Mengapa Ayat Ini Memberi Batasan Berbakti Kepada Orang Tua Hanya Di Usia Senja?

orangtuaSyahida.com – Salamah bin Wardan radhiyallahu anhu meriwayatkan, ia mendengar Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam naik ke atas mimbar. Saat menginjak tangga pertama beliau berkata, ‘amin’, pada tangga kedua belaiu pun berkata, ‘amin’ dari pada tangga ketiga beiiau juga mengatakan, ‘amin. Rasulullah berdiri lantas duduk. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang engkau amini?’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, Jibril Alaihissalam datang kepadaku dan berkata, “Terhinalah orang yang ketika namamu disebut di hadapannya, namun dia tidak mengucap shalawat atas dirimu. Maka, aku berkata, ‘amin’. Terhinalah siapa yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya di masa tua, tetapi mereka tidak dapat menjadikannya (penyebab) masuk surga.’ Maka aku pun berkata, ‘amin’.

Orang yang berbahagia adalah mereka yang tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada untuk berbakti kepada orangtua, sebelum kelak menemui penyesalan ketika keduanya telah tiada. Adapun orang yang sengsara adalah mereka yang durhaka pada orangtua, terlebih ketika keduanya telah berusia lanjut.[1]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu.” (QS. Al-Isra [17]: 23).

Bukankah anak dituntut berbakti kepada orangtua dalam segala situasi? Tetapi mengapa ayat tersebut memberi batasan hanya ketika orangtua memasuki usia senja?

Pembaca budiman, setiap insan semakin mendekati usia tua, akan bertambah pilu, susah, menderita, menderita dan semakin kuat pada kerinduannya akan masa lalu. Kenangan-kenangan masa silam datang silih berganti, bermain di alam fikiran, bagaikan kabut yang menyelimuti puncak pegunungan. Rasa sesal memenuhi dada atas hati-hati di saat ia dalam keadaan sehat, ketika masih muda, pernah semangat dan kekuatan. Akan tetapi hari ini, semua hanya tinggal kenangan dan penyesalan. Siapa gerangan yang mampu berbagi rasa dan menghiburnya?

Sering orang yang berusia lanjut duduk dikerumuni orang, ia bertutur tentang masa lalu dengan selaksa pengalaman hidup. Anak-anak muda mendengar dan hanya mengerti bahwa yang bertutur pernah hidup di masa lalu. Pernah hidup dalam kepailitan dan kemelaratan. Namun, peristiwa itu tidak berarti sedikit pun bagi anak-anak muda itu. Ia merasa amat menderita lantaran bahwa orang-orang yang berkepentingan dengan kisahnya – generasi semasa dan teman-teman sejawat – telah berpulang ke rahmatullah dan pergi mendahuluinya. Meninggalkan dia sendirian di tengah-tengah kaum yang tidak peduli dengan dirinya, yang tidak peduli dengan bahasa dan kenangan masa silamnya. Bahkan, tidak jarang mereka menganggap pembicaraannya sebagai cerita tidak penting dan kisah usang.

#                      #                      #                      #

Kita ketahui bersama, setiap kali manusia bertambah umur dan menua, maka semakin bertambah penyakit dan derita; penyakit tua, atau barangkali tekanan darah tinggi, atau diabetes, atau punggung menjadi bongkok, dan kulit mengeriput. Dalam keadaan demikian, ia membutuhkan orang yang bisa mengurus dirinya dan menjaga perasaannya. Terkadang, ia marah karena alasan sepele dan tersinggung oleh sikap yang wajar dalam ukuran normal. Maka, ia membutuhkan lebih banyak perhatian, pemeliharaan dan penjagaan.



Di usianya yang lanjut, seseorang akan semakin merepotkan orang lain dan banyak bertanya tentang hal-hal yang tidak penting, sehingga barangkali seorang anak merasa bosan. Ia akan bertanya kepada siapa saja di sekelilingnya;

“Siapa yang mengetuk pintu?”

“Siapa yang datang?”

“Apa yang sedang kalian bicarakan?”

“Mengapa kalian tidak mengajakku berbicara?”

“Kau serahkan kepada siapa mobilmu?”

“Mengapa kau memakai mobil milik orang?”

“Aku melihatmu berkemas, kau hendak pergi ke mana?”

“Mengapa kau tidak pamitan saat meninggalkan rumah?”

“Mengapa engkau tidak mencium kepalaku dan tanganku seperti yang dilakukan anak si Fulan?”

“Mengapa engkau tidak bercerita kepadaku tentang persoalanmu dan meminta saranku?”

“Mengapa…mengapa…dan mengapa?”

Seorang anak yang tidak memiliki iman yang kuat, atau tidak memiliki cukup kesabaran atau yang tidak punya kelembutan dan belas kasih, akan membentak ayah atau ibunya yang tua itu, saat mendengar rentetan pertanyaan tersebut. Atau mungkin ia akan mengangkat tangan, seolah hendak menampar muka orangtuanya, atau berbuat sesuatu yang tidak pantas. Padahal anak wajib bersabar dan menahan diri di kala mendengar pertanyaan orang tuanya yang lanjut usia dan menjawab pertanyaan demi pertanyaan itu dengan lapang dada, menampakkan senyum kerelaan dan sukacita, seraya menenangkan perasaan orangtua. Jika seorang anak mampu bersikap demikian, tidak diragukan lagi, orang tuanya akan sangat menghargai. Lambat laun keadaan akan berubah dan kedekatannya pada orangtua akan mampu menjadi terapi untuk mengatasi berbagai persoalannya yang semula dianggap rumit.

#                      #                      #                      #

Kita memaklumi, orang yang memasuki usia senja akan kehilangan kemampuan untuk menyatakan eksistensi dirinya dalam kehidupan rumah tangga dibandingkan peran yang dilakukannya di masa lalu. Di saat ia menjadi pemimpin dalam rumah tangga, melakukan tugas-tugas yang biasa dilakukan oleh orang-orang terhormat dan punya harga diri berikut kedudukan. Menerima tamu, membantu meringankan beban kerabat atau sahabat, membesuk yang sakit atau bepergian untuk keperluan penting seperti takziah, memenuhi undangan resepsi pernikahan, silaturrahim atau mengunjungi kerabat. Semua dilakukannya tanpa meminta bantuan atau pendapat orang lain. Ia bertanggungjawab penuh atas keuangan rumah tangga dan nafkah keluarga.

Tanggungjawab dan kepemimpinan dalam kehidupan manusia, pada galibnya berada di tangan pihak “yang memberi”. Oleh karenanya, dalam persoalan ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka… (QS. An-Nisa [4]: 34)

Faktor inilah yang menyebabkan laki-laki menjadi pemimpinan wanita: sebab laki-laki lebih unggul dan lebih utama dibandingkan wanita. Keunggulan laki-laki atas wanita terlihat dalam beberapa bidang kehidupan, seperti dalam hal perwalian, kenabian dan kerasulan. Keistimewaan laki-laki atas wanita dalam persoalan ibadah seperti dalam masalah jihad, shalat hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) atau shalat Jum’at. Lain daripada itu, Allah memberi kelebihan laki-laki atas wanita dalam hal kematangan berfikir, kesabaran dan ketabahan. Demikian pula dalam hal pemberian nafkah dan kewajiban lainnya yang menjadi keistimewaan laki-laki atas wanita.

Inilah barangkali rahasia firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan karena (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (QS. An-Nisa [4]: 34). Objek (maf’ul) dalam kalimat tersebut sengaja disamarkan agar dapat difahami, bahwa nafkah yang dimaksud bersifat umum. Dari sinilah diketahui, laki-laki berkedudukan sebagai “wali” atau “tuan” bagi isterinya, sedangkan wanita adalah “pembantu” yang bertugas melayani suami, sebagaiman diperintahkan Allah.[2]

Demikianlah kedudukan laki-laki di hadapan wanita dalam persoalan nafkah. Tidak berbeda dengan kehidupan bermasyarakat yang sifatnya lebih luas; siapa yang membelanjakan kekayaan untuk kepentingan kemanusiaan, maka dia akan mendapat kedudukan terdepan, akan dijunjung tinggi dan dihormati. Tentunya hal itu bukan persoalan mudah. Dahulu, al-Mutanabbi mengatakan dalam syairnya;

Andai bukan karena rintangan,

Semua orang akan menjadi pemimpin

Kedermawanan itu jarang dan keberanian itu membinaskan.[3]

Tidak ada yang memiliki keberanian untuk berkorban, melainkan orang-orang yang berjiwa dermawan. Demikianlah seorang ayah hidup dengan jiwa besar yang menjadikannya bertahan duduk di atas singgasana kedermawanan dan menafkahkan kekayaannya untuk keluarga serta kerabatnya.

Hari ini, ia berada dalam situasi yang dilematis; ia mendapati dirinya tanpa daya untuk berbuat sesuatu dan tanpa orang yang memberi pertolongan. Ia menyimpan selaksa harapan pada anak-anaknya; andai saja mereka menyadari persoalannya kemudian atas inisiatif sendiri mereka dengan sukarela menjaga kedudukan dan harga diri sang ayah. Jika anak bersikap acuh pada keadaan ayah, maka tak ayal, gejala-gejala kegalauan, duka, kecemasan, pertentangan batin akan menjangkiti jiwa sang ayah.

Terlebih bila ayah adalah orang yang berkedudukan tinggi di masa lalu dan orang yang menjunjung tinggi etika, maka ia akan merasa malu untuk mengadukan dilema hidupnya pada anak. Tak pelak lagi, ia hidup dalam kegelisahan, terasing dan tersisih dari kehidupan rumah tangga, dimana ia pernah menjadi pemimpinnya di masa lalu. Adakalanya anak ingin berbakti kepada orang tua, namun ia keliru dalam bersikap. Atau barangkali, ia akan berkata kepada seorang ayah;

“Wahai ayah, mengapa engkau repot-repot menanyakan siapa yang mengetuk pintu, tentang siapa yang datang dan pergi? Andai saja aku menjadi dirimu, aku tidak akan ikut mencampuri urusan-urusan seperti itu. Aku akan konsentrasi beribadah, menyibukkan diri dengan ibadah, dan tidak memikirkan hal lain.” Bisa juga si anak berkata, “Jika aku telah menjadi tua renta seperti engkau, aku akan menggelar alas sembahyang di atas lantai dan aku tambatkan dengan pasak, kemudian aku ikat kakiku dengan tambang pada pasak itu hingga aku tidak dapat berbuat lain, kecuali beribadah pada Allah dan hatiku akan tenteram!”

Tentu, mendengar ungkapan demikian dari sang anak, hati orangtua akan terluka, perasaannya akan tersayat, dan orang tua akan merasa bahwa dirinya menjadi beban bagi penghuni rumah. Mereka sekedar menanti saat ajal menjemput! Dalam keadaan demikian, batin orangtua akan hancur dan rasa tak berdaya menyusup ke dalam jiwa. Kita kemudian membawa ayah ke dokter atau ibu ke bidan atau kepada siapa saja yang dapat memberi pengobatan, padahal sebenarnya mereka tidak menderita apapun yang memerlukan pengobatan. Penyakit itu justru datang dari diri kita. Karena mereka merasa tersisih, sebab kita salah dalam bersikap.

Seorang pujangga mengatakan;

Maksud hati membawa kebajikan,

Apa daya derita yang datang

Acapkali kebaikan berbuah durhaka[4]

  1. Al-Qurthubi, al-Jami’li Ahkam al-Qur’an, tafsir surat al-Isra’ ayat ke-23.
  2. Tafsir Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di, surat an-Nisa’
  3. Diwan al-Mutanabbi, hal 490.
  4. Syair ini, menurut satu pendapat, adalah gubahan Imam Syafi’i.

Sumber: Kitab Keramat Hidup : Orang Tua, Musa bin Muhammad Hajjad az-Zahrani 

Share this post

PinIt
scroll to top