Berbakti Kepada Orangtua adalah Ajaran Para Nabi

Ilustrasi. (Foto : emailday.blogspot.com)

Ilustrasi. (Foto : emailday.blogspot.com)

Syahida.com – Berbakti kepada orang tua adalah ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para nabi terdahulu yang disampaikan melalui perkataan dan perbuatan nyata. Penjelasan Rasulullah berupa perkataan tentang masalah ini telah disinggung di atas. Ajaran berbakti pada orang tua berupa perbuatan Rasulullah dapat dilihat dalam kisah berikut.

Dalam suatu perjalanan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melewati makam ibunya, Aminah binti Wahb di Abwa’, perkampungan yang terletak di antara Mekkah dan Madinah. Dalam perjalanan tersebut, tepatnya saat Perang Hudaibiyyah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam didampingi para sahabat dan tentara yang terdiri dari seribu penunggang kuda. Rasulullah berhenti dan menghampiri makam ibunya. Rasulullah menangis dan sungguh orang-orang yang ada di sekitarnya pun ikut menangis. Seraya terisak, beliau berkata, “Aku telah memohon izin pada Tuhanku agar aku memohonkan ampunan untuknya, tetapi Dia tidak mengizinkan aku. Aku memohon izin untuk berziarah ke makam ibuku lalu Dia mengizinkan aku. Maka berziarah kuburlah, sebab kubur menyadarkan kalian pada akhirat.” (HR. Muslim).

Perhatikanlah bagaimana penghulu para nabi, pemimpin orang-orang hanif (menganut ajaran agama yang lurus), dan kekasih Allah, Ibrahim Alaihissalam, berbicara kepada ayahnya dengan cara yang halus dan lemah lembut, meskipun sang ayah kafir. Ia memanggilnya dengan panggilan “ayahandaku”, menyerunya untuk menyembah Allah Yang Maha Esa, dan tidak menyekutukan Dia dengan apapun. Namun, ketika sang ayah berpaling dan mengancam untuk memukul dan mengusir dirinya, Ibrahim hanya berkata,

“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu. Aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.”(QS. Maryam [19]: 47).

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memuji Yahya, putra Zakariyya Alaihissalam, dalam firman-Nya, “Dan seorang yang berbakti kepada kedua orangtuanya dan bukanlah dia orang yang sombong lagi durhaka.” (QS. Maryam [19]: 14)[1]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Isra’ [17]: 23-24).

Ayat di atas ditujukan kepada kita semua. Meski ayat tersebut diturunkan kepada Rasulullah, namun obyek utama kandungan ayat ini adalah kita. Sebab, ketika ayat ini turun, Rasulullah tidak lagi berayah dan beribu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara kepada kita melalui perantaraan panutan kita, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dengan demikian firman Allah di atas ditujukan kepada seluruh umat.

Dalam ayat tersebut Allah berbicara kepada anak, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Wahai anak manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kedua orangtuamu sebagai faktor penyebab kehadiranmu dalam hidup ini! Tidakkah engkau menghargai karunia besar ini secara layak? Sekarang, ketika engkau bergelimang kebahagiaan dan kesuksesan, tidakkah terbesit dalam benakmu; di masa lalu dirimu bukanlah apa-apa. Namun kedua orang tuamu meraih tanganmu, membawamu ke cakrawala kehidupan dengan penuh susah payah, tanpa seorang pun mengetahui, selain Allah!



Bapak dan ibumu terjaga di tengah malam agar engkau bisa tidur pulas. Keduanya menangis agar engkau bisa tertawa, keduanya rela kelaparan asal dirimu kenyang, dan keduanya amat berbahagia dengan sekadar memeluk dan menciummu! Orangtuamu tidak pernah merasa bosan menjaga kebersihan badanmu. Ibumu membersihkan kotoranmu dengan rasa senang hati tanpa rasa jijik. Bahkan, ayahmu tidak jarang harus mengurung niatnya menelan sesuap nasi untuk disuapkan ke dalam mulutmu, dan itu dilakukannya dengan penuh sukacita. Tidakkah engkau menyadari hal itu? Ataukah engkau tidak ingin menyadarinya?

Mengomentari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu.. ” (Al-Isra [17]: 23), Imam al-Qurthubi mengatakan, “Al-Qur’an menegaskan bahwa saat memasuki usia senja, orang tua sangat membutuhkan bantuan anak, sebab ia merasa dirinya semakin lemah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Al-Qur’an mewajibkan seorang anak untuk lebih peduli kepada orang tua yang sudah berusia lanjut, orang tua menjadi tanggung jawab anak. Seorang anak wajib memenuhi kebutuhan orang tua seperti ketika mereka memenuhi kebutuhannya semasa kecil. Oleh karena itu, penyebutan orang tua lanjut usia mendapat prioritas utama dalam ayat tersebut.

Seseorang yang hidup bersama orang tua dalam waktu yang lama biasanya melahirkan rasa berat hati bosan dan kekhawatiran. Dalam kondisi ini, tidak jarang seorang anak menumpahkan kekesalan dan kemarahan pada orangtua. Tingkat terendah dari perilaku buruk yang dilarang oleh agama adalah menumpahkan dan mengungkapkan kekesalan dengan nafas sengau (perkataan “ah”). Anak diperintahkan untuk menyikapi orangtua dengan perkataan yang mulia atau kata-kata yang tidak mengandung keburukan. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra [17]: 23).

Abu Hurairah radhiyallahu anhu meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Terhinalah dia, terhinalah dia, terhinalah dia!” Para sahabat bertanya, “Siapakah gerangan dia wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Siapa yang mendapati salah seorang dari ibu bapaknya atau keduanya di usia lanjut, namun keduanya tidak dapat menjadikan dirinya masuk surga.” (HR. Muslim)

Abu Hurairah radhiyallahu anhu menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Terhinalah orang yang tidak bershalawat kepadaku saat namaku disebut di hadapannya. Terhinalah orang yang mendapati ayah dan ibunya atau salah seorang di antara keduanya di usia lanjut namun keduanya tidak menjadikan (penyebab) dirinya masuk surga. Terhinalah orang yang mendapati bulan Ramadhan, namun dosanya tidak diampuni hingga bulan itu berlalu. (HR. Bukhari).

Sa’ad bin Ishaq bin Ka’ab bin ‘Ujrah as-Salimi meriwayatkan bahwa Ka’ab bin ‘Ujrah menuturkan, “Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan, ‘Siapkalah mimbar!’ Ketika Rasulullah menaiki mimbar, di tangga pertama beliau berkata, ‘amin’, di tangga kedua beliau pun berkata, ‘amin’. Seusai Rasulullah khutbah dan menuruni mimbar, kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sungguh kami mendengarmu mengatakan sesuatu yang belum pernah kami dengar sebelumnya.’ Rasulullah bertanya, ‘Benarkah kamu sekalian mendengarnya?’ ‘Benar’, jawab kami. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Jibril menghadangku seraya berkata, ‘Jauh (dari rahmat Allah) orang yang hadir dalam bulan Ramadhan, namun dosanya tiada diampuni. Maka, aku mengatakan, ‘amin’. Ketika aku menginjak tangga kedua, Jibril berkata, ‘Jauh (dari rahmat Allah) orang yang ketika namamu disebut di hadapannya, tetapi dia tidak mengucapkan shalawat atas dirimu. Aku pun berkata, ‘amin’. Dan ketika aku menaiki tangga ketiga, Jibril berkata, ‘Jauh (dari rahmat Allah) siapa yang mendapati kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya di masa tua, tetapi mereka tidak dapat menjadikannya (penyebab) masuk surga.’ Maka aku pun berkata, ‘amin’.’’ [Syahida.com]

  1. Syaikh Khalid bin ‘Abdurrahman asy-Syayi, Wujub Birr al-Walidain wa at-Tahdzir min ‘Uquqihima (Riyad: Dar al-Wathan).

Sumber: Kitab Keramat Hidup : Orang Tua, Musa bin Muhammad Hajjad az-Zahrani 

Share this post

PinIt
scroll to top