Cahaya di Atas Cahaya, Beginilah Cara Menghidupkan Hati dengan Al Qur’an

Syahida.com – Jika engkau ingin mengambil manfaat dari Al-Qur’an, maka himpunlah hatimu saat Al-Qur’an itu dibaca dan saat mendengarnya. Buka lebar-lebar telingamu dan buatlah seakan-akan engkau adalah orang yang diajak berbicara langsung oleh Allah, karena memang Al Qur’an merupakan seruan dari Allah yang tertuju kepada dirimu, yang dibaca Rasul-Nya. Firman Allah,

Ilustrasi. (Foto: fau2i.blogspot.com)

Ilustrasi. (Foto: fau2i.blogspot.com)

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaf: 37).

Efektifitas pengaruh itu tergantung pada faktor yang memberi pengaruh, obyek yang dipengaruhi dan syarat terjadinya pengaruh serta justru memanfaatkan kendala. Ayat ini mengandung penjelasan semua itu dengan kalimat yang singkat dan dalil yang pas.

Firman Allah, “Pada yang demikian itu”, merupakan isyarat tentang apa yang tertera sejak permulaan surat hingga ke penggal ini, yang disebut dengan sesuatu yang mempengaruhi.

Firman-Nya, “Bagi orang yang mempunyai hati”, merupakan obyek penerima. Artinya hati yang hidup dan mau memikirkan tentang Allah, sebagaimana firman-Nya, “Al Qur’an tiada lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya).” (Yasin: 69-70).

Firman-Nya, “Menggunakan pendengarannya”, artinya mengarahkan pendengaran, menyimak dengan ketajaman pendengaran kepada apa yang didengar.

Firman-Nya, “Sedang dia menyaksikan”, berarti hatinya menyaksikan dan tidak melayang entah kemana.

Ibnu Qutaibah berkata, “ Dia mendengarkan kitab Allah, hatinya ikut hadir beserta pemahamannya, tidak lupa dan lalai. Ini merupakan isyarat tentang hal-hal yang menghalangi pengaruh, yaitu hati yang lalai, mengelana dan tidak mau memikirkan apa yang dikatakan kepadanya, tidak mau menyimak dan memperhatikannya.”



Jika ada sesuatu yang mempengaruhi (Al Qur’an), ada obyek yang dipengaruhi (hati yang hidup), ada syarat (memperhatikan) dan kendala disingkirkan (hati yang lalai), pasti akan terjadi pengaruh, yaitu mengambil manfaat dan mengingat.

Hati yang Hidup dan Al Qur’an

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaf: 37).

Jika ada yang menyatakan, “Kalau memang pengaruh itu hanya bisa menjadi sempurna dengan hal-hal ini, lalu apa makna penggunaan kata “atau” dalam firman-Nya, “atau menggunakan pendengarannya?” Padahal mestinya digunakan “dan” dan bukan “atau”, yang artinya merupakan pilihan dari dua hal.

Pertanyaan ini sangat tepat. Jawabannya dapat disampaikan sebagai berikut: Digunakan kata “atau” dengan mempertimbangkan keadaan yang diseru. Di antara manusia ada yang hatinya benar-benar hidup, sadar dan memiliki fitrah yang utuh. Jika dia berpikir dengan melihat hati dan pikirannya, maka hati dan pikirannya itu memberikan petunjuk kepadanya tentang kebenaran Al Qur’an, bahwa Al-Qur’an itu benar, hatinya menjadi kesaksian tentang apa yang dikabarkan Al Qur’an, yang kemudian menyusupkan cahaya di atas cahaya fitrah di dalam hatinya. Inilah sifat orang-orang yang diberitakan di dalamnya,

Dan, orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itulah yang benar.” (Saba’: 6).

اللَّـهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖالْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّـهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ ۚوَيَضْرِبُ اللَّـهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّـهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٣٥

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nur: 35)

Cahaya di atas cahaya

Begitulah cahaya fitrah di atas cahaya wahyu. Begitulah keadaan orang yang memiliki hati yang hidup dan sadar.

Orang yang keadaannya seperti ini dapat menyatukan hatinya dengan makna-makna Al Qur’an, lalu mendapatkannya seakan-akan yang demikian itu tertulis di dalamnya, lalu dia tinggal membacanya tanpa harus melihat.

Sementara di antara manusia yang lain ada yang tidak memiliki kesiapan yang sempurna, di dalam hatinya tidak ada kesadaran dan kesempurnaan hidup. Sehingga dia membutuhkan keberadaan orang lain yang menjelaskan yang haq dan yang batil kepadanya. Kehidupan hatinya, cahayanya dan kejernihan fitrahnya tidak mencapai tingkatan orang yang pertama. Untuk mendapatkan hidayah, dia harus mengosongkan pendengarannya tatkala mendengar suatu perkataan, harus mengosongkan hatinya, agar dia dapat merenungi dan memikirkan serta menalar makna-maknanya. Dengan cara ini dia baru bisa mengetahui bahwa apa yang didengarnya itu adalah benar.

Yang pertama adalah keadaan orang yang melihat dengan mata telanjang apa yang diserukan dan dikabarkan kepadanya. Yang kedua adalah keadaan orang yang mengetahui dan meyakini kebenaran yang memberi kabar. Dalam hal ini dia berkata, “Bagiku cukup hanya dengan mendengarnya.”

Yang pertama dalam posisi ihsan dan yang kedua dalam posisi iman. Ini merupakan keadaan yang sudah mencapai ilmul-yaqin dan hatinya meningkat sampai tingkatan ainul-yaqin. Pada dirinya ada pembenaran yang kongkrit, yang pasti mengeluarkannya dari kufur dan memasukkannya ke dalam Islam.

Ainul-yaqin ada dua macam. Satu macam di dunia dan satu lagi di akhirat. Yang diperoleh di dunia dinisbatkan ke hati, seperti penisbatan orang yang melihat ke mata. Adapaun hal-hal ghaib yang dikabarkan para rasul dibantu dengan pengetahuan, yang ada di dunia dengan penglihatan. Inilah ainul yaqin yang tercermin dalam dua macam ini. [Syahida.com/ANW]

===

Sumber: Kitab Mendulang Faidah dari Lautan Ilmu, Karya; Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerjemah: Kathur Suhardi, Penerbit: Pustaka Al-Kautsar

Share this post

PinIt
scroll to top