Inilah Kisah Bakti Para Ulama Kepada Orangtua

ortu17Syahida.com –  Ulama adalah pewaris para nabi. Mereka mewarisi ilmu, cahaya, jalan hidup yang lurus, dan petunjuk yang mulia. Mereka taat menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tertuang dalam firman-Nya,

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Isra [17]: 23-24).

Mereka juga meneladani hadist Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti hadist yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku bertanya kepada Nabi Shallallah ‘Alaihi wa Sallam, ‘Amal apa yang paling dicintai Allah?’ Nabi Shallallah ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Shalat pada waktunya.”  Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Nabi Shallallah ‘Alaihi wa Sallam  menjawab, ‘Berbakti kepada orangtua.’ ‘Kemudian apa?’, tanyaku. Nabi menjawab, “Jihad fi sabilillah’.” (HR. Bukhari-Muslim)

Nilai penting bakti kepada orangtua (birrul walidain) banyak dilalaikan oleh umat manusia, bahkan sebagian orang tega melakukan berbagai perbuatan durhaka. Mengetengahkan perilaku ulama ketika bergaul dengan orangtua diharapkan dapat membahagiakan perasaan, untuk selanjutnya perilaku tersebut diteladani dan dijadikan pedoman hidup. Meski mereka orang yang sangat sibuk dan memiliki banyak tugas serta tanggungjawab terhadap umat.

Syaikh Hamud bin ‘Abdullah at Tuwaijiri bersamaan dengan kedudukannya yang tinggi dalam masyarakat dan keluasan ilmunya adalah seorang anak yang amat berbakti kepada orangtua. Dialah yang secara langsung mengurus segala keperluan sang ibu dan tidak seorang pun boleh melakukan sesuatu bagi kepentingan ibunya, meskipun ibunya mempunyai banyak anak dan cucu. Dia yang mencuci pakaian ibunya sebagai wujud bakti dan kebajikan kepada ibu, semoga Allah merahmati keduanya!

Syaikh ‘Andurrahman bin Nashir al-Barrak, seorang yang berkedudukan tinggi, berilmu, dan banyak muridnya adalah orang yang banyak berbakti kepada sang ibu! Para murid yang sedang belajar kepadanya terheran-heran. Jika pelajaran berlangsung agak lama, sekonyong-konyong sang guru berdiri dan pergi beberapa saat. Orang mengira Syaikh al-Barrak, lazimnya orang sudah tua, wudhunya batal dan hendak bersuci. Namun, ia tidak pergi berwudhu melainkan pergi untuk melihat keadaan ibunya yang berada di rumah yang tidak jauh dari tempat ia mengajar untuk menanyakan keadaan dan keperluan sang ibu. Ia berbicara sejenak dengan ibunya, menghiburnya, kemudian kembali ke majelis.

Syaikh al-Barrak tidak bepergian, baik untuk menunaikan ibadah haji atau untuk keperluan lain, kecuali setelah meminta izin dahulu kepada ibunya. Ia berangkat setelah sang ibu mengizinkan, jika tidak, maka ia mengurungkan keberangkatannya, dan itu terjadi beberapa kali. Sang ibu mengizinkan agar anaknya selalu berada di dekatnya, ia tidak mengizinkan anaknya untuk menunaikan haji sunnah, dan Syaikh al-Barrak pun menuruti permintaan ibunya.

Jika hendak pergi ke masjid untuk shalat, ia selalu memberitahu ibunya. Syaikh al-Barrak selalu berusaha keras memenuhi keperluan sang ibu, siang dan malam, meskipun ia sendiri buta dan telah berusia lanjut. Bukti atas semua itu adalah Syaikh al-aBarrak senantiasa tidur di samping ibunya!



Saya juga ingin bercerita perihal ayah saya. Ayah saya setiap hari berjalan kaki dari rumahnya di Riyadh ke perkebunan kakek kami melalui jalan berpasir, yang jaraknya bila ditempuh keadaan roda empat memakan waktu kurang lebih satu setengah jam. Tujuannya untuk memberikan suntikan kepada kakek kami yang tengah menderita sakit. Usai mengobati kakek, ia kembali ke Riyadh. Perjalanan pulang pergi dengan berjalan kami memerlukan waktu tidak kurang dari tiga jam. Pekerjaan tersebut dilakukannya setiap hari selama beberapa tahun.

Seseorang berkata kepada ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali, alias Zainal ‘Abidin, “Engkau adalah orang yang banyak berbuat kebajikan kepada ibumu, tetapi tidak sekalipun aku melihatmu makan bersama ibumu!” Zainal ‘Abidin menjawab, “Aku khawatir tanganku akan mengambil makanan yang telah diidamkan oleh ibuku. Dengan begitu aku telah durhaka padanya.”

Demikian halnya dengan Haiwah bin Syuraih, salah seorang ulama besar. Ketika Haiwah sedang mengajar, sang ibu memanggilnya, “Berdirilah Haiwah, sebarkan gandum untuk ayam jantan itu!” Dia bangkit dan menghentikan pelajarannya. Betapa indahnya orang yang memahami ajaran agama. Ilmu agama mengangkat martabat seseorang ke derajat yang amat tinggi!

Hisyam bin Hassan menuturkan bahwa ia mengatakan kepada al-Hasan, “Aku harus belajar al-Qur’an, tetapi ibu menantiku untuk makan malam.” Lalu al-Hasan menjawab, “Makan malam bersama ibumu sehingga hatinya bersuka cita lebih aku sukai daripada ibadah haji sunnah.”

Karena besarnya pahala yang dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang yang memberikan hak dan berbuat kebajikan kepada orangtua, al-Harits al-‘Akli menangis meratapi jenazah sang ibu. Seseorang bertanya, “Mengapa engkau menangis?” Al-Harits menjawab, “Bagaimana aku tidak menangis, salah satu pintu surga yang selama ini terbuka kini telah ditutup!” Seorang ulama berkata, “Siapa yang meninggalkan orangtuanya demi mencari nafkah atau untuk keperluan yang mendesak, hendaknya ia memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas dosanya meninggalkan orangtua.”

Perhatikan, begitu besar perhatian para ulama terhadap perintah berbakti kepada orangtua. Al-Muhairiz berkata, “Siapa yang berjalan mendahului ayahnya, maka ia telah durhaka, kecuali untuk tujuan menyingkirkan suatu yang berbahaya dari jalan. Siapa yang memanggil ayahnya dengan menyebut namanya atau julukannya, maka ia telah durhaka, kecuali bila ia memanggilnya dengan sebutan ‘bapak’!”

Betapa agung Islam sebagai agama dan pedoman hidup, yang mengajarkan kasih sayang dan pemenuhan hak dan kewajiban. Agama yang mewajibkan setiap orang untuk berbakti kepada orangtua dan berinteraksi dengan orangtua dengan cara yang makruf, selama mereka masih ada di dunia, bahkan meski keduanya kafir.

Dalam Ahkam al-Qur’an, Abu Bakar al-Jashshash menulis; “Guru-guru kami berpendapat tentang seorang muslim yang ditinggal mati oleh orangtuanya yang kafir. Ia boleh memandikan, mengantar jenazahnya ke kubur dan memakamkannya, karena hal tersebut termasuk dalam perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mempergauli orangtua secara makruf.”

Ya Allah, kami memohon kepada-Mu kebajikan bagi ayah dan ibu kami. Ampunilah dosa-dosa kami atas kelalaian kami dalam menunaikan hak-hak orangtua, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemurah lagi Mahamulia.”[1]

#                      #                      #                      #

Itulah sekilas tentang bakti para ulama kepada orangtua. Penuturan kalangan pembesar dan pemimpin dunia – yang mendapat hidayah Allah – juga memerlukan waktu yang panjang untuk menuturkannya. Salah seorang menteri zaman ini, menuturkan, “Jangan mengira aku hidup seperti menteri dalam rumah tanggaku. Saat aku di rumah, aku tidak lebih dari seorang anak yang berkewajiban menjaga perasaan orangtua, khususnya ayahku yang telah berusia lanjut, persis seperti untaian bait penyair berikut;

Aku belajar meraih keridhaan, karena khawatir terkena murkanya…[2]

Setiap pagi, saat aku hendak berangkat ke kantor kementerian, ibuku memanggilku, “Kemari, nak!” Aku menghampiri ibuku, mencium kening dan kepalanya. Seperti biasa, dia bertanya kepadaku, “Engkau hendak ke mana?” Aku menjawab dengan lembut hingga ibuku merelakan aku pergi dan ia mengerti bahwa aku akan pergi ke kantor. Ketika pulang, aku melakukan hal yang sama. Aku merasa amat berbahagia.

#                      #                      #                      #

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku masih kecil.” (QS. Al-Isra [17]: 24)

Rendahkan dirimu di hadapan orangtua dengan penuh kasih, kelembutan, patuh, dan sikap mulia. Karena keduanya telah memasuki usia senja dan tubuhnya semakin lemah. Selama ini mereka telah mengerahkan segenap kemampuan, kesehatan dan kekayaan untuk mendidik dan memeliharamu. Perhatikanlah firman Allah,

Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu… (QS. Al-Isra [17]: 23)

Ayat di atas menyimpan makna harapan orangtua terhadap anaknya akan perlindungan, penjagaan, dan pemenuhan kebutuhan. Tugas orangtua telah purna, peran keduanya telah usai, dan sekarang tiba giliran Anda. Tugas Anda tidak lebih dari apa yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala,

Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Al-Isra [17]: 23) [Syahida.com]

Sumber: Kitab Keramat Hidup : Orang Tua, Musa bin Muhammad Hajjad az-Zahrani 

Share this post

PinIt
scroll to top