Bolehkah Mengqadha’ Shalat Setelah Shalat Subuh dan Ashar?

Ilustrasi. (Foto : kaliakbar.com)

Ilustrasi. (Foto : kaliakbar.com)

Syahida.com – Setelah menyelesaikan shalat Subuh atau Ashar seseorang dibolehkan mengerjakan shalat lain jika ada sebabnya. Misalnya, mengwadha’ shalat sunnah Fajar setelah Subuh atau Dzuhur setelah Ashar atau Tahiyyatul Masjid,, atau shalat Gerhana, sujud Tilawah, sujud Syukur dan lain sebagainya. Hanyasaja yang dibolehkan adalah shalat-shalat yang ada sebabnya. Sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya dan mendiamkan/menyetujui orang yang melakukannya di depannya. Ini menunjukkan bahwa larangan mengerjakn shalat setelah Subuh dan Ashar tidak berlaku umum. Ia berlaku khusus untuk shalat yang tak ada sebabnya.

Berikut ini dalil-dalilnya:

Imam Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadist dari Ummu Salamah radhiyallahu anhu katanya, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengerjakan shalat dua rakaat setelah mengerjakan shalat Ashar. Kemudian beliau bersabda, ‘Orang-orang dari (Bani) Abdul Qais menyibukkanku dari mengerjakan dua rakaat ba’da Dzuhur.”[1]

Ibnu Majah dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Qais bin Amru, katanya, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat seseorang mengerjakan shalat dua rakaat setelah shalat Subuh. Beliau bertanya, ‘Apakah shalat Subuh dua kali?’ ‘Saya belum mengerjakan shalat dua rakaat sebelumnya, maka saya mengerjakannya,’ jawab orang itu. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berkomentar lagi.”[2]

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anhu, katanya, “Ada dua rakaat yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam baik sembunyi-sembunyi Subuh dan dua rakaat setelah Ashar.”[3]

Dalam riwayat lain Aisyah radhiyallahu anhu berkata, “Setiap kali Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendatangiku setelah Ashar beliau selalu mengerjakan shalat dua rakaat.”[4]

Aisyah radhiyallahu anhu juga berkata, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu mengerjakannya, namun beliau tidak mengerjakannya di masjid lantaran khawatir akan memberatkan umatnya. Beliau senang meringankan mereka.”[5]

Di dalam Fath Al-Bari, Ibnu Hajar menulis, “Dengan berpedoman kepada riwayat-riwayat inilah sebagian ulama membolehkan shalat sunnah setelah Ashar secara mutlak, selama tidak ditujukan untuk mengerjakan shalat saat matahari terbenam. Mereka yang menghukumi makruh secara mutlak menjawabnya dengan menyatakan bahwa apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu menjadi dalil bolehnya mengerjakan shalat rawatib yang terlewatkan dan tidak makruh. Sedangkan mengerjakannya terus-menerus, itu adalah salah satu kekhususan beliau. Dasarnya adalah riwayat Dzakwan, budak yang dimerdekakan Aisyah. Dzakwan pernah diberitahu oleh Aisyah bahwa beliau mengerjakan shalat ba’da Ashar, namun melarangnya dan mengerjakan puasa wishal, namun juga melarangnya. Riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Dawud.”[6]



Di dalam Al-Mughni, Ibnu Qudamah menulis, “Pendapat yang shahih tentang mengqadha’ shalat sunnah rawatib setelah shalat sunnah rawatib setelah shalat Ashar adalah boleh. Sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melakukannya. Beliau mengqadha’ dua rakaat ba’diyah Dzuhur setelah mengerjakan shalat Ashar. Dan di dalam hadist Ummu Salamah radhiyallahu anhu, beliau mengqadha’ dua rakaat qabliyah Ashar setelah mengerjakan shalat Ashar. Demikian pula dengan hadist Aisyah radhiyallahu anhu. meneladani perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah sesuatu yang pasti (boleh), sedangkan larangan (shalat) setelah Ashar adalah ringan (tidak haram).”[7]

“Jangan kalian meneparkan shalat kalian dengan terbitnya matahari dan terbenamnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sumber: Sulitkah Shalat Subuh Tepat Waktu? oleh Samir Al-Qarny bin Muhammad

  1. Al-Bukhari 2/260 bab ke-33. Beliau telah membawakannya secara maushul di tempat-tempat lain di dalam Shahihnya.
  2. Shahih Sunan At-Tirmidzi hadist no. 423 dan Shahih Sunan Ibnu Majah hadist no.2254. lafal hadist di atas adalah lafal Ibnu Majah.
  3. Al-Bukhari hadist no. 592
  4. Al-Bukhari hadist no. 593
  5. Al-Bukhari hadist no. 590
  6. Fath Al-Bari 2/ 261. Yang dimaksud puasa wishal adalah menyambung puasa dengan malam. Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidak sama dengan kalian, saat aku tidur Rabbku memberiku makan dan minum.”
  7. Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 1/756.

Share this post

PinIt
scroll to top