Bohong Putih, Bolehkah?

Ilustrasi. (Foto : leadershipfreak.wordpress.com)

Ilustrasi. (Foto : leadershipfreak.wordpress.com)

Syahida.com – Mungkinkah kita tak pernah berbohong? Mungkin saja, tapi seumur hidup betul-betul bebas dari dusta rasanya sulit, ya? Kecuali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang secara langsung dijaga Allah dari dosa-dosa.

Bohong berarti menyatakan sesuatu yang tidak benar atau ketidaksesuaian antara pernyataan dan fakta sebenarnya. Melihat defini ini tentu semua orang sepakat bahwa bohong adalah perilaku yang buruk dan seharusnya dihindari.

Lalu bagaimana dengan bohong putih? Menurut Natasha Nugraha, Psi, psikolog di Puri Mutiara Bekasi, bohong putih berarti melakukan kebohongan dengan tujuan yang positif. Artinya, meskipun bohong pada dasarnya tidak dibenarkan, namun dalam kondisi tertentu diperbolehkan melakukannya. “Tentu dengan alasan dan syarat-syarat yang ketat,” tegas Natasha.

Terpaksa Berbohong

Pada akhirnya, syarat-syarat yang ketat ini tidak diperhatikan oleh banyak orang. Saat ini kita temukan fakta, orang mudah sekali berbohong dengan alasan demi kebaikan, tidak ingin menyakiti hati orang lain, sopan santun, dan kemanusiaan. Banyak pula yang beranggapan, keadaanlah yang memaksanya berbohong.

Seperti yang dilakukan Ari (33), ibu rumah tangga di Jakarta. Saat terlambar menghadiri pengajian, ia mengirim pesan melalui telepon genggamnya, “Maaf, saya terlambat, jalanan macet.” Padahal yang sebenarnya terjadi, ia bangun kesiangan dan baru berangkat satu jam dari jadwal seharusnya.

Cerita lain dari Shinta (27) yang mungkin juga sering kita alami. Teman Sinta yang baru setahun menikah bertanya, “Aku gendut, ya?” Sebetulnya, ia memang tampak lebih gemuk namun Sinta sungkan bicara jujur. Demi sopan santun ia menjawab, “Enggak kok, kamu masih tampak langsing.”

Ari mengakui bahwa ia berbohong, tapi menurutnya tidak ada niat buruk dalam ucapannya. Ia hanya merasa tidak enak jika ketahuan bangun kesiangan. Ia juga tak merasa sepenuhnya bohong karena jalanan yang ia lewati termasuk kawasan padat lalu lintas dan sering macet.



Sementara Sinta merasa terpaksa berbohong demi menjaga perasaan temannya. Ia tak berani membayangkan jika bicara terus terang, “Iya, kamu tambah gendut.” Pasti temannya sedih dan bisajadi persahabatan mereka akan rusak.

Lebih Baik Bicara Asertif

“Biasanya orang yang berbohong memiliki beberapa alasannya, di antaranya menjaga keharmonisan relasi sosial, menghindari konsekuensi jika bicara jujur, menyelamatkan harga diri dan masih banyak lagi,” papar Natasha.

Alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini juga menegaskan bahwa alasan-alasan tersebut tidak lantas membenarkan seseorang untuk berbohong. Alasan yang dibenarkan dalam bohong putih, menurutnya, jika tujuan bohong itu sesuatu yang positif dan sesuai dengan aturan syariat Islam.

Natasha pun mengingatkan bahwa perilaku bohong, walaupun sepertinya sepele, justru berbahaya karena bisa membentuk kebiasaan. “Bohong itu ibarat candu. Apabila seseorang mendapat reaksi positif dari kebohongannya hatinya akan senang dan ia ingin selalu mengulangnya,” tambahnya.

Namun demikian, Natasha menganjurkan kita agar pintar memilih kita agar pintar memilih kata-kata alias pintar memilih kata-kata alias berkomunikas secara asertif, sebab tidak semua orang siap menerima kejujuran. Terkadang kejujuran juga bisa membuat retak hubungan sosial. Karena itu, kata Natasha, jalan tengahnya adalah bicara diplomasi, menghindari berbohong, tanpa menyakiti hati lawan bicara.

Aturan Islam Tentang Bohong

Ustadzah Aan Rohanah M.Ag, pengelola Pesantren Darul Qur’an Mulia Serpong menyatakan, seorang Muslim tidak diperbolehkan berbohong kecuali dalam tiga urusan berdasarkan hadist, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membolehkan dusta dalam tiga perkara, yaitu dalam peperangan, dalam rangka mendamaikan antara orang-orang yang bersengketa, dan pembicaraan suami kepada istrinya,” (HR. Ahmad).

Yang dimaksud dusta dalam peperangan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Peperangan adalah tipu daya,” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Ilustrasi lain, dalam suasana perang seorang mujahid tidak boleh secara jujur menyampaikan apa yang ia rasakan, misalnya rasa takut dan khawatir. Sebab, hal itu dapat membangkitkan semangat musuh untuk mengalahkan umat Islam.

Dusta dalam rangka mendamaikan orang yang bersengketa dicontohkan Ustadzah Aan berikut. A dan B sedang bertengkar, C ingin menengahi. Ia menyampaikan pada A bahwa B sebetulnya ingin berbaikan. C juga mengatakan ke B bahwa A kangen dan ingin kembali menjalin persahabatan. Kebohongan seperti ini, kata Aan, justru terpuji dan mendapat pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lalu bagaimana dengan kebohongan dalam pembicaraan suami istri? Kebohongan yang diperbolehkan, menurut mantan Ketua Umum Salimah 2000-2005 ini, berkaitan dengan hal-hal yang tidak dilarang agama. Contohnya, memuji masakan istri walau sebenarnya rasanya biasa-biasa saja. Namun, jika sesuatu itu dilarang agama, seperti berselingkuh, haram hukumnya suami/istri berbohong.

Selain itu, menurut Aan, seorang Muslim juga boleh berbohong dengan tujuan menghindarkan diri atau seseorang dari kemaksiatan. Misal, kita bisa menjawab tidak tahu pada orang yang menanyakan rumah Mbah Dukun X, padahal kita tahu rumah yang dimaksud.

“Selain karena hal-hal yang dibenarkan, semua kebohongan masuk dalam kategori bohong hitam atau dilarang. Termasuk bohong yang dikatakan putih, bohong-bohong kecil saat bercanda, komentar atau sapaan basa-basi,” pungkas Aan. [Syahida.com]

Sumber: Majalah Ummi No. 11 | XXIV

Share this post

PinIt
scroll to top