Wanita Menjadi Hakim

Ilustrasi. (pesisirone.com)

Ilustrasi. (pesisirone.com)

Syahida.com –  “Masalah wanita menjadi hakim adalah masalah yang telah lama diperbincangkan ulama fikih Islam dari zaman dahulu. Mayoritas ulama melarang jabatan hakim bagi wanita. Bahkan mereka menetapkan dalam kitab-kitab fikih, 10 syarat menjadi hakim: Islam, balig, berakal, adil, sehat rohani, tidak tuli, tidak buta, tidak bisu dan laki-laki.

Syarat laki-laki mereka tetapkan berdasarkan hadits Rasulullah, “Tidak akan beruntung suatu kaum mana urusan mereka dipimpin oleh wanita.” Mereka memasukkan jabatan hakim menghendaki akal yang sempurna dan wanita lemah akalnya. Jabatn hakim menginginkan ‘sifat tega’, sedangkan wanita adalah makhluk pengasih yang mudah merasa kasihan.

Sandaran utama ulama yang melarang jabatan hakim bagi wanita berdasarkan akalnya yang tidak sempurna adalah tidak berdasar sama sekali. Sebab, pengikut madzhab Azh-Zhahiriyah, terutama Ibnu Hazm, yang selalu berpegang teguh dengan dalil zhahir sebuah nash tidak mengharamkan wanita untuk menduduki jabatan hakim. Ini berarti bahwa tidak ada sebuah dalil tegas yang melarang wanita untuk menduduki jabatan hakim. Jika ada, maka madzhab Azh-Zhahiri adalah golongan yang sudah pasti pertama sekali berpegang kepadanya.

Oleh karena itu, ada sekelompok ulama yang memperbolehkan jabatan hakim bagi wanita, diantaranya Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah memperbolehkan jabatan hakim bagi wanita pada urusan persaksian, urusan tata kota, keuangan dan pada urusan status sosial, sebuah individu dalam masyarakat dan bukan pada urusan tindak pidana.

Banyak ulama yang memperbolehkan wanita menduduki jabatan hakim, seperti Imam Al Ghazali. Selain itu, banyak orang yang sepakat akan hal itu dan saya memperbolehkannya tetapi dengan ketentuan, batas dan syarat.

Adapun ketentuan, batas dan syarat yang ditetapkan Al Qaradhawi bagi wanita yang menduduki jabatan hakim adalah:

Pertama: mencapai usia pantas untuk menduduki jabatan berat ini, tidak dalam keadaan hamil ketika menjalankan tugasnya, tidak dalam mas siklus  bulannya, tidak dalam masa training berpengalaman, sehat jasmani, anak anaknya sudah dewasa, yakni tidak disibukkan dengan anak-anak dan suaminya. Dengan demikian, usia pantas yang dimaksud adalah usia matang.

Kedua: Ahli, dalam arti memiliki kemampuan diri, kemampuan diri, kemampuan keilmuan dan berakhlak baik. Sebab, para sahabat dan ulama setelahnya menghindarkan diri dari jabtan hakim ini. Imam Abu Hanifah ditawari untuk menjadi hakim dan dia menolaknya. Abu Ja’far Al-Manshur berkata, “Saya meminta anda menjadi hakim.” Imam Abu Hanifah berkata, “Saya tidak memiliki kemampuan.” Abu Ja’far Al-Manshur berkata, “Anda dusta.” Imam Abu Hanifah berkata, “Pendusta tidak layak menduduki jabatan hakim.”



Ulama besar pada awal Islam banyak yang menolak jabatan hakim yang ditawarkan kepadanya. Sebab dalam hadits dinyatakan, “Barangsiapa yang bersedia menduduki jabatan hakim, dia telah disembelih dengan tanpa pisau.”

Jabatan hakim adalah jabatan “panas”. Hadits riwayat Buraidah menyebutkan, “Hakim ada tiga. Dua masuk neraka. Satu masuk surga. Hakim yang mana yang halal dan berhukum dengannya, dia masuk surga. Hakim yang mengerti mana yang haq tetapi mengabaikannya, dia masuk neraka. Dan hakim yang putusan tanpa ilmu, dia masuk neraka.”

Ketiga: Keberadaan wanita sebagai hakim tersebut memang atas dasar permintaan masyarakat, yakni demi kemajuan masyarakat itu sendiri dan bukan untuk kepentingan pribadi wanita. Dengan kata lain tidak boleh bagi saya untuk berkata wanita boleh menjadi hakim pada sebuah masyarakat yang tidak memperbolehkan wanitanya menyetir mobil, pada sebuah masyarakat yang tidak memberi wanitanya hak pemilihan umum, pada sebuah masyarakat yang memperdebatkan apakah wanita boleh menjadi pengajar atau  tidak, boleh menjadi dokter atau tidak.

Pada masyarakat yang berperadaban kita bisa berfatwa diperbolehkannya wanita menjadi hakim, sebab masyarakat memang membutuhkannya. Bahkan kebutuhan inilah yang mewajibkannya. Apalagi jika tidak ada laki-laki yang mampu mengambil peran ini. Dalam keadaan demikian, dan kepada masyarakat yang berperadaban, saya mengatakan tidak ada hukum yang melarang wanita menjadi hakim. Lagipula tidak semua orang bahkan wanita mempunyai kemampuan menjadi hakim. Syarat-syarat, ketentuan dan batasan tersebut bukanllah ringan dan hanya yang mampu saja yang dapat melakukannya.

** Disampaikan dalam sebuah pembicaraan yang dituangkan dalam makalah berjudul Asy-Syari’ah wa Al-Hayah (Syariat dan Kehidupan) di Qatar, Dr. Yusuf Al Qaradhawi berbicara panjang lebar tentang jabatan hakim bagi wanita yang disiarkan oleh Televisi Al Jazirah Qatar.

Sumber : Kitab Wanita dalam Fiqih, DR Yusuf Qardhawi  

Share this post

PinIt
scroll to top