Nikah Paksa Dalam Islam; Sebuah Pesan untuk Orangtua dan Anak

Oleh: Ust. Nouman Ali Khan

Ilustrasi. (Foto: telegraph.co.uk)

Ilustrasi. (Foto: telegraph.co.uk)

Syahida.com – Pada kesempatan ini saya ingin berbagi dengan Anda tentang prinsip dasar agama kita yang sering diabaikan. Allah SWT berfirman, “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. Annisa: 1)

Lalu Allah SWT tambahkan, ‘wal arhama (dan peliharalah hubungan silaturahim)’, jadi, “bertaqwalah” di sini juga mengandung arti berhati-hati pada yang berhubungan dengan rahim. Maksudnya adalah kita harus menghormati semua hal yang berhubungan dengan rahim. Karena itulah dalam Islam kita sangat menghormati ibu kita dan semua keluarga kita.

Hubungan dengan rahim dimulai dengan pernikahan, seperti Adam a.s. Karena itu di awal ayat ini, Allah berfirman, “…….bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya.” Ayat ini dimulai dengan membahas pernikahan karena itulah ayat ini sering dibacakan di khutbah pernikahan oleh Nabi SAW, juga pada hampir tiap pernikahan yang Anda datangi, Anda akan dengar ayat ini dibacakan. Maksud saya adalah, hubungan suami istri itu sakral. Itu hal yang sangat kuat. Allah berfirman bahwa itu adalah kalimat yang sangat kuat di surat yang sama. “…..Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (Wa kayfa tak khudzuuna waqod afdho ba’dhukum ilaaba’dhin wa akhadzna minkum miitsaqon gholizhon). (QS. Annisa : 21)
“Wanita ini menerima darimu (suaminya) perjanjian yang sangat berat dan serius.” Itu kalimat yang luar biasa. Anda mungkin berpikir kuasa pernikahan sepenuhnya ada di tangan pria, di mana jika  seorang pria setuju menikah dengan wanita ini. Tapi sebenarnya ayat ini menggunakan kata  ‘akhadzna’, dan bukan ‘akhadztum min hunna’ (artinya, ‘kamu menerima perjanjian dari mereka’).

Akhadzna‘ artinya, ‘mereka menyetujui kontrak denganmu, membuatmu bertanggung jawab atas mereka’. Jadi maksudnya adalah, merekalah yang membuat keputusan ‘akhadzna minkum miitsaqon gholizhon’, berarti mereka punya hak memilihmu sebagai suami dan negosiasi mahar dan perjanjian nikah.

Saya membahas hal ini karena sayangnya di banyak lingkungan Islam, prinsip memberi hak pada wanita untuk menikahi siapapun yang dia mau, telah dirampas darinya. Orangtua berpikir mereka tahu yang terbaik, sedangkan anak mereka tak tahu apapun, jadi terungkap kata, “Saya akan menikahkan putri saya dengan siapapun yang saya pikir baik untuknya, entah dia suka orang itu atau tidak. Jika dia tidak mau, berarti dia bodoh, lalu saya akan memarahinya dan dia akan meyerah karena dia tidak tahu apa-apa.”

Dengan tidak memberi putri kita hak untuk membuat keputusan atau setidaknya membiarkan mereka mempertimbangkan sendiri tanpa tekanan psikologis yang kita bebankan kepada mereka, sebagaimana yang biasa dilakukan orangtua. Yang sering terjadi, ketika ada lamaran datang, lalu orangtua mengatakan, “Kamu gemuk, jelek dan pendek, siapa yang mau menikahimu? Orang ini datang, setidaknya kamu beruntung dapat lamaran. Nikahi saja dia dan lupakan segalanya.” Mereka tidak peduli pada kebahagiaan puterinya, dan mereka malah menganggapnya sebagai beban keluarga karena punya putri yang belum menikah dan semakin tua. Jadi siapapun yang datang, langsung diterima. Ini adalah situasi yang memprihatinkan. Banyak wanita yang menikahi pria yang dia tidak ingin nikahi.

Kadang sebaliknya. Bahkan ada pria yang dipaksa menikahi sepupunya, atau seseorang dari kampung halamannya, atau seseorang yang dia tidak tertarik. Banyak yang bertanya pada saya dan menceritakan masalah mereka lewat email. Saya juga temukan banyak di media sosial. Kalian bisa temukan banyak kasus seperti ini.



Pesan untuk Para Anak

Bagi kamu yang membaca ini, mungkin orangtua memaksamu menikah dengan orang yang tidak kamu sukai dan bertanya, “Kalau aku menolak, apakah berarti aku tidak hormat pada orangtua? Karena Islam memberi banyak hak pada orangtua? Kalau aku sampaikan pendapatku, apa aku tidak hormat?”

Saya ingin sampaikan beberapa hal pada anak-anak muda yang dipaksa menikah. Ini memang bukan solusi semua masalahmu, tetapi setidaknya saya sampaikan sesuatu.

Pertama, hubungan yang kamu masuki; kamu tidaklah menikah dan lalu berpikir akan bercerai. Kamu menikah karena sadar ini akan kamu jalani di sisa hidupmu. Ini adalah komitmen seumur hidup, mungkin untuk 50 – 60 tahun ke depan. Ini bukan keputusan yang mudah. Kebanyakan yang kamu pikirkan adalah pesta pernikahan, membuat orangtuamu bahagia. Itu adalah untuk sekarang. Tapi bagaimana 10, 15 atau 20 tahun ke depan. Karena keputusan ini mempengaruhi arah di sisa hidupmu. Jadi jika ada satu kali kamu harus bicara dan menyampaikan pendapatmu, dengan segala hormat, inilah saatnya. Ini tidak berarti kamu tidak hormat pada orangtua, ini adalah hak yang diberikan Allah SWT padamu. Ini adalah keputusan serius. Ini berhubungan dengan hidupmu. Bukan hidup orangtuamu. Tentu kamu harus membuat keputusan bijak tentang siapa yang ingin kamu nikahi, dan orang seperti apa. Orangtuamu harus sadar akan hal itu.

Tapi kalau orangtuamu tidak pengertian, keputusan utama sebenarnya adalah darimu. Bahkan pada Surat Annisa ayat 21 disebutkan, “wa akhadzna minkum” artinya “wanita itu menyetujuimu”. Allah bahkan tidak menyebutkan walinya. Allah menyebut wanita itu sendiri. Sekarang saya berkata pada para wanita, kamu harus nyaman dengan orang yang kamu nikahi. Kalau kamu datang dari keluarga yang konservatif dan keluarga yang sangat agamis, kamu tidak pergi ke pesta, dan kamu juga tidak terbiasa menyapa pria begitu saja. Kamu tidak bisa mengenal pria hanya dengan beberapa minggu sebelum kamu memutuskan. Tentu kami tidak sepenuhnya nyaman dengan pernikahan karena itu hal baru dalam hidupmu, tapi setidaknya kamu harus merasa nyaman dengan keputusanmu. Kamu merasa baik-baik saja, dan menganggap, “Dia sepertinya orang yang baik, menurutku pria terbaik berdasarkan syariah. Sepertinya dia orang yang baik. Kurasa dia adalah pasangan yang cocok untukku.” Allah SWT tahu yang terbaik untukmu.

Terkadang orang menikah lalu cerai, seperti yang juga terjadi pada sahabat Nabi SAW. Tapi kita berusaha semampunya. Kamu harus bahagia memasukinya. Kamu tidak boleh menggerutu memasuki hubungan itu. Sama halnya dengan pria, silahkan sampaikan pendapat kalian. Biarkan orangtua kalian mendengarnya. Ini bukan berarti kamu tidak hormat, kecuali kalau caramu mengatakannya salah. Tidak hormat, bukanlah tentang apa yang kamu katakan. Biasanya apa yang kamu katakan benar, kamu punya hak mengatakan sesuatu. Tapi cara kamu menyampaikannya, nada bicaramu, semua hal itu penting. Jadi bijaklah dalam mengatakannya.

Ilustrasi. Nikah. (Foto: islamicmarriageevents.co.uk)

Ilustrasi. Nikah. (Foto: islamicmarriageevents.co.uk)

Pesan untuk Para Orangtua

Pada orangtua saya ingin sampaikan sesuatu. Bahwa jika anak-anak Anda berusia 24-25 tahun atau 22-23 tahun, mereka sudah sangat dewasa. Dan jika mereka bilang pada Anda, “Saya ingin menikahi gadis ini.” Atau “Saya ingin menikahi pria ini”. Dan kalau Anda hidup di lingkungan Barat (atau bebas -red), maka coba pahami sesuatu. Pertama, mereka tidak bilang hal tersebut jika mereka tidak serius. Kedua, mereka sudah bukan anak-anak lagi. Anda tidak bisa panggil mereka anak-anak ketika mereka berumur 85 tahun, dan meski umurmu 150 tahun. Itu tidak masalah. Mereka sudah bukan anak-anak lagi, mereka sudah dewasa. Dan ini bukan tentang anak-anak ke toko mainan yang meminta, “Aku ingin membeli mainan itu, belikan aku boneka Iron Man.” Lalu Anda membentaknya, “Tidak boleh, itu bukan untuk kamu, beli aja kura-kura ninja.”  Tidak, sama sekali tidak, ini bukan tentang hal seperti itu. Tapi ini adalah keputusan seumur hidup. Dan Anda harus mendiskusikannya dengan mereka.

Tapi kebanyakan orangtua ketika anaknya menyampaikan pendapat, para orangtua sering menjawab, “Tidak mungkin, kamu bercanda?” Ini menjadi permasalahan kehormatan ketika anak Anda yang memilih dan bukan diri Anda. Anda bawa mereka ke masyarakat barat, mereka berbaur dengan pria dan wanita sepanjang waktu. Dan kenyataannya bahwa mungkin mereka menemukan seseorang. Mungkin tidak sesempurna yang Anda bayangkan, tapi itu sudah terjadi, mereka telah menyukai seseorang, mereka tertarik menikahi seseorang. Tapi kamu menolaknya mentah-mentah, “Tidak boleh, ini tidak boleh terjadi, ini masalah kehormatan dan agama kita!” Padahal banyak sekali masalah agama yang tidak Anda ajarkan kepada mereka dengan baik. Anda tidak memberi dia lingkungan yang baik, lalu Anda tiba-tiba marah pada mereka atas pilihan mereka atau mengusulkan pilihan.

Setidaknya, pertimbangkan pilihan mereka. Jadilah lebih terbuka pada hal yang terjadi, karena duniamu telah berubah. Cara Anda menikah atau cara orangtua saya menikah, itu adalah waktu yang berbeda. Nila budaya tersebut telah berubah. Dunia kita berubah. Jadi kita harus terbuka dengan pilihan anak kita. Jika Anda kuliahkan anak Anda, Anda cukup percaya untuk kuliahkan mereka, berbaur di lingkungan non muslim. Jika kamu menyekolahkan puteri Anda dan mendapatkan pendidikan di lingkungan non muslim, kamu percaya pada mereka dalam memasuki dunia yang kejam dan jahat, dan mereka harus bertahan dan  selamat dalam memegang nilai-nilai mereka, maka Anda harus percayai pilihan mereka juga. Setidaknya pertimbangkan pilihan mereka. Meskipun awalnya Anda tidak menyukainya.

Jadilah lebih terbuka membicarakan masalah ini dan kendalikan amarah Anda, dan tidak perlu bahasa yang dramatis, seperti: “Ya Allah impianku musnah, kamu bukan anakku lagi”, dan hal-hal seperti itu. Santailah sedikit. Semua orang punya kesempatan mengutarakan perasaannya.

Dan di banyak lingkungan muslim, kebanyakan orangtua bersikap tertutup dan ketika mereka ingin terbuka, sudah terlambat.  Sedangkan anak mereka tidak mengatakan apapun karena takut akan reaksi orangtuanya. Kita harus mengubah kebiasaan itu. Kita harus membiasakan terbuka dan jujur, tetapi tetap hormat dalam berbicara.

Kondisi Sosial dan Nilai Budaya Berubah, Tapi Agama Tidak

Hal terakhir yang ingin saya sampaikan adalah dasar di agama kita tentang bagaimana pria dan wanita berinteraksi. Tapi, keadaan sosial telah berubah, sedangkan dasar kita tidak berubah. Jadi nilai budaya yang kita punya, mungkin tidak sejalan dengan keadaan, tapi nilai agama selalu harus digunakan. Namun banyak hal yang Anda kira itu berhubungan dengan agama, sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali. Sebenarnya itu hanya nilai budaya. Anda sudah biasa melakukan hal itu dan karena berhasil pada Anda, Anda pikir akan berhasil pada anak Anda juga, tapi sebenarnya tidak selalu seperti itu.

Semoga hal ini menjadi percakapan yang sehat dalam keluarga muslim. Yang akhirnya menghasilkan keputusan yang lebih baik bagi kita dan anak-anak kita, sehingga mereka bahagia dalam pernikahannya. Semoga cara mereka bertemu dan saling mengenal, adalah dengan cara yang halal dan diridhai Allah SWT. Dan mereka tidak membuat keputusan hanya berdasar pada emosi sesaat. Semoga Allah Azza wa Jalla memberi kita kedewasaan, ketenangan dan yang terpenting keberkahan dalam memutuskan hal yang paling penting dalam hidup kita. [Syahida.com/ANW]

 

Share this post

PinIt
scroll to top