak bergurau dalam situasi yang seharusnya serius. Tidak tertawa dalam suasana yang seharusnya menangis. Segala sesuatu ada tempatnya. Setiap kondisi ada caranya tersendiri. Hikmahnya adalah agar menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya.



Dalam syair disebutkan:
Ketika bersungguh-sungguh di waktu serius
Maka kesungguhan ini akan membuatmu ridha
Dan orang yang bergurau apabila kamu ingin,
Maka gurauannya membuatmu senang.

Syair yang lain mengatakan:

Aku bergurau
Karena senda gurau bagus untuk seorang pemuda.
Sesungguhnya aku orang yang serius
Ketika orang-orang serius.

Ashmu’i meriwayatkan bahwa ia melihat seorang perempuan di pedalaman sedang shalat di atas sajadahnya dengan khusyuk dan tenang. Ketika sudah selesai shalat, maka ia berdiri di depan cermin untuk berhias dan mempercantik diri. Maka Ashmu’i mengatakan kepadanya, “Di manakah yang ini dari yang itu?” Maka perempuan tersebut menyenandungkan syair ini;

Baginya diriku
Mempunyai sisi yang tidak akan aku sia-siakan.
Hiburan adalah dariku
Dan kepahlawanan adalah sisi yang lain dariku.

Ashmu’i mengatakan, “Maka aku baru mengerti bahwa ia adalah perempuan ahli ibadah yang mempunyai suami dan ia berhias untuknya.”

Allah SWT berfirman,
Maka apakah kamu merasa heran dengan pemberitaan ini dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkannya.” (QS. An-Najm: 59-61).

Allah SWT mencela orang-orang musyrik yang tertawa ketika mendengar Al Quran, padahal semestinya ia harus menangis.

Kelima: senda gurau dilakukan sekedarnya saja, seimbang dan tidak berlebihan yang masih dapat diterima oleh akal dan fitrah yang sehat serta sesuai dengan masyarakat yang positif.

Islam tidak suka berlebihan dan melewati batas dalam segala sesuatu, meskipun ketika dalam hal ibadah, terlebih dalam hal hiburan dan senda gurau. Oleh karena itu, tuntunan Nabi SAW mengajarkan, “Janganlah kalian terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati.” Tertawa yang dilarang adalah yang dilakukan secara berlebihan dan terlalu.

Ali r.a mengatakan, “Berilah humor dalam perkataan seperti kamu memberikan garam pada makanan.” Ini adalah perkataan bijak yang menunjukkan perlunya humor, sebagaimana juga sisi negatif yang bisa terjadi apabila dilakukan secara berlebihan. Sebaik-baik perkara adalah yang sedang-sedang saja. Inilah karakter Islam dan metodenya serta titik kelebihan Islam dari yang lainnya. [Syahida.com / ANW]

==================

(Sumber: Kitab Malamih Al-Mujtama’ Al-Muslim, karya DR. yusuf Qardhawi, penerjemah: Abdus Salam Masykur, Nurhadi. Penerbit:Era Adicitra Intermedia)

Share this post

PinIt
scroll to top