Siapakah Orang yang Akan Datang Pada Hari Kiamat Dalam Keadaan Tak Ada Segumpal Daging pun di Wajahnya?

Ilustrasi. (Foto: worldfree4u.me)

Ilustrasi. (Foto: worldfree4u.me)

Syahida.com – Ada beberapa riwayat yang menyebutkan larangan meminta-minta dan rukhsah meminta-minta. Tentang rukhshah meminta-minta seperti sabda Nabi SAW,

“Peminta-minta mempunyai hak, sekalipun dia datang sambil menunggang seekor kuda.” (Diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud).

Tolaklah peminta-minta sekalipun dengan memberikan kuku binatang yang hangus.” (Diriwayatkan Malik dan Al-Baghawi).

Jika permintaannya itu hal yang haram, maka seseorang tidak boleh membantu sesuatu yang menjurus kepada kebiasaan melakukan yang haram. Memberi berarti sama dengan membantu.

Sedangkan hadits-hadits yang melarang meminta-minta, seperti yang diriwayatkan Ibnu Umar r.a, dia berkata,  “Rasulullah SAW bersabda, “Salah seorang di antara kalian senantiasa meminta-minta, hingga dia bersua Allah SWT, sedang di mukanya tidak ada segumpal daging pun.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya”

Beliau juga pernah menyebutkan tentang menahan diri agar tidak meminta-minta, lalu beliau bersabda, “Tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

Tangan yang di atas artinya yang memberi, sedangkan tangan yang di bawah artinya yang meminta-minta. Dalam hadits Ibnu Mas’ud r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang meminta-minta padahal dia mempunyai apa yang memenuhi kebutuhannya, maka perbuatannya itu akan datang pada Hari Kiamat sebagai lalat atau cakar di mukanya.” (Diriwayatkan at-Tirmidzi, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ad-Darimi dan Ahmad).



Jelasnya tentang masalah ini, bahwa pada dasarnya meminta-minta itu adalah haram. Sebab meminta -minta itu tidak lepas dari tiga perkara:

  1. Keluh kesah.
  2. Menghinakan diri sendiri, padahal tidak selayaknya orang mukmin menghinakan diri sendiri.
  3. Biasanya disertai cacian terhadap orang yang dimintai.

Meminta-minta diperbolehkan jika dalam keadaan mendesak dan ada kebutuhan yang sangat penting atau mendekati keadaan itu. Sedangkan orang yang terpaksa ialah seperti orang lapar yang meminta-minta, karena di mengkhawatirkan keadaan dirinya yang bisa jatuh sakit atau bahkan mati, atau orang yang tidak mempunyai pakaian, lalu dia meminta-minta untuk mendapatkan pakaian yang bisa menutupi auratnya.

Sedangkan orang yang membutuhkan dengan suatu kebutuhan yang cukup penting ialah seperti orang yang memiliki jubah dan tidak mempunyai baju dalam yang harus dikenakan pada waktu musim dingin. Karena keadaannya itu dia merasa tersiksa dan tidak kuat dengan hawa dingin. Begitu pula orang yang jalannya tertatih-tatih. Dia boleh meminta-minta agar dapat menyewa kendaraan. Tetapi yang lebih baik ialah tidak perlu meminta-minta. Siapa yang hanya memiliki roti dan dia membutuhkan lauk, maka dia boleh meminta-minta.

Gambaran meminta-minta yang seperti ini harus disertai syukur kepada Allah dan tidak perlu meminta-minta yang seakan-akan dia benar-benar sangat membutuhkan. Dia bisa berkata, “Sebenarnya aku tidak memerlukan apa yang hendak kumiliki, tapi jiwakulah yang menuntutku begini.” Dengan begitu dia tidak menunjukkan keluhannya kepada Allah. Lebih baik dia meminta kepada ayahnya, kerabatnya atau temannya sendiri, sehingga tidak mengusik kehormatan dirinya, atau kepada orang dermawan yang memang sudah menyiapkan hartanya untuk didermakan. Jika dia menerima harta dari orang yang memberinya karena rasa malu, sebaiknya dia tidak perlu menerimanya dan bahkan baik mengembalikannya lagi.

Orang fakir tidak boleh meminta-minta kecuali menurut kebutuhannya, seperti rumah yang bisa ditempati, pakaian yang menutupi badan atau makanan yang meluruskan tulang punggungnya. Yang juga harus dipertimbangkan dalam masalah ini adalah jangka waktu dan tidak boleh meminta-minta sebagai kesenangan. Jika dia tahu bahwa ada seseorang yang dapat dimintainya setiap hari, maka dia tidak boleh meminta-minta lebih dari kebutuhan makannya sehari semalam. Jika dia khawatir tidak mendapatkan orang yang memberinya atau dia khawatir tidak sanggup meminta-minta, maka dia boleh meminta-minta lebih dari kebutuhan sehari semalam.

Secara lebih luas lagi, dia tidak boleh meminta-minta melebihi kebutuhannya selama setahun. Berdasarkan hal inilah ada hadits yang diriwayatkan tentang harta yang senilai lima puluh dirham, yang dengan lima puluh dirham ini dapat mencukupi kebutuhan selama setahun untuk satu orang dan dengan cara yang sederhana. Tapi bagi orang yang mempunyai tanggungan, tentu saja tidak mencukupi.

Tentang keadaan orang-orang yang fakir sendiri menurut Basyr Al-Hanafi bisa dibagi menjadi tiga macam:

  1. Orang fakir yang tidak meminta-minta. Jika diberi dia tidak mau menerima. Ini termasuk golongan spiritualitis.
  2. Orang fakir yang tidak meminta-minta, namun jika diberi dia mau menerimanya. Ini termasuk golongan orang-orang yang masuk surga.
  3. Orang fakir yang meminta-minta jika mempunyai kebutuhan. Tebusan tindakannya adalah kebenarannya dalam meminta-minta.

Syaikh Jamaluddin Rahimahullah berkata, “Jelasnya, selagi orang fakir dapat melewati tanpa meminta-minta, maka dia tidak boleh meminta-minta. Jika ada perasaan enggan, maka harus ditimbang-timbang. Jika dia tidak mampu bertahan dengan keadaannya dan dia tidak takut mati, maka boleh saja dia meminta-minta, namun yang lebih baik adalah tidak meminta-minta. Jika dia benar-benar tidak sanggup menghadapi keadaannya, maka dia harus meminta-minta.” [Syahida.com/ANW]

(Sumber : Kitab MINHAJUL QASHIDIN, “Jalan orang-orang yang mendapat petunjuk”, Karya IBNU QUDAMAH, Penerjemah: Kathur Suhardi, Penerbit: Pustaka Al Kautsar)

Share this post

PinIt
scroll to top