Qunut Subuh

subuh15Syahida.com – Yang dimaksud qunut disini adalah doa yang dipanjatkan di dalam shalat pada waktu iktidal, setelah rukuk pada rakaat yang terakhir. Qunut disyariatkan untuk dibaca di dalam seluruh shalat di saat terjadi peristiwa yang mengguncang umat. Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah berqunut kecuali di saat berdoa untuk suatu kaum atau untuk kebinasaan suatu kaum.[1]

Di dalam musnad diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut selama sebulan berturut-turut di dalam shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya’, dan Subuh di penghujung setiap shalat; setelah membaca, sami’allahu liman hamidah (Allah mendengar bagi yang memuji-Nya) pada rakaat yang terakhir. Beliau berdoa untuk kebinasaan perkampungan bani Sualim, kabilah Ri’il, Dzkawan dan ‘Ushayyah. Mereka yang di belakang beliau mengamininya.[2]

Kebanyakan qunut beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah di shalat Maghrib dan Subuh. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berqunut di dalam shalat Maghrib dan Subuh.[3]

Imam Muslim meriwayatkan dari Bara’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut di dalam shalat Subuh dan Maghrib.[4]

Hanya saja qunut beliau di shalat Subuh lebih banyak daripada di dalam shalat Maghrib. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, katanya, “Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberangkatkan pasukan yang diberi nama Al-Qurra’. Mereka semua dibunuh. Aku tidak pernah melihat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sesedih itu. Beliau berqunut selama sebulan di dalam shalat Subuh.”[5]

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Az-Zuhri dari Salim dari ayahnya bahwa dia pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam jika mengangkat kepala dari rukuk pada rakaat yang terakhir dari shalat subuh beliau membaca: “Ya Allah, laknatkanlah Fulan dan Fulan setelah membaca: “Allah mendengar bagi yang memuji-Nya. Wahai Rabb kami, hanya bagi-Mu segala pujian.”[6]

Masih diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhubahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sebagian shalat subuh berdoa: “Ya Allah, laknatkanlah fulan dan fulan untuk beberapa perkampungan Arab, sampai Allah menurunkan, ‘Tidak ada sedikit pun bagimu dalam urusan (mereka).” (Ali Imran: 3: 128)[7]

Ungkapan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu “Dalam sebagian shalat Subuh” mengisyaratkan bahwa beliau tidak terus-menerus membaca qunut saat shalat Subuh[8] penjelasannya di belakang insya Allah.



Anas radhiyallahu ‘anhu, pernah ditanya, “Apakah Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut dalam shalat Subuh?” “Ya.” Jawabnya. “Apakah beliau berqunut sebelum rukuk?” tanya orang itu. “Beliau berqunut beberapa saat setelah rukuk,” jawabnya.[9]

Ibnul Qayyim menulis, “Petunjuk beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam  dalam qunut adalah bahwa beliau membacanya khusus saat terjadi nawazil (peristiwa yang mengguncang umat). Beliau meninggalkannya saat tidak ada nawazil. Beliau tidak pernah mengkhususkannya untuk shalat subuh. Tetapi kebanyakan qunut beliau memang di subuh. Sebab shalat subuh disyariatkan memanjangkannya. Sebab shalat subuh bersambung dengan shalat malam. Sebab waktu subuh dekat dengan waktu sahur, saat dikabulkannya doa, dan turunnya Allah ke langit dunia. Juga, karena shalat subuh adalah shalat yang disaksikan. Disaksikan oleh Allah dan para malaikatnya. Maliakat malam dan siang.”[10]

Ini adalah qunut di saat nawazil. Adapun qunut sebagai bagian dari shalat subuh dan bahwa siapa yang meninggalkannya hendaklah bersujud syahwi-yakni pendapat yang maklum dari madzhab Syaf’i- saya belum mendapati dalilnya. Banyak sekali ulama yang menyelisihi beliau dalam hal ini. Mereka yang lebih berpegang kepada dalil daripada berpegang kepada madzhab.

Dasar yang dipakai oleh mereka yang berpendapat sunnahnya qunut dalam shalat subuh, baik dari kalangan ulama madzhab syafi’i ataupun yang lain adalah hadits Anas radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam terus menerus berqunut dalam shalat subuh sampai meninggal dunia. Diantara para periwayat hadits ini ada Abu Ja’far Ar-Razi yang menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar, haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah. Begitu juga menurut Ibnul Qayyim, Imam Ahmad dan lain-lain.

Kalaupun diasumsikan hadits ini shahih, sesungguhnya makna qunut tidak hanya satu. Ada lebih dari 10 makna. Di antaranya, kontinyu dalam beribadah dan berdiri lama. Kepada makna yang disebut terkahir inilah mestinya hadits  Anas dibawa. Sebab Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memang memperlama berdiri setelah rukuk sehingga para sahabat menduga beliau lupa. Jika dimaknai demikian, tidak ada yang bertentangan hadits ini. Sedangkan memaknai hadits ini dengan apa yang akhirnya dipahami oleh para ulama madzhab Syafi’i, bahwa yang dimaksud dengan qunut adalah doa yang sudah dikenal, maka ada hadits yang bertentangan dengannya. Yaitu hadits Anas bin Malik, “Ada segolongan kaum yang menyangka bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam terus berqunut didalam shalat Subuh.” Anas menjawab, “Mereka berdusta, hanyasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca qunut selama satu bulan; mendoakan kebinasaan beberapa perkampungan Arab.”

Ibnul Qayyim menyatakan bahwa meskipun Qais bin Rabi’ lemah, namun dia lebih kuat daripada Abu Ja’far Ar-Razi. Lantas bagaimana hadits Abu Ja’far tentang penetapaan qunut bisa dijadikan hujjah?! Hadits Qais yang menegaskan qunut memang tidak bisa dijadikan hujjah, namun ada hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim yang menguatkan hadits Qais, bahwa qunut yang dilakukan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah qunut nazilah. Hadits ini pun dari Anas radhiyallahu ‘anhu, katanya, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut selam satu bulan. Beliau berdoa untuk kebinasaan beberapa perkampungan Arab, kemudian beliau meninggalkannya,”[11]

Sedangkan hadits Al-Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah, akulah yang shalatnya mirip dengan shalat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam,” hal mana Abu Hurairah berqunut pada rakaat terakhir shalat subuh setelah membaca, sami’allahu liman hamidah (Allah mendengar bagi yang memuji-Nya,) dia berdoa untuk orang-orang yang beriman dan melaknat orang-orang kafir[12], hadits ini sama sekali tidak menunjukan bahwa qunut subuh yang diabaca oleh Abu Hurairah khusus qunut subuh. Dari konteksnya hadits ini justru menunjukkan qunut nazilah. Apalagi ada hadits yang menerangkan bahwa dia berqunut di lain shalat subuh dan mengatakan ucapan yang sama dengan yang dikatakan dalam hadits qunut subuh. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Salamah bin Abdurrahman, dia mendengar Abu Hurairah berkata, “Demi Allah, akulah yang shalatnya paling mirip dengan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam,” Salamah mengatakan bahwa Abu Hurairah berqunut di shalat Dzuhur dan Isya’ yang akhir, dan shalat subuh.[13]

Ibnul Qayyim menulis, “(Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam) berqunut selama satu bulan, lantas beliau meninggalkannya. Berqunut terus-menerus dalam shalat Subuh bukanlah petunjuk dari beliau. Mustahil jika setiap pagi setiap iktidal setelah rukuk beliau berqunut membaca:

“Ya Allah, tunjukilah aku di dalam orang yang Engkau beri petunjuk…”

Dengan mengeraskan suara dan para sahabat beliau mengamini, tak pernah beliau tinggalkan sampai beliau meninggal dunia; kemudian hal itu tidak terjadi menjadi sesuatu yang diketahui oleh umat. Bahkan kebanyakan umat beliau, para sahabat, semua menyia-nyiakannya. Sampai-sampai Sa’ad bin Thariq Al-Asyja’i berkata, “Saya pernah bertanya, ‘Wahai Ayah, sungguh, ayah telah shalat di belakang Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali –semoga Allah meridhai mereka- disini, di Kufah selama sekitar lima tahun. Apakah mereka berqunut dalam shalat subuh?’ ayahnya menjawab, ‘Wahai anakku, itu muhdats (bid’ah).’”[14]

Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Mijlaz, katanya, ‘Aku pernah shalat Subuh bersama Ibnu Umar. Dia tidak berqunut. Karena itu aku bertanya, ‘Saya lihat Anda tidak berqunut.’ Dia menjawab, ‘Setahuku tidak ada sahabat kami yang melakukannya.’[15]

Mestinya, jika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut setiap pagi, berdoa dengan doa ini dan para sahabat mengamininya, umat pasti meriwayatkannya seperti halnya mereka meriwayatkan kerasnya bacaan beliau, jumlahnya dan waktunya. Jika mereka boleh meninggalkan qunut, mereka pun boleh meninggalkan kerasnya bacaan. Sebab tidak ada bedanya.”[16]

Tidak bersembunyi bagi siapa saja yang meneliti masalah ini di sela-sela pemaparan dalil-dalil yang ada, bahwa perbedaan yang terjadi adalah antara melakukannya dan meninggalkannya. Sekiranya berqunut adalah asal, tidak ada yang menegaskan. Dan sekiranya tidak berqunut adalah asal, tidak ada yang menetapkannya. Ada seorang ulama masa kini, yang membuat perumpamaan yang bagus; akan bermanfaat saat meniliti esensi perbedaan penadapat dan mengetahui faktor penyebabnya. Dia berkata, “Seandainya diperselisihkan apakah Zaid seorang yang dermawan ataukah seoarang yang bakhil; lalu sebagian yang lain mengatakan bahwa dia dermawan dan sebagian yang lain mengatakan bahwa dia bakhil. Disini pastilah masing-masing orang menghukumi Zaid atas apa yang dilihatnya. Yang satu melihat kedermawanan, lantas dia menyampaikannya. Yang satunya lagi melihat kebakhilan, lantas dia menyampaikannya. Sekiranya dia seorang yang murni dermawan, pasti semua sepakat akan kedermawanannya. Beigtu juga jika dia murni bakhil, pasti semua sepakat akan kebakhilannya. Nah, karena ada kedermawanan dan kebakhilan padanya, masing-masing menghukumi sesuai dengan apa yang dilihatnya, dan akhirnya mereka berbeda pendapat. Apalagi berkenaan dengan amalan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam  yang qunut adalah salah satunya. Maka, dapat disimpulkan bahwa terkadang Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya dan terkadang meninggalkannya. Beliau melakukannya untuk suatu peristiwa, bukan sebagai suatu sunnah yang terus menerus dilakukan.”

Dus, perbedaan pendapat dalam masalah qunut adalah perbedaan pendapat yang mubah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim. Shalat tetap sah dengan atau tanpanya. Ini tidak boleh menjadi pangkal perseteruan dan perpecahan di masjid-masjid kaum muslimin, atau antara imam dan makmum.

Setelah berpolemik dalam masalah qunut, Ibnu Taimiyah menulis, “Terang sudah bahwa masalah ini tidak demikian. Qunut bukan sunnah yang terus-menerus dilakukan dan tidak perlu sujud sahwi jika terlupa. Akan tetapi, barang siapa meyakininya dengan mentakwilkannya maka takwilnya dihukumi sama dengan semua perkara ijtihadi. Karena itu, seyogianya makmum mengikuti imam pada perkara yang boleh berijtihad di sana. Jika imam berqunut ikut berqunut. Jika imam meninggalkannya, pun tidak berqunut. Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Hanyasanya dijadikan imam itu untuk diikuti.’[17] Juga, ‘Janganlah kalian menyelisihi imam-imam kalian![18]dan di dalam Ash-Shahih disebutkan bahwa beliau bersabda: ‘Mereka shalah (baca: mengimami) kalian. Jika mereka benar, maka (pahala) bagi kalian dan bagi mereka. Jika mereka keliru, maka (pahala) bagi kalian dan (dosa) bagi mereka.”[19]  [Syahida.com]

 

Sumber: Sulitkah Shalat Subuh Tepat Waktu? oleh Samir Al-Qarny bin Muhammad Riziq 

 

[1] Hadits Ibnu Khuzaimah, dinyatakan shahih Ibnu Hajar di dalam Fath Al-Bari 9/93.

[2] Al-Fath Ar-Rabbani Syarh Al-Musnad 3/307, Abu Dawud, dan Al-Hakim. Al-Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.

[3] Al-Bukhari hadits no. 1004.

[4] Muslim hadits no. 678.

[5] Al-Lu’lu’ wal Marjan hadits no. 395.

[6] Al-Bukhari hadits no. 4559.

[7] Al-Bukhari hadits no. 4560.

[8] Demikian disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari 9/94.

[9] Al-Bukhari hadits no. 1001.

[10] Zad Al-Ma’ad 1/272.

[11] Muslim 1/469.

[12] Zad Al-Ma’ad 1/274.

[13] Muslim hadits no.676, Ahmad di dalam Al-Fath Ar-Rabbani Syarh Al-Musnad 3/307, Al-Bukhari hadits no.797, dan Ibnu Hibban hadits no. 1981.

[14] Shahih sunan At-Tirmidzi hadits no.403, Ibnu Majah hadits no. 1241, Ahmad, dan Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih. Lihat: Zad Al-Ma’ad 1/271.

[15] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra dengan sanad yang Hasan 2/213: Zad Al-Ma’ad 1/272.

[16] Zad Al-Ma’ad 1/272.

[17] Al-Lu’li wal Marjan hadits no. 232.

[18] Al-Bukhari dengan lafal, “Hanyasaja dijadikan imam itu untuk diikuti; maka janganlah kalian menyelisihinya!” hadits no. 722 dan Muslim hadits ke 414.

[19] Al-Bukhari hadits no. 694. Majmu’ Fatawa 23/116.

Share this post

PinIt
scroll to top