Suamiku, Hargailah Aku… (Bagian ke-2)

Ilustrasi. (Foto : lovemarriageinislam.wordpress.com)

Ilustrasi. (Foto : lovemarriageinislam.wordpress.com)

Syahida.com – Ibnul Arabi menyebutkan sebuah riwayat dari Abi Abdurrahman bahwa Syaikh Abu Muhammad bin Abu Zaid adalah orang yang memiliki kedudukan dan terpandang ilmu dan agamanya. Beliau memiliki seorang istri yang menyepelekan hak-hak suaminya dan menyakitinya dengan lisannya.

Ada yang mengajak beliau berbicara tentang istrinya dan beliau dikritik karena kesabaran beliau terhadap istrinya. Beliau pun memberikan alasan:

“Aku adalah orang yang telah diberi Allah kesempurnaan nikmat kesehatan badan, pengetahuan, dan apa yang aku miliki. Boleh jadi istriku dikirim Allah sebagai balasan atas dosaku. Jika ku ceraikan ia, aku takut akan turun siksaan yang lebih keras daripada itu.”

Para ulama mengatakan, “Dalam ayat dan hadits di atas terkandung dalil dimakruhkannya bercerai meskipun itu mubah (diperbolehkan).”[1]

Firman Allah, “Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka…” maknanya jika kalian membenci istri kalian karena shuhbah (hidup bersama) dan imsak (mempertahankan) status istri kalian karena tabiatnya. Namun dari diri mereka tidak muncul  sesuatu yang mengharuskan benci kepadanya, “(maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,” seperti shuhbah dan imsak. “Dan Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” seperti anak dan keharmonisan yang muncul setelah kebencian.

Maknanya, jika kalian membenci mereka (istri), bersabarlah dan jangan menceraikan mereka karena kebencian semata. Sebab, bisa jadi dalam sesuatu yang kalian benci terdapat banyak kebaikan. Sebab, bisa jadi jiwa manusia itu akan membenci sesuatu yang dipujinya dan mencintai sesuatu yang dicelanya. Karena itu, fokuslah pada perkara yang mengandung kebaikan, bukan menuruti hawa nafsu.

Adapun bentuk umum pada lafal “sesuatu” dan “ kebaikan” dan diletakannya sifat (yang banyak) pada kata itu adalah berfungsi sebagai penekanan untuk tidak bercerai. Dan dijadikannya kata itu dalam bentuk umum berfungsi sebagai irsyad, arahan. Dari ayat tersebut dapat diambil dalil bahwa talak hukumnya makruh.’[2]

Mengenai firman Allah:



“Dan Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kebaikan yang banyak adalah dengan berlemah lembut kepada istri, lalu suami diberi rezeki berupa anak dari istri. Dan Allah menjadikan pada anak tersebut kebaikan yang banyak.”

Ibnu Mundzir meriwayatkan bahwa Adh-Dhahhak berkata, “Jika antara suami dan istrinya. Suami hendaknya bersikap lemah lembut dan bersabar. Sebab, mudah-mudahan Allah akan memperlihatkan kepadanya apa yang ia senangi dari istrinya.

Abd bin Humaid juga meriwayatkan dari Qatadah mengenai ayat tersebut. Ia berkata, “Bisa jadi ketika suami tetap memepertahankan istrinya, padahal ia membencinya, Allah akan menjadikan pada istrinya kebaikan yang banyak.”[3]

Memperjelas ayat tersebut, Ibnu Jauzi radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Ayat tersebut, menganjurkan untuk mempertahankan istri meskipun suami membencinya. Ayat itu juga menekankan dau hal:

1. Manusia sama sekali tidak mengetahui dari mana arah datangnya kebaikan. Berapa banyak hal yang dibenci akhirnya dipuji, dan berapa banyak hal yang dipuji akhirnya di cela.

2. Manusia hampir tidak mungkin mendapatkan sesuatu yang dicintai tanpa hal yang dibenci. Untuk itu, harus bersabar atas apa yang ia benci karena apa yang ia cintai.

Renungkanlah kalimat berikut:

Siapa yang tidak menutup mata dari temannya dan dari sebagian apa yang ada pada dirinya, ia akan mati sebagai pencela

Siapa yang serius mencari-cari kesalahan, ia akan menemukannya. Dan, tak satupun teman yang selamat darinya sepanjang masa.[4] [5] [Syahida.com]

Bersambung….

Sumber: Buku Suamiku, Dengarkanlah Curahan Hatiku. Isham Muhammad Syarif

 

[1] Al-Jami’ liahkamil Qur’an: V/ 98.

[2] Ruhul Ma’ani: IV/243.

[3] Lihat Ad-Dur Al-Mantsur. 11/133.

[4] Lihat Zad Al-Masir: 11/42.

[5] Lihat ‘Audah Al-Hijab, karya syaikh Muhammad Ismail: 11/ 218-220.

Share this post

PinIt
scroll to top