Akhirnya Aku Merasakan Kenikmatan Bermunajat

Ilustrasi. (peperonity.com)

Ilustrasi. (peperonity.com)

Syahida.com – Pada awal masa muda aku biasa mengamalkan amalan-amalan kaum sufi, seperti memperbanyak puasa dan shalat. Aku juga hobi menyendiri, hingga aku pun merasa punya jiwa yang baik dan mata hati sensitif yang bersedih bila ada waktu yang terlewatkan tanpa ketaatan. Aku selalu berusaha mengisi waktu-waktuku dengan ketaatan, hingga aku pun bisa merasakan kenikmatan berzikir dan kelezatan bermunajat.

Suatu saat seorang pengusaha tertarik padaku. Ia menawariku bergabung dengan majelisnya. Hawa nafsuku tertarik dengan penawaran tersebut dan menerimanya. Tapi sebagai gantinya, kelezatan bermunajat yang telah kurasakan dalam waktu yang lama berangsur-angsur menghilang.

Aku kemudian bertobat, tetapi tiba-tiba penguasa yang lain menawariku hal yang sama. Aku menolaknya dan tak menuruti keinginannya, karena khawatir terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan syubhat seperti semula. Tapi, tak lama kemudian aku menemukan alasan yang membenarkan pengulangan perbuatan tersebut. Aku pun gembira sekali melihat apa yang diperbolehkan untukku. Tapi, aku lagi-lagi mesti kehilangan kelezatan bermunajat seperti sebelumnya.

Ringkas kata, bergaul dengan orang banyak telah membuat hatiku menjadi gelap, bahkan seluruh cahayanya menjadi padam. Kerinduanku pada sesuatu yang telah menjauhiku itu membuat anggota-anggota majelis taklimku tertarik. Mereka pun bertobat dan memperbaiki diri. Namun diriku sendiri keluar dari majelis tersebut dalam keadaan bangkrut!

Aku merasa sangat tersiksa karena penyakit itu, terlebih lagi aku tak mampu menyembuhkannya. Akhirnya, kasih sayang Tuhanku kepadaku menyuruhku menyendiri meski hawa nafsuku tak menginginkannya. Dia juga mengembalikan hatiku kepadaku setelah sebelumnya Dia menjauhiku dan memperlihatkan kepadaku cela perbuatan yang sebelumnya aku unggulkan. Aku pun akhirnya sembuh dari kelalaianku.

Berikut ini ririntahanku dalam munajatku:

“Rabb, bagaimana aku bisa bersyukur kepada-Mu? Dengan lisan apa aku mesti memuji-Mu? Engkau tidak menghukumku atas kelalaianku! Engkau telah menyadarkanku dari kealpaanku! Dan Engkau sudah  memperbaiki keadaanku walaupun hawa nafsuku tak menyukainya!

“Aku sungguh beruntung saat Engkau mencerabut sesuatu dariku, sebab buahnya adalah mengiba kepada-Mu! Aku sungguh berbahagia kala Engkau merampas sesuatu dariku, karena buahnya adalah menyendiri dengan-Mu! Alangkah kayanya diriku saat Engkau membuatku membutuhkan-Mu! Alangkah damainya hatiku kala Engkau membuatku terasing karena pergaulan dengan makhluk-Mu! Hatiku amat pilu kala Engkau mengingat waktu yang berlalu tanpa pengabdian kepada-Mu! Jiwaku amat gelisah saat mengingat masa yang terlewat tanpa ketaatanku kepada-Mu!



“Sebelum ini, saat terbangun di waktu fajar, aku tak merasa menyesal karena telah tidur semalam suntuk! Sebelum ini, kala siang berpamitan pergi, aku tak merasa bersedih karena telah menyia-nyiakannya! Sebelum ini, aku tak pernah menyadari bahwa hilangnya rasa adalah karena parahnya penyakit! Tapi sekarang, sekarang angin kesadaran telah bertiup sepoi-sepoi dan aku pun mulai bisa merasakan sakit, sehingga aku pun tahu kondisi sehat.

“Duhai Dzat yang besar karunia-Nya, sempurnakanlah kesadaran yang telah Engkau anugerahkan kepadaku ini! Oh, betapa seriusnya kemabukan yang tak diketahui keparahannya kecuali sesudah sadar! Sungguh aku telah berhasil memecahkan sesuatu yang sulit dipecahkan! Oh, alangkah sedih hatiku memikirkan barang berharga yang telah hilang! Oh, alangkah sakitnya jiwaku memikirkan pelaut keletihan yang diombang-ombangkan gelombang kesana kemari lalu dilemparkan kembali ke pantai tempatnya berasal!”

Hai orang yang membaca peringatanku untuk menjauhi pergaulan dengan orang banyak ini, meski aku telah mengkhianati diriku sendiri dengan tidak berbuat, aku tetap punya niat baik untuk mengingatkan kalian semua dengan perkataan:

Jangan pernah meremehkan sesuatu yang belum jelas akibatnya, karena langkah pertama setan biasanya adalah memoles kemubahan, lalu ia menyeret pelakunya ke perbuatan dosa.

Karena itu, teliti secara mendalam resiko setiap perbuatan. Lalu, pahamilah dengan cermat apa yang sedang engkau kerjakan. Tak jarang setan memperlihatkan kepadamu suatu tujuan yang mulia, namun cara mewujudkannya mengandung suatu bentuk pelanggaran. Kisah Bapak  kita, Nabi Adam ‘alayhis-salam, cukup sebagai bukti untuk hal ini, “Maukah saya tunjukan kepada kamu pohon khuldi dan kerjakan yang tidak akan binasa?” (Q.S. Thaha [20]: 120)

Nabi Adam ‘alayhis-salam sejatinya mencita-citakan puncak dari segala sesuatu; keabadian, namun beliau ternyata sudah salah jalan.

Jebakan di atas merupakan jebakan termanjur Iblis untuk menjebak ulama, karena mereka terbiasa menafsiri risiko suatu perbuatan dengan penafsiran yang menguntungkan diri sendiri, lalu mereka pun tertimpa akibat negatifnya. Sebagai contoh, seorang ulama mengatakan, “Pergilah ke rumah orang zalim dan bantulah orang yang menjadi korban kezalimannya.” Ternyata, sebelum sempat bertemu si tuan rumah, ia mesti menyaksikan berbagai jenis kemungkaran, hingga agamanya pun menjadi gonacang. Tak jarang ia terjerumus ke dalam kemusyrikan yang membuatnya lebih zalim dari orang zalim yang akan dinasihatinya.

Jadi, orang yang belum kuat betul agamanya kusarankan untuk menjauhi jebakan-jebakan setan, karena ia tak terlihat dan sangat samar. Tindakan paling aman buat orang seperti ini adalah menyendiri, telebih lagi matinya di zaman kemakrufan dan hidupnya kemungkaran, dan ulama pun sudah tak disegani lagi oleh para penguasa. Pada zaman seperti itu seorang ulama yang bergaul bersama mereka pasti akan terlibat dalam perbuatan zalim mereka, dan ia tak akan mampu menyelamatkan mereka dari jurang kemaksiatannya.

Orang yang merenungkan kondisi ulama-ulama yang bekerja di pemerintahan pasti akan melihat mereka tak punya waktu lagi untuk mengajarkan ilmu. Kita juga akan menyaksikan mereka seperti para pengawal penguasa yang menjadi atasannya.

Kalau memang demikian kondisi yang ada, tak ada pillihan lain kecuali, menjauhi orang banyak dan menolak penafsiran yang rusak tentang bergaul dengan mereka. Khusunya untuk diriku sendiri aku berpendapat:

Memberi manfaat kepada diriku lebih baik daripada memberi manfaat kepada orang lain namun diriku sendiri terkena mudharatnya!

Waspadalah, waspadalah terhadap penafsiran-penafsiran yang rusak dan fatwa-fatwa yang salah! Dan sabarlah, sabarlah dalam menahan beban-beban menyendiri! Karena, jika anda menyendiri dengan Allah, Dia pasti akan membukakan pintu makrifat-Nya untuk anda. Jika itu sudah terjadi, segala kesulitan menjadi mudah, semua kepahitan akan menjadi manis, segala kerepotan akan menjadi gampang dan seluruh keinginan akan anda dapatkan!

Hanya Allah-lah pemberi taufik berkat kedermawanan-Nya, dan tiada daya dan kekuatan kecuali dari-Nya. [ ]

Sumber : Kitab Shaid Al-Khatir Nasihat Bijak Penyegar Iman, Ibnu Al Jauzi 

Share this post

PinIt
scroll to top