Kapan Suami Boleh Marah?

Ilustrasi.

Ilustrasi.

Syahida.com – Seorang suami muslim harus mengikuti jejak Rasulnya dalam pergaulan suami istri dan selainnya. Dengan begitu, ia bisa memilah kesalahan-kesalahan yang terjadi, apakah itu kesalahan pribadi atau kesalahan yang berkaitan dengan agama. Jika yang pertama, maka solusinya adalah bersikap dewasa, sabar memaafkan dan toleransi. Namun, bila itu adalah jenis yang kedua, ia harus marah karena Allah tanpa melampaui batas.

Diriwayatkan bahwa Aisyah berkata, “Setiap diberi dua pilihan, Rasulullah selalu mengambil yang paling mudah selama hal itu tidak mengandung dosa. Namun, jika pilihan itu mengandung dosa maka beliau adalah orang yang paling jauh dari dosa. Rasulullah tidak pernah membalas sesuatu untuk dirinya sendiri. Jika kehormatan Allah dilanggar, beliau marah karena Allah.”

Di bawah ini ada beberapa sikap praktis yang menggambarkan keagungan Nabi:

 

  •  Suatu kali, Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata kepada Rasulullah dengan marah, ‘Kamu orang yang mengaku sebagai Nabi?’ mendengar hal itu, Rasulullah hanya tersenyum. Hal itu mengandung kelembutan dan kemuliaan Rasulullah. Alangkah lembutnya beliau dan alangkah agungnya suami itu. Beliau berbuat lembut dan bersabar, memaafkan, dan memberi  toleransi. Sebab, menyakiti bukanlah kepribadian Rasulullah. Beliau tidak pernah marah untuk dirinya sendiri. Lalu, di manakah sikap beliau dari para suami yang sering marah hanya gara-gara sang istri terlambat menyiapkan makanan? Itu merupakan urusan pribadi yang sebenarnya tidak perlu memancing kemarahan, celaan, maupun penghinaan. Adapun jika hal-hal yang menyakitkan tersebut melanggar kehormatan Allah atau melukai orang lain, barulah ia harus marah sesuai aturan syariat.
  •  Pernah terjadi perdebatan antara Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Aisyah, sehingga Abu Bakar pun masuk untuk menjadi hakim diantara keduanya. Rasulullah bersabda kepada Aisyah, ‘Kamu yang berbicara atau aku?’ Aisyah menjawab, ‘Engkau saja yang berbicara dan jangan berkata kecuali yang benar.’ Mendengar hal itu, Abu Bakar menampar pipi Aisyah hingga mulutnya berdarah. Abu Bakar kemudian berkata, “Pernahkah beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata yang tidak benar, wahai musuh dirinya sendiri?’ kemudian Aisyah berlindung kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan duduk di belakang punggungnya. Nabi pun bersabda, ‘Sesungguhnya kami tidak memanggilmu untuk ini dan kami tidak menginginkan engkau berbuat hal ini.’
  •  Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku pernah berkata kepada Nabi, ‘Cukuplah bagi Anda bahwa Shafiyah itu begini dan begitu.” Salah seorang perawi hadits menyebutkan, maksudnya adalah pendek. Maka Nabi bersabda: “Sungguh kamu telah mengucapkan kalimat yang seandainya dicampur dengan air laut, niscaya kalimat itu akan mengubah airnya.” Maksud dari mengubah airnya adalah mengubah rasa atau baunya karena amat busuk dan jeleknya kalimat itu. Dan ini termasuk peringatan yang paling keras untuk perbuatan ghibah.
  •  Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Suatu ketika tunggangan Shafiyyah binti Huyai Salit, sedangkan Zainab memiliki kelebihan unta, lalu Rasulullah meminta kepada Zainab, ‘Berilah Shafiyyah unta.’ Maka Zainab berkata, ‘Aku (harus) memberi wanita Yahudi itu?’ mendengar hal itu, Rasulullah pun marah, lalu meng-hajr (mendiamkan) Zainab selama bulan Dzulhijjah, Muharram, dan sebagian Shafar.” Tatkala kesalahan itu berupa ghibah terhadap kehormatan, pelanggaran terhadap hak orang lain, penodaan terhadap kehormatannya, kesombongan yang dibenci atau penghinaan kepada orang lain, Rasulullah akan marah karena Allah dan membela kehormatan kaum muslimin.

Karena itu, suami harus marah jika istrinya tidak mengerjakan shalat atau berlarut-larut membicarakan kehormatan orang lain. Yaitu, ketika istri mencela A, melukai B, takkabur kepada si C dan meremehkan perkara si D atau ia melihat film-film hina dan mendengarkan nyanyian yang membangkitkan nafsu. [Syahida.com]

====
Sumber: Buku Suamiku, Dengarkanlah Curahan Hatiku. Isham Muhammad Syarif.



Share this post

PinIt
scroll to top