Apa Hukumnya Shalat Sunnah Jika Iqamat Telah Dikumandangkan

Ilustrasi. (Foto : maghrebdailynews.com)

Ilustrasi. (Foto : maghrebdailynews.com)

Syahida.com – Makruh hukumnya jika iqamat telah dikumandangkan, makmum masih sibuk mengerjakan atau memulai suatu shalat sunnah. Ini berlaku untuk shalat sunnah Fajar, sunnah Dzuhur, dan shalat-shalat sunnah yang lain, baik dikerjakan di masjid atau pun di luar masjid. Yang demikian ini berdasarkan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, katanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda:

“Jika iqamat untuk shalat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat selain shalat yang diwajibkan.”[1]

Menurut riwayat Imam Ahmad bunyi hadist di atas adalah, “Maka tidak ada shalat selain yang iqamat dikumandangkan untuknya.”

Imam At-Tirmidzi berkata, “Inilah yang diamalkan oleh para ulama dari kalangan sahabat dan selain mereka. Jika iqamat dikumandangkan, tidak semestinya seseorang melakukan shalat selain shalat fardhu. Ini juga pendapat Sufyan, Ibnul Mubarak, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.”

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Buhainah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Sallam pernah melihat seseorang yang mengerjakan shalat dua rakaat, padahal iqamat telah dikumandangkan. Setelah beliau selesai, orang-orang menggerumuni orang itu, dan Rasulullah menegurnya dengan bertanya, “Apakah shalat Subuh itu empat rakaat? Apakah shalat Subuh itu empat rakaat?”[2] Makna teguran Nabi ini adalah bahwa tidak disyariatkan suatu shalat pun setelah iqamat dikumandangkan, kemudian shalat fardhu bersama jamaah, maka seakan-akan dia mengerjakan shalat Subuh empat rakaat. Sebab dia mengerjakan shalat empat rakaat setelah iqamat. Demikian disimpulkan oleh Imam An-Nawawi di dalam Syarh Muslim.

Abdullah bin Sirjis berkata, “Seseorang memasuki masjid saat Rasulullah melaksanakan shalat Ghadat. Orang itu mengerjakan shalat dua rakaat di samping masjid, lalu masuk dan shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Setelah salam Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, “Wahai Fulan, shalatmu yang mana yang kamu inginkan akan dihitung? Apakah shalatmu sendirian ataukah shalatmu bersama kami?”[3]

Kalimat “Orang itu mengerjakan shalat dua rakaat di samping masjid” menunjukkan kelirunya orang yang berpendapat bolehnya menyibukkan diri dengan dua rakaat Fajar jika dilakukan di samping masjid, tidak bercampur dengan shaf jamaah. Dan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “ataukah shalatmu bersama kami?” menunjukkan bahwa orang itu sempat mengerjakan shalat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Di dalam Syarh Shahih Muslim, Imam An-Nawawi menulis “Dalam hadist ini ada dalil bahwa tidak ada shalat sunnah setelah iqamat, walaupun nantinya sempat mendapati shalat bersama imam.”



Di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, Ath-Thabarani meriwayatkan dari Abu Musa bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat seseorang melaksanakan shalat dua rakaat Ghadat ketika muadzin mengumandangkan iqamat. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menepuk kedua pundaknya seraya bersabda, “Kenapa ini tidak sebelum ini?!”[4] Maksudnya sebelum dikumandangkan iqamat.

Di dalam At-Tamhid, Ibnu Abdul Barr menulis, “Tidak diperkenankan shalat sunnah apa pun jika iqamat untuk shalat wajib telah dikumandangkan; tanpa membedakan dua rakaat Fajar atau pun yang lainnya.” Beliau juga menulis, “Hujjah saat terjadi perselisihan adalah sunnah. Siapa yang berpedang kepadanya, sungguh dia telah meraih kesuksesan. Meninggalkan shalat sunnah saat iqamat telah dikumandangkan dan mengerjakannya setelah shalat fardhu lebih dekat pada sunnah.”[5]

Asy-Syaukani di dalam Nail Al-Authar membawakan sembilan pendapat sehubungan dengan masalah ini. Di bagian akhir beliau menulis, “Jika iqamat telah terdengar, tidak halal memulai dua rakaat Fajar atau shalat sunnah apa pun; baik di masjid atau pun di luar masjid. Jika seseorang memaksakan diri untuk melakukannya, maka sungguh dia telah bermaksiat. Inilah pendapat ahli Zhahir. Ibnu Hazm mengutipnya dari Asy-Syafi’i dan kebanyakan ulama salaf. Demikian pula dengan Al-Khaththabi.”[6]

Tidak Ada Perkecualian untuk Shalat Sunnah Fajar Atau Pun Shalat Sunnah yang Lain

Tidak ada hujjah bagi yang mengecualikan shalat sunnah Fajar dari larangan ini setelah terangnya sunnah. Tidak halal berpaling darinya dan menoleh kepada perkataan atau pendapat siapa pun. Pun Imam Abu Hanifah yang kepada beliau dinisbatkan pendapat bolehnya melakukan ini telah bertutur, “Jika hadist dinyatakan shahih, maka itulah madzhabku.”

Di dalam I’lam Al-Muwaqqu’in, Ibnul Qayyim menyitir beberapa hadist yang menerangkan larangan shalat setelah iqamat. Setelah itu beliau berkomentar, “… setelah itu semua hadist yang ada di tolak dengan riwayat Hajjaj bin Nushair Al-Matruk dan Abbad bin Katsir Al-Halik. Hadist keduanya telah disebut di muka. Pendapat ini tertolak dengan hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Apabila iqamat untuk shalat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat selain shalat yang diwajibkan.’ Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, tidak juga dua rakaat Fajar?’ Beliau menjawab, ‘Tidak juga dua rakaat Fajar.’[7] Meskipun hadist ini tidak kuat tetapi sanadnya lebih baik daripada hadist yang mereka jadikan sebagai hujjah.”

Pembicaraan masalah ini cukup panjang. Kami hanya bermaksud membawakan sunnah dan pendapat para ulama. Karena itu kami cukupkan sampai di sini. Apa yang kami hadirkan kiranya cukup bagi siapa saja yang menginginkan hidayah. Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam. [Syahida.com]

  1. Berkenan dengan ini ada banyak hadist shahih. Dari Abu Hurairah, Abdullah bin Sirjis, Ibnu Buhainah, Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Anas bin Malik, Abu Musa Al-Asy’ariyahari, Zaid bin Tsabit, dan Aisyah semoga Allah meridhai mereka. Yang kami sebutkan di sini hanya sebagian kecil darinya. Sedangkan dalil mereka dengan hadist Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi yang berbunyi, “Jika iqamat untuk shalat telah dikumandangkan maka tidak ada shalat kecuali dua rakaat Subuh,” sungguh Al-Baihaqi telah berkata, “Tambahan ini tidak ada asalnya.” Selain itu di sanadnya ada Hajjaj bin Nushair dan ‘Abbad bin Katsir yang dha’if. Demikian dijelaskan oleh Asy-Syaukani di Nail Al-Authar. Shahih Sunan At-Tirmidzi hadist no. 422, Muslim hadist no. 710 dan An-Nasa’i hadist no. 883
  2. Al-Bukhari hadist no. 663
  3. Muslim hadist no. 712
  4. Al-Iraqi berkata, “Sanadnya baik” Nail Al-Authar.
  5. Fath Al Bari 2/371
  6. Nail Al-Authar 3/85
  7. Ibnu Hajar menghasankannya di dalam Fath Al-Bari 2/369

Sumber: Sulitkah Shalat Subuh Tepat Waktu? oleh Samir Al-Qarny bin Muhammad

Share this post

PinIt
scroll to top