Angkat Anak, Ikuti Tuntunan Syariahnya

Ilustrasi. (Foto : muslimvillage.com)

Ilustrasi. (Foto : muslimvillage.com)

Syahida.com – Sebagian ulama menyatakan praktik adopsi (tabanni) tidak boleh, karena tak sesuai ajaran Islam. Tetapi, kita tahu bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pun pernah mengadopsi anak. Bahkan setelah ayah dan ibunya wafat, Rasulullah dirawat oleh kakek dan selanjutnya pamannya. Kerancuan pun muncul. Sebenarnya, bagaimana hukum mengadopsi atau mengangkat anak dalam Islam?

Adopsi, menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf h disebutkan, anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya, beralih dan sebagainya, beralih tanggung jawabnya dari orangtua asal kepada orangtua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Definisi ini tak jauh berbeda dengan yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002.

Lantas, apa tuntunan Islam terkait anak-anak asuh?

Tak Mengubah Nasab

Apakah dalam mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri ini juga mengubah nasab atau hubungan keturunan si anak kepada ayah yang mengadopsinya? Ustadz Sigit Pranowo,Lc menguraikan bila terjadi perubahan nasab, seorang anak asuh atau anak angkat dinasabkan bukan kepada ayah kandungnya, melainkan kepada ayah angkatnya, maka perbuatan itu tergolong dosa besar.

“Sebenarnya adopsi merupakan kebiasaan orang jahiliah sebelum Islam, yang kemudian diharamkan di masa kedatangan Islam karena di dalam praktik tersebut terjadi perubahan nasab seseorang.” imbuh Sigit.

Namun, Islam tidak serta merta menghapuskan adopsi. Ada rambu-rambu yang harus diperhatikan ketika seseorang ingin mengangkat anak. Salah satunya, tidak mengubah garis keturunan atau nasab si anak. Fatwa Majelis Ulama Indonesia membolehkan adopsi, asal tidak memutuskan nasab si anak dengan ayah dan ibu kandungnya.

Dalam Al-Qur’an hukum ini ditegaskan di surat Al-Ahzab: 33: 4, yaitu “…Dan Dia tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu…” dan di ayat berikutnya, “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah… (QS: Al-Ahzab: 33:5)



Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sebelum mendapatkan risalah, mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya. Zaid dipanggil Zaid bin Muhammad. Tapi, lewat ayat 4-5 surat Al-Ahzab tersebut, Allah menurunkan hukum terkait anak angkat. Maka perlakuan tuntunan syariah, dan namanya pun kembali menjadi Zaid bin Haritsah.

Mengangkat seorang anak untuk dirawat di rumah selayaknya anak kandung, dipenuhi kebutuhannya, seperti makan, minum, hak pendidikan, dan lainnya, tanpa mengubah nasabnya adalah perbuatan mulia. Ini merupakan tanggung jawab sosial kita terhadap anak-anak yang membutuhkan.

Wasiat

Rambu berikutnya dalam hubungan orangtua dan anak angkat, soal warisan. Anak angkat tidak memiliki hak waris atas orang tua angkatnya. Namun, bukan berarti orangtua tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat baik kepada anak angkatnya.

Meski anak angkat tak mendapat hak waris, Islam membolehkan orangtua mewasiatkan –baik itu secara tertulis maupun lewat ucapan- sejumlah harta kepada anak angkatnya. Ketentuannya, wasiat tersebut sebanyak-banyaknya sepertiga harta warisan.

Bukan mahram

Sigit menuturkan, anak asuh atau anak angkat tetaplah orang asing bagi anggota keluarga yang mengasuhnya. “Hubungan diantara mereka sebatas hubungan sesama Muslim, yang satu memberi bantuan pemeliharaan ini tidak mempunyai pengaruh syar’i.” Jelas alumnus Fakultas Syariah LIPIA ini.

Status bukan mahram itulah yang membuat orangtua dan anggota keluarga asuh tidak boleh menampakkan aurat kepada anak angkat, dan sebaliknya. Bila anak angkat (perempuan) menikah, ia pun tak bisa mendapat perwalian oleh ayah angkatnya.

Untung dunia akhirat

Menakah yang lebih baik, merawat anak asuh atau menyantuninya sementara ia tetap tinggal bersama keluarganya sendiri?

Pria kelahiran 41 tahun yang lalu ini berpendapat, jika anak tersebut masih memiliki keluarga, terlebih mereka Muslim yang baik, maka sebaiknya ia tetap tinggal bersama orangtuanya. Orangtua angkat bisa memberi bantuan kepada si anak secara berkala.

Namun bila kondisinya tidak seperti itu, orangtua anak tersebut bukan tergolong orang yang baik keislamannya, kita bisa mengasuhnya di rumah kita sehingga ia bisa mendapat pendidikan dan terpenuhi materialnya.

Perbedaan cara itu, tambah Pimpinan Majelis Al-Qur’an Al-Husna Jakarta Timur ini, insya Allah memberikan keberkahan yang sama bagi orangtua atau keluarga yang mengasuhnya, selama itu dilakukan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tetap berpegang teguh pada rambu-rambu Sayr’i dalam pengasuhan.

Inilah “Jual beli” yang menguntungkan untuk kita, di dunia dan akhirat. Membantu seorang anak Muslim dari keterlantaran, bagiakan menghidupkan semua manusia. selain membuahkan pahala, persaudaraan dengan sesama Muslim semakin erat dengan saling berbagi. “Sedangkan di akhirat, telah menanti baginya surga,” ujar Sigit. Subhanallah! Rahmi Rizal

Menjadi Mahram Anak Angkat

Anak angkat/asuh bukanlah mahram bagi orangtua angkatnya. Saat ia dewasa, pergaulan mereka dibatasi aturan syar’i, misalnya dalam hal berpakaian, memandang, berbicara, dan sebagainya. Persoalan ini tak jarang menghambat keinginan seseorang untuk merawat anak asuh.

Ustadz Sigit Pranowo, Lc mengatakan, Islam menawarkan solusi atas kendala tersebut. Yaitu, ketika si anak masih dalam usia menyusui, hendklah ia disusui oleh ibu asuhnya atau saudara perempuan kandung ibu asuhnya, jika ia laki-laki. Sebaliknya, bila anak asuh ini perempuan, yang menyusukan adalah saudara perempuan ayah asuh. “Dengan begitu, anak asuh menjadi mahram bagi orangtua asuhnya, dari jalur susuan,” terang Sigit.

[Syahida.com]

Sumber: Ummi No.7/ XXIII/ November 2011/ 1432 H

Share this post

PinIt
scroll to top