Apa Saja Adab-Adab Saat Buang Air?

Ilustrasi. (Foto : pipaku.com)

Ilustrasi. (Foto : pipaku.com)

Syahida.com – Terdapat beberapa sopan santun yang mesti dilakukan bagi seseorang yang ingin membuang air besar atau air kecil. Hal ini dapat disimpulkan sebagai berikut.

a. Tiada membawa barang yang memuat nama Allah, kecuali bila dikhawatirkan akan hilang atau tidak terdapat tempat menyimpan barang berharga.

Hal ini berdasarkan hadits Anas r.a., “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Memakai cincin yang memuat ukiran ‘Muhammad Rasulullah’. Jika beliau masuk ke dalam jamban, maka ia ditanggalkan di luar.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Timidzi). Menurut al-Hafizh, hadits ini ma’lul yang berarti cacat, sedangkan Abu Dawud menyatakan munkar. Akan tetapi, bagian pertama dari hadits ini adalah shahih.

b. Menjauhkan dan menyembunyikan diri dari penglihatan manusia, terutama pada waktu buang air besar, agar tidak kedengaran suara atau tercium baunya.

Hal ini berdasarkan hadits Jabir r.a., “Kami bepergian bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan beliau tidak membuang air besar, kecuali bila sudah berada di tempat sepi dan jauh dari penglihatan orang banyak. (HR. Ibnu Majah).

Menurut riwayat Abu Dawud, “Apabila Nabi saw ingin pergi membuang air besar, beliau pun pergi sejauh-jauhnya hingga tidak terlihat oleh seorang pun.” Menurut riwayatnya lagi, “Apabila Nabi saw mencari tempat buang air, beliau pun mencari tempat yang sangat jauh.”

c. Membaca basmalah dan isti’adzah dengan suara keras pada saat ingin masuk ke dalam jamban. Ketika itu, hendaklah seseorang mengangkat pakaian jika buang air di lapangan terbuka.

Hal ini berdasarkan hadits Anas r.a., “Apabila Nabi saw hendak masuk jamban, beliau pun membaca, “Dengan nama Allah! Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari godaan setan, baik setan laki-laki maupun setan perempuan.” (HR. Jama’ah)



d. Semasa berada di dalam jamban, seseorang tidak diperkenankan berbicara sama sekali, baik berupa zikir maupun lainnya. Oleh karenanya, ia tidak perlu menyahut ucapan salam atau azan. Terkecuali jika ada sesuatu yang teramat penting sekali, seperti memperingatkan orang buta yang dikhawatirkan akan jatuh.

Jika seseorang yang berada di dalam jamban bersin, hendaklah memuji Allah dalam hati tanpa melafadkan pujian dengan suara pada lidah. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar r.a, ‘Seorang laki-laki lewat di sisi Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, sedangkan beliau pada saat itu sedang buang air kecil. Laki-laki itu mengucapkan salam kepadanya. Nabi pun tidak menyahutnya.” (HR. Jama’ah kecuali Bukhari).

Abu Sa’id r.a berkata, “Nabi saw bersabda, ‘Jangan sampai ada dua orang laki-laki masuk ke dalam jamban, lalu keduanya sama-sama membuka aurat sambil bercerita, sebab Allah mengutuk perbuatan yang demikian itu!” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Pada zahirnya, hadits tersebut menyatakan hukum haram berkata-kata atau bercerita-cerita, tetapi ijma’ ulama mengalihkan larangan haram itu kepada makruh.

e. Hendaklah seseorang menghargai kiblat, sehingga tidak menghadap ke arahnya atau membelakanginya. Dalilnya ialah hadits Abu Hurairah r.a, ‘Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Jika salah seorang di antara kamu duduk dengan maksud hendak buang hajat, maka janganlah kamu menghadap ke kiblat atau membelakanginya.” (HR. Ahmad dan Muslim).

Larangan tersebut bermaksud hukum makruh, sebagaimana keterangan hadits Ibnu Umar r.a., “Pada suatu hari, saya datang ke rumah Hafshah. Lalu saya melihat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang buang hajat sambil menghadap ke arah Syam dan membelakangi Ka’bah.” (HR. Jama’ah).

Akan tetapi, kedua keterangan hadits tersebut dapat dikombinasikan bahwa larangan haram itu hanya berlaku ketika membuang hajat di lapangan terbuka, sedangkan jika membuang hajat di dalam ruangan tertutup maka boleh menghadap ke arah mana saja. Inilah pendapat yang lebih kuat (rajih). Marwa al-Ashghar berkata, “Saya melihat Ibnu Umar menghentikan kendaraannya ke arah kiblat dan kemudian kecing menghadap ke arah itu. Saya pun berkata, “Hai Abu Abdurrahman! Bukankah itu terlarang?” “memang”, ujarnya, “tetapi ini hanya dilarang di lapangan terbuka. Oleh sebab itu, jika terdapat penghalang antara kamu dan kiblat, maka tidaklah mengapa ke atasmu membuang hajat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan Hakim. Sanadnya hasan sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab Fat-hul-Bari)

f. Mencari tempat yang lunak dan rendah untuk menjaga agar najis tidak menimpa dirinya.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Musa r.a, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pergi ke tempat yang rendah di samping pagar, lalu beliau membuang air kecil. Beliau bersabda, ‘Jika salah seorang di antara kamu buang air kecil, maka hendaklah ia memilih tempat yang lebih rendah untuk itu.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Hadits ini, walau terdapat seorang perawi yang tidak dikenal, tetapi artinya sahih atau benar)

g. Menjauhi lubang supaya tiada menyakiti hewan-hewan yang mungkin ada di sana karena terdapat hadits Qatadah dari Abdullah bin Sarjis yang menegaskan, “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang kencing di lubang.” Mereka bertanya kepada Qatadah, “Mengapa dilarang kencing di lubang?” Jawabnya, “Karena itu adalah tempat kediaman jin.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Abu Dawud, Hakim, dan Baihaqi. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Sakkin menyatakannya sebagai hadits shahih)

h. Hendaklah menjauhi tempat orang bernaung, jalanan, dan tempat persinggahan mereka karena terdapat hadits Abu Hurairah r.a., “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Hindarilah agar orang lain tidak mengutuk Anda!’ Para sahabat bertanya, ‘Siapakah yang dimaksud dengan mereka, wahai Rasulullah?’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Yaitu orang yang membuang air di jalanan atau di tempat orang lain bernanung.’” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Dawud)

i. Tidak boleh membuang air kecil di tempat mandi, tempat air yang tergenang atau air mengalir karena berdasarkan hadits Abdullah Ibnu Mughaffal r.a., “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda, ‘Janganlah salah seorang di antara kamu membuang air kecil di tempat mandi, kemudia ia berwudhu di tempat itu. Karena pada umumnya was-was atau godaan setan itu berasal dari sana.’(HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, dan Tirmidzi, tetapi kalimat “kemudian ia berwudhu di tempat itu” hanya terdapat dalam riwayat Ahmad dan Abu Dawud).

Jabir r.a berkata, “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang buang air kecil di tempat air yang tergenang.” (HR. Ahmad, Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah).

Kata Jabir r.a pula, “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang membuang air kecil di tempat air yang mengalir.(Menurut pengarang kitab Majma’uz Zawaid, hadits ini diriwayatkan Thabrani dan para perawinya dapat dipercaya). Di samping itu, dilarang membuang air kecil di tempat mencuci dan sebagainya.

j. Tidak boleh kencing sambil berdiri karena bertentangan dengan sopan santun dan adat yang baik, di samping itu demi menghindari diri daripada percikannya. Seandainya percikan air kencing itu dapat dipastikan tidak akan terkena dirinya maka tidak ada halangan baginya untuk melakukannya.

Aisyah r.a mengatakan, “Barangsiapa yang menyatakan bahwa Rasulullah saw pernah kencing sambil berdiri maka janganlah dipercaya kata-kata itu! Beliau tidak pernah kencing dalam keadaan berdiri, bahkan bila ingin buang air kecil, beliau pun duduk.” (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, Timirdzi, dan Ibnu Majah, kecuali Abu Dawud. Menurut Tirmidzi, hadits ini merupakan hadits terbaik dalam masalah ini dan merupakan yang paling sahih).

Ucapan Aisyah tersebut adalah berdasarkan apa yang diketahuinya sepanjang hidup bersama Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Oleh karenanya, keterangan Aisyah tersebut tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan dari Huzaifah r.a., “Ketika Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai di sebuah kaki bukit di daerah suatu kaum, beliau pun buang air kecil sambil berdiri. Aku pun pergi menjauh, tapi Nabi mengatakan, ‘Mendekatlah ke mari!’ Aku pun mendekat hingga berdiri berdekatan dengan tumitnya. Lalu aku melihat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berwudhu dan menyapu kedua sepatunya.” (HR Jama’ah).

Nawawi mengatakan, “Kencing sambil duduk merupakan perbuatan yang kusenangi tetapi jika seseorang kencing sambil berdiri, maka demikian tetap diperbolehkan. Kedua keterangan ini pernah dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.”

k. Wajib menyucikan najis yang terdapat pada kedua kemaluan, baik bersuci dengan batu maupun dengan benda-benda yang serupa, seperti benda beku yang suci lagi dapat menghilangkan najis serta tidak dihormati, atau mencuci dengan air, atau bersuci dengan menggunakan benda beku dan air secara sekaligus.

Hal ini berdasarkan hadits Aisyah r.a, “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda, ‘Jika salah seorang di antara kamu pergi untuk membuang air, maka hendaklah beristinja’ (bersuci) dengan tiga buah batu karena demikian itu sudah mencukupi.’(HR Ahmad, Nasa’i, Abu Dawud dan Daruquthni).

Anas r.a berkata, “Ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke dalam jamban maka aku bersama seorang anak-anak yang sebaya denganku membawa setimba kecil air dengan gayung, maka ia pun bersuci dengan air yang kami bawa itu.” (Kesahihan hadits ini disepakati oleh ulama hadits).

Ibnu Abbas r.a berkata, “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melewati dua buah kubur, beliau bersabda, ‘Kedua penghuni kubur ini sedang disiksa. Sebab siksaannya bukanlah disebabkan melakukan dosa besar. Salah seorang di antaranya ialah karena tidak mau bersuci dari kencingnya, sedang yang satu ini disebabkan suka melakukan adu domba.’” (HR Jama’ah). Anas r.a meriwayatkan hadits marfu’, “Bersucilah dari air kencing, karena pada umumnya semua siksa kubur berpangkal dari masalah ini!”

l. Tidak boleh bersuci dengan tangan kanan demi menjaga kebersihannya daripada menyentuh kotoran. Dalilnya adalah hadits Abdurrahman bin Zaid, “Salman pernah ditanya, ‘Apakah Nabimu telah mengajarkan kamu segala sesuatu sehingga dalam masalah kotoran?’ Salman menjawab, ‘Memang betul! Kami dilarang menhadap kiblat pada saat buang air besar atau kencing. Kami dilarang bersuci dengan tangan kanan, bersuci dengan batu yang kurang daripada tiga buah, bersuci dengan barang najis atau bekas tulang.’” (HR Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi).

Hafshah r.a berkata, “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu menggunakan tangan kanannya untuk makan, minum, berpakaian, memberi dan menerima, sementara tangan kirinya untuk perkara selain itu.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Hakim, dan Baihaqi)

m. Menggosok tangan dengan tanah setelah bersuci, mencucinya dengan sabun, atau benda-benda yang serupa, agar bau busuk yang melekat pada tangan hilang.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a, “Apabila Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pergi ke jamban, maka akulah yang membawakan air dengan bejana yang terbuat dari tembaga atau kulit. Beliau pun bersuci, lalu menyapukan kedua tangannya ke tanah.” (HR Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi, dan Ibnu Majah)

n. Memercikkan air pada kemaluan dan celananya jika sesudah kencing. Tujuannya adalah menghilangkan was-was di dalam hati, sehingga nantinya apabila terdapat bagian yang basah, maka ia menemukan alasan bahwa itu adalah bekas percikan air.

Hal ini berdasarkan hadits Hakam bin Sufyan atau Sufyan bin Hakam r.a., “Apabila Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam buang air kecil, beliau berwudhu dan memercikkan air.” Dalam suatu riwayat lain, “Saya melihat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam buang air kecil, kemudian beliau memercikkan air pada kemaluannya.” (Biasanya, Ibnu Umar menyiramkan air pada kemaluannya hingga celananya basah).

o. Mendahulukan kaki kiri pada saat hendak masuk ke dalam jamban. Kemudian apabila ingin keluar, maka dahulukanlah dengan kaki kanan dan membaca, “Ghufranaka”, yang artinya, “Aku mohon keampunan-Mu.”

Aisyah r.a berkata, “Apabila Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar dari jamban, beliau membaca ‘Ghufranaka.’” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah, kecuali Nasa’i. Hadits Aisyah ini adalah hadits yang paling sahih dalam masalah ini dan kesahihannya diakui Abu Hatim).

Diriwayatkan dari berbagai sanad yang dhaif atau lemah, “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dariku penyakit dan Dia telah menyehatkan diriku.’ Terkadang beliau juga membaca doa berikut , ‘Segala puji bagi Allah yang telah merasakan kelezatannya kepadaku, meninggalkan kekuatannya kepadaku, dan melenyapkan penyakitnya dariku.’”  [Syahida.com]

Sumber : Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, Penerbit Pena  

Share this post

PinIt
scroll to top