Saat Suami Mengancam Akan Menikah Lagi…

Ilustrasi. (Foto : vk.com)

Ilustrasi. (Foto : vk.com)

Syahida.com – “Begitu mudah ia mengancam akan menikah lagi.”

Seorang suami memiliki hak untuk menikah dengan empat orang istri menurut syariat Islam. Hal itu jika ia mampu memberi nafkah, berbuat adil dan mampu memenuhi kebutuhan dalam berpoligami.

Sebagian lelaki menikah lagi disebabkan karena istri pertama. Misalnya, istri tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhannya, atau istrinya secara sadar maupun tidak mendoronganya untuk melakukan pernikahan tersebut.

Meskipun istri yang terlalu pencemburu itu ingin agar suami tidak menikah lagi, namun sejatinya ia telah mendorong suaminya untuk menikah lagi dengan sikapnya yang berlebih-lebihan itu.

Senbagian lelaki ada yang menikah lagi karena sebab-sebab yang berkaitan dengan sakitnya istri, atau perbedaan visi dan banyaknya problematika rumah tangga.

Ada juga yang berpoligami tanpa satu alasan tertentu. Mereka memandang bahwa hal itu merupakan perkara yang di syariatkan. Mereka berpoligami karena melaksanakan apa yang dihalalkan Allah dan tidak butuh dengan apa yang diharamkan Allah. Sebagian lagi ada yang berpoligami karena ingin menjaga kehormatan diri dan memperbanyak keturunan yang saleh. Mereka berharap keturunan yang saleh itu akan mendoakannya.

Ada pula orang yang sudah lanjut usia berpoligami karena istri pertama tidak memerhatikannya lagi. Istrinya sudah sibuk dengan anak-anak, atau karena tidak mampu melayani suami. Jika seorang istri sibuk dengan dirinya sendiri atau disibukkan dengan anak, pastilah suami akan memikirkan keadaanya dahulu dan ingin hal itu terulang. Benar, berpoligami adalah hak lelaki. Namun, ia harus menempuh konsep keadilan yang dituntut oleh Allah. Allah berfirman:

“Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya). Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa’: 3)[1]



Dengan judul ‘Surat dari Seorang Istri’, Ummu Muhammad menulis:

“Saya yakin bahwa setiap wanita muslimah tidak menolak syariat poligami bagi laki-laki. Namun, yang ia tolak adalah aplikasinya oleh sebagian lelaki. Sebagian mereka memandang bahwa pernikahan barunya akan menjadi solusi untuk pernikahannya yang pertama. Setelah menikah lagi, ia berubah sikap kepada isri pertamanya. Bahkan mungkin ia akan bersikap buruk. Jika tidak, ia justru meninggalkan istri pertama dan tidak menganggapnya sama sekali. sikap buruk terhadap istri pertama dan anak-anaknya seperti inilah yang biasa mengiringi suami yang berpoligami. Inilah yang membuat seorang wanita sangat tergoncang bila suaminya menikah lagi. Apalagi melihat kegagalan poligami di lingkungannya, tentu hal ini menjadikannya benci terhadap poligami. Sangat disayangkan ketika sebagian lelaki menelantarkan istri pertama dan anak-anaknya. Ia mengalihkan perhatian kepada istri keduanya dan rumahnya yang baru.”

Ummu Muhammad menambahkan bahwa dalam kehidupan yang kita jalani ini ada banyak bukti nyata yang menguatkan persoalan di atas.

Seorang suami yang menelantarkan rumah, istri pertama, dan anak-anak, jelas akan meninggalkan banyak persoalan. Istri pertama bisa jadi memiliki peran dalam timbulnya sikap negatif seorang suami. Mungkin karena sang istri tidak bersikap baik kepada suaminya.

Penting diperlihatkan, sebagai laki-laki harus berpegang dengan Islam dan benar-benar mampu menyelaraskan keinginan dan kebutuhannya berpoligami dengan hak-hak orang lain serta tidak membiarkan istri pertamanya terkatung-katung dan menelantarkan anak-anaknya serta amanatnya.

Manusia selalu dituntut untuk memberikan hak orang lain sebelum orang lain itu mengambil haknya secara paksa di padang mahsyar. Saat itu sebagian besar manusia lari meninggalkan kerabatnya yang paling dekat. Allah berfirman:

“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya.” (‘Abasa: 34-36)

-“Salah seorang kerabat saya ditinggal mati istrinya. Tak lama kemudian ia menikah lagi dengan wanita yang sebenarnya ia tidak cintai. Namun sebaliknya, wanita itu begitu mencintainya. Kerabat saya ini memilih mengorbankan perasaannya sebagai balasan atas penghormatan, pemuliaan, dan kecintaan istriya tersebut. Ia pernah mengadu kepada saya, “Sebenarnya beratnya ketika aku sedang menikmati waktu di luar rumah, tiba-tiba istriku mengharap agar aku bersamanya. Dengan terpaksa aku pun duduk bersamanya untuk menghormati perasaanya.”-

Masih adakah suami yang menghiasi diri dengan akhlak seperti lelaki tersebut di masyarakat kita ini? Mungkin masih ada, tapi kualitasnya tidak sama.’[2]

Tidak ada faktor yang bisa menyamai akhlak yang baik dan pergaulan yang bagus terhadap istri dalam menguatkan ikatan-ikatan cinta dan kebahagiaan suami istri. Akhlak yang baik dan pergaulan yang baik akan meredam ancaman suami; mau berpoligami tanpa ada alasan tepat dan tujuan syar’i.

Wajar bila kadang suami kecewa dan marah kepada istri karena meremehkan urusan baik yang bersifat sunah atau wajib. Tapi salah besar jika suami meyakini bahwa kecewa dan memarahi adalah cara meluruskan istri.

-“Suami yang baik haruslah memiliki hati yang lembut, perasaan yang peka, sensitivitas yang baik, serta jiwa perasa yang dapat merasakan perasaan orang lain. Sampai meskipun orang itu tidak mengutarakannya. Ia turut merasakan deritanya dan meringankan kesedihannya meskipun orang tersebut tidak memintanya. Apalagi bila orang lain tersebut adalah istri tersayang.”-

Sesungguhnya, seorang suami harus bisa membahagiakan dan menyenangkan istrinya dalam setiap perkataan atau perbuatan. Bukan malah membuatnya sedih atau murung.

Hati yang rindu bertemu dengan Rabb-nya di surga pasti akan menjauhkan diri dari setiap akhlak tercela dan perilaku yang hina. Ia akan berlomba-lomba untuk mencari keridhaan Allah. Itu semua berangkat dari kejujuran cintanya kepada Allah dan apa yang dicintai Allah.

Saudaraku, jika Anda ingin berpoligami, pelajarilah perkara tersebut terlebih dulu. Mintalah pertimbangan dan pendapat saudara yang Anda percaya. Atau, mintalah fatwa dari ulama.

Setelah itu putuskanlah pilihan Anda dan bertawakallah kepada Allah. Jika tidak ingin berpoligami, jangan bermaksiat kepada Allah dalam urusan istri. Jangan menyakitinya karena itu akan membuatnya sedih dan diharamkan dalam Islam.

Di antara dampak negatif mengancam istri dengan poligami adalah:

1. Membuat istri sedih.

2. Menimbulkan perasaan tidak aman dan tenteram dalam diri istri sehingga bisa menyebabkannya melakukan perbuatan yang mungkin menyelisihi syariat. Misalnya, mengambil harta suami tanpa izin untuk menjamin masa depannya dari sesuatu yang akan terjadi nantinya.

3. Bukan seperti itu jalan yang disyariatkan untuk mendidik seorang istri atau mengobati nusyuz-nya. Jika itu benar, tentu telah kami tunjukkan syariatnya. Karena itu, seorang suami dikatakan berdosa jika mengerjakan perilaku yang memalukan seperti ini.

4. Istri membenci poligami karena seakan-akan poligami adalah cemeti dan hukuman jika ia menentang suaminya.

5. Perilaku seperti itu dapat menghilangkan sikap mempergauli dengan makruf karena hal tersebut dapat menggoreskan kesedihan, kebingungan, dan kegundahan pada diri istri.[3]

[Syahida.com]
Sumber: Buku Suamiku, Dengarkanlah Curahan Hatiku. Isham Muhammad Syarif.

 

[1] Lihat Asy-Syahdu wa Asy-Syauk fi Al-Hayah az-Zaujiyyah, hlm 206, karya Shalih bin Abdillah Al-‘Atsim.

[2] Ibid, hlm, 217-218.

[3] Silahkan lihat secara lebih terperinci dalam tulisan berjudul Rasa’il fi Ta’addud Az-Zaujat, karya penulis.

Share this post

PinIt
scroll to top