Penyakit Berbahaya pada Orang yang Menyanjung dan Bagi Orang yang Disanjung

Ilustrasi. (Foto: arryrahmawan.net)

Ilustrasi. (Foto: arryrahmawan.net)

Syahida.com – Sanjungan dapat tersusupi oleh enam penyakit; empat diantaranya terdapat pada orang yang menyanjung sedangkan dua diantaranya para orang yang disanjung.

Penyakit yang terdapat pada orang yang menyanjung ialah:

Pertama, ia berlebih-lebihan sehingga sampai pada kebohongan.

Kedua, ia dapat tersusupi oleh riya’, karena dengan menyanjung ia menampakkan kecintaan. Dan bisa jadi ia tidak menyembunyikan kecintaan itu dan tidak meyakini semua yang diucapkannya sehingga dengan demikian ia menjadi orang yang pamrih dan munafiq.

Ketiga, kadang-kadang ia mengatakan hal yang tidak sebenarnya dan hal yang tidak dapat dilihat. Diriwayatkan bahwa seseorang menyanjung orang lain di hadapan Nabi SAW lalu Nabi SAW bersabda kepadanya:

Celaka kamu, kamu telah memenggal leher temanmu; seandainya dia mendengarnya niscaya dia tidak akan beruntung.”

Kemudian Nabi SAW bersabda:

Jika salah seorang diantara kalian harus menyanjung saudaranya maka hendaklah dia mengatakan, “Aku menghargai si Fulan tetapi aku tidak menyatakan kesucian seseorang di hadapan Allah. Allah-lah yang akan memuliakannya jika memang demikian halnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).



Penyakit ini terjadi pada sanjungan dengan sifat-sifat yang mutlak yang seharusnya diketahui dengan berbagai dalil, seperti perkataannya, ‘Sesungguhnya dia orang yang bertaqwa, wara’, zuhud, sangat baik dan yang semakna dengan itu. Tetapi jika dia berkata, ‘Aku melihatnya shalat malam, bershadaqah, dan menunaikan ibadah haji’ maka hal ini adalah perkara yang dapat dipastikan. Termasuk dalam kategori ini adalah perkataan, ‘Sesungguhnya dia orang yang adil’, karena hal ini masih belum jelas sehingga tidak seharusnya dipastikan kecuali setelah pengujian batinnya. Umar r.a pernah mendengar seorang lelaki yang menyanjung orang lain, lalu Umar r.a bertanya, “Apakah kamu pernah bepergian bersamanya?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Umar r.a bertanya, “Apakah kamu pernah berinteraksi dengannya dalam jual beli dan mu’amalah?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Umar r.a bertanya, “Apakah kamu tetangganya siang dan malam?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Umar r.a berkata, “Demi Allah yang tiada Ilah kecuali Dia, aku tidak menganggapmu telah mengenalnya.”

Keempat, bisa jadi ia membuat senang orang yang disanjung padahal dia orang yang zhalim atau fasiq; sedangkan hal ini tidak dibolehkan.

Al Hasan berkata, “Siapa yang mendoakan panjang umur kepada orang yang zhalim maka sesungguhnya dia telah menyukai Allah didurhakai di atas bumi-Nya. Padahal orang zhalim yang fasiq itu seharusnya dicela agar dia bersedih, bukan disanjung sampai merasa senang.”

Adapun bagi orang yang disanjung, sanjungan membahayakannya dari dua sisi, yaitu:

Pertama, ia mengakibatkan kesombongan dan ‘ujub.

Ilustrasi.

Ilustrasi.

Kedua, jika disanjung dengan kebaikan maka ia menyenangi sanjungan dan merasa puas kepada dirinya. Siapa yang merasa ‘ujub kepada dirinya pasti berkurang semangatnya, karena orang akan bersemangat beramal jika merasa kurang. Jika lidah-lidah sudah meluncurkan sanjungan pada dirinya maka dia mengira telah mencapai kesempurnaan. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW bersabda: “Kamu telah memenggal leher temanmu, sekiranya mendengarnya niscaya dia tidak akan beruntung.”

Umar r.a berkata, “Sanjungan adalah penyembelihan.” Ini karena orang yang disanjung merasa malas beramal sedangkan sanjungan mengakibatkan kemalasan. Atau karena sanjungan itu mengakibatkan rasa ‘ujub dan sombong dimana kedua hal ini mengakibatkan kehancuran seperti halnya penyembelihan. Oleh sebab itu, Umar merupakannya dengan penyembelihan.

Jika sanjungan terselamat dari penyakit-penyakit ini pada diri orang yang menyanjung dan orang yang disanjung maka sanjungan itu tidak terlarang bahkan bisa jadi dianjurkan. Oleh sebab itu Rasulullah SAW menyanjung para shahabat. Sabdanya:

“Sekiranya iman Abu Bakar ditimbang dengan iman (penduduk) dunia niscaya (iman Abu Bakar) lebih berat.” (HR. Al Baihaqi).

Nabi SAW bersabda tentang Uma r.a:
Sekiranya sesudahku ada Nabi lagi niscaya Umar bin Khaththab-lah orangnya.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi, dan ia meng-hasan-kannya).

Sanjungan apakah yang lebih dari ini? Tetapi Nabi SAW berkata benar dan penuh bashirah. Para shahabat adalah orang-orang yang berderajat tinggi sehingga sanjungan itu tidak membuat mereka sombong, ‘ujub dan futur (loyo),

Nabi SAW bersabda: “Aku adalah pemimpin anak Adam, tanpa bangga.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).

Yakni aku tidak mengucapkan hal ini karena kebanggaan sebagaimana tujuan orang-orang dalam memuji diri mereka sendiri. Seperti halnya orang yang diterima di sisi raja dengan penerimaan yang agung hanya membanggakan dengan penerimaan itu kepada dirinya dan dengan penerimaan itu pula dia merasa senang, bukan karena kelebihannya atas sebagian rakyatnya. [Syahida.com / ANW]

==

(Sumber: Kitab Mensucikan Jiwa, Karya: Sa’id Hawwa, Penerjemah: Aunur Rafiq Shaleh Tamihid, Lc., Penerbit: Robbani Press)

Share this post

PinIt
scroll to top