Amalan Agar Istri Makin Sayang (Bagian ke-7): Ketika Harus Bersikap Tegas

Ilustrasi. (Foto : websiteplanet.com

Ilustrasi. (Foto : websiteplanet.com

Syahida.com – Terkadang, suami dan istri tak sejalan dalam menentukan sesuatu hal. Misalnya, rencana masa depan, soal keuangan, renovasi rumah, membeli barang, atau memilih sekolah untuk anak. Seringkali perbedaan keinginan ini menjadi perdebatan yang pada akhirnya justru menimbulkan sikap saling berusaha untuk mengalahkan dan tidak mau saling mengalah.

Hal sepele juga dapat menjadi pemicu perbedaan. Contoh kasus, ada seorang suami yang memiliki istri dan tiga orang anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Sang istri senang menonton sinetron dan infotainment, sementara anak-anaknya hobi menonton film, bahkan menjadi ketagihan meskipun belum dapat memilah dan memilih mana film yang layak dikonsumsi oleh mereka. Suatu hari, istri dan anak-anak menuntut suaminya untuk berlangganan TV kabel (satelit), yang menyajikan berbagai tayangan selama 24 jam dari macam stasiun televisi dalam dan luar negeri. Pada kasus ini, keputusan suami untuk memenuhi keinginan istri dan anak-anaknya adalah tidak bijak dan tidak tepat, mengingat istri dan anak-anaknya gemar sekali menghabiskan waktu produktif mereka sekedar untuk menonton tayangan televisi.

Menolak permintaan itu bukan berarti tidak sayang terhadap keluarga, tetapi justru sebaliknya. Inilah bukti cinta yang sesungguhnya dari seorang kepala keluarga terhadap istri dan anak-anaknya. Jika permintaan itu dituruti, sama artinya menjerumuskan istri dan anak-anaknya menjadi lebih ‘kecanduan’ dengan acara-acara yang ditawarkan oleh berbagai stasiun televisi yang belum tentu baik bagi mereka.

Bila kasus di atas sedikit kita ubah, dalam artian sang istri membutuhkan TV satelit karena ada program penting dan bermanfaat bagi dirinya, bukan sekedar untuk memenuhi keinginannya menyaksikan berbagai tayangan; Sementara suami memiliki keyakinan seratus persen bahwa istri dan anak-anaknya mampu memilah dan memilih acara yang baik dan bermanfaat bagi mereka, maka dalam kasus ini (mungkin) tidak menjadi masalah bila suami memenuhi permintaan istrinya. Intinya, semua tergantung pada latar belakang kasusnya masing-masing karena sangat memungkinkan keadaan, kebutuhan dan kepentingan sebuah keluarga berbeda dengan keluarga yang lain.

Sikap yang tegas mutlak harus dilakukan oleh kepala keluarga bila ia menjumpai keinginan atau perbuatan istri atau anak-anaknya bertentangan dengan kaidah syar’i. Misalnya, suami melarang istri atau anak-anaknya memamerkan perhiasan yang dimiliki kepada teman-temannya di sela-sela arisan ibu-ibu, atau ayah melarang anaknya yang ingin berduaan dengan lawan jenisnya.

Begitu pula terhadap perintah-perintah agama yang sifatnya wajib, seorang suami juga harus bersikap tegas dalam mendisiplinkan anggota keluarganya. Tegas bukan berarti otoriter, tetapi mendudukkan tindakan yang dilakukan untuk mengatasi suatu permasalahan sesuai dengan porsinya. Misalnya, ketika adzan Subuh terdengar, suami membangunkan istrinya untuk shalat Subuh terdengar, suami membangunkan istrinya untuk shalat Subuh, namun istrinya berkata, “Sebentar, aku masih mengantuk. Setengah jam lagi, ya.” Sikap yang perlu diambil adalah tetap membangunkan istrinya agar ia tidak menunda melaksanakan shalat Subuh tepat pada waktunya. Memberikan peluang kecil untuk bermaksiat kepada Allah dengan menunda-nunda shalat, sama artinya kita mempersiapkan keluarga kita bermental pemalas dalam mengerjakan amal shalih dan ketaatan. Jika hal ini biasa dilakukan, setan pun akan merasa senang karena bisikannya mendapat dukungan.

Bersikap tegas juga diperbolehkan dalam pembelajaran seorang ayah terhadap anaknya. Sebagai contoh, ayah berhak memukul anaknya yang berusia sepuluh tahun apabila si anak tidak menurut ketika diperintahkan untuk mengerjakan shalat. Pemukulan ayah tetap harus dilakukan dengan bijak, sehingga tidak menyakiti anak, tetapi dilakukan semata-mata untuk mendisiplinkan anak:

“Dam perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Thaha [20]: 132)



Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga memerintahkan setiap orang tua agar menyuruh anaknya shalat ketika ia berumur tujuh tahun:

“Perintahkanlah anakmu supaya shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka (bila tidak mau shalat) ketika berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidurnya.” [1]

Ada konsep sederhana ketika suami harus memberikan keputusan yang tegas, yaitu dengan memperhatikan secara seksama apakah sesuatu hal yang perlu diberikan ketegasan memang layak ataukah sebaliknya. Perhatikan tabel berikut

Melakukan Sesuatu Tidak Melakukan Sesuatu
Ikhlas/ karena Allah Tidak karena Allah/ karena orang lain
Sesuai syar’i/ tidak bertentangan Tidak sesuai syar’i/ bertentangan
Bermanfaat Bermanfaat
Penting Tidak penting
Mendesak Tidak mendesak

 

Tabel di atas menunjukkan tingkat perbuatan yang bersifat utama dan tidak utama. Jika seorang suami hendak memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, maka yang pertama dilihat adalah apakah yang akan ia lakukan semata-mata ikhlas karena Allah. Jika ia meyakini perbuatannya karena Allah, maka lanjutkan ke tahap berikutnya. Namun jika bukan karena Allah, seperti ingin dipuji orang, maka hentikan.

Tahap berikutnya, jika suami merasa yakin bahwa apa yang akan diperbuatnya ikhlas karena Allah, maka kemudian ia melihat apakah hal itu sesuai dengan syar’i, atau minimal tidak melanggar ketentuan syar’i. Jika iya, maka lanjutkan. Namun jika ternyata sesuatu itu tidak sesuai dengan ketentuan syar’i, maka tinggalkanlah.

Adapun tahap berikutnya adalah menilai kemanfaatan dari sesuatu yang akan diperbuatnya. Jika bermanfaat, maka lakukanlah dan jika tidak, maka pikirkanlah kembali. Lebih diutamakan apabila sesuatu itu memiliki nilai manfaat, tetapi juga bersifat penting dan mendesak. Ketentuan ini tidak harus tetap dilandasi dengan dua ketentuan sebelumnya bahwa perbuatan suami hendaknya ditujukan karena Allah dan tidak bertentangan dengan kaidah syar’i, baru kemudian memperhatikan aspek yang lain seperti nilai manfaat, tingkat pentingnya serta mendesak atau tidaknya.

Saya ingin menghadirkan sebuah kasus. Sebuah keluarga yang hidup masih mengontrak. Suatu ketika, suami mengambil seluruh tabungannya di bank dan ia memperoleh uang yang cukup banyak, setidaknya bisa membeli sebuah rumah yang sederhana atau sebuah mobil. Dengan uang itu, suami ingin membeli mobil karena selama ini ia bertengkar kerja menggunakan transportasi umun, sedangkan teman-teman kerjanya memakai mobil pribadi. Adapun istri lebih memilih agar uang tersebut digunakan untuk membeli sebuah rumah yang sederhana, mengingat tempat tinggal mereka yang masih mengontrak.

Melihat kasus di atas, keinginan suami memang merupakan hal yang penting, tetapi belum dapat dikatakan mendesak karena meskipun tidak memiliki mobil pribadi, sang suami masih bisa menggunakan transportasi umum menuju ke kantornya. Sedangkan keinginan istri dalam hal ini lebih bermanfaat, penting dan mendesak bila dibandingkan dengan keinginan suami. Sebuah rumah sangat diperlukan oleh mereka yang selama ini masih mengontrak daripada sebuah mobil. Rumah menjadi kebutuhan yang paling bermanfaat, penting dan mendesak untuk segera direalisasikan karena rumah merupakan kebutuhan primer setiap keluarga dan tidak selamanya keluarga itu akan mengontrak.

Bila suami sudah menyadari bahwa saran istri lebih baik daripada keinginannya, maka ia harus berani bersikap tegas. Suami harus mampu tegas untuk menahan keinginannya memiliki sebuah mobil. Tanpa mobil, ia masih bisa menuju ke tempat kerjanya. Ketegasan adalah ketika suami mengeluarkan uang tersebut untuk membeli sebuah rumah yang sederhana demi kebahagiaan semua anggota keluarga.

Seorang suami suatu waktu dituntut untuk bersikap tegas. Karena itu, hendaknya sikap tegas ia ambil setelah mempertimbangkan masak-masak. Adapun pertimbangan itu dapat dilakukan dengan melihat permasalahan, kemudian dihadapkan dengan ketentuan syar’i, nilai manfaat, tingkat penting tidaknya serta tingkat mendesak tidaknya. Lebih sempurna lagi, suami melengkapinya dengan meminta masukan dari orang lain, khususnya anggota keluarganya. [Syahida.com]

  1. Ab Dawud, Hakim, Thahawi dan Baihaqi

Sumber: Kitab Asadullah Al-Faruq (24 Jam amalan agar Istri makin sayang)

Share this post

PinIt
scroll to top