Menggapai Berkah, Cintai Anak Asuh

Ilustrasi. (Foto : alfalfa.co.id)

Ilustrasi. (Foto : alfalfa.co.id)

Syahida.com – Ingin merawat anak asuh tapi bingung memulainya? Jangan khawatir, asal tidak diiringi dengan bayangan negatif, insya Allah banyak kemudahan untuk mengambil anak asuh.

Berbagai kekhawatiran membayangi banyak orang ingin mengambil anak asuh. “Nanti kalau ternyata orangtuanya bukan orang baik-baik, terus menurun ke anaknya, gimana?” ucap Ita, ibu rumah tangga di Jawa Timur.

Ada juga menceritakan pengalamannya dengan gemas, “Sudah capek-capek mengasuh anak dari bayi, eh, begitu sudah jadi orang sukses, orangtuanya datang dan mengajak tinggal bareng. Mau enaknya aja!”

Belum lagi ketakutan akan dana yang tidak cukup, atau si bocah malah jadi anak yang sulit dikendalikan. Jika dicari, tentu masih banyak lagi bayangan negatif yang mengahalangi kita untuk mengamalkan ajaran mulia itu. Benarkah, sebegitunya susahnya mengambil anak asuh?

Tuntunan Islam mengambil anak asuh

Sebagai Muslim, tentu kita selalu bertanya, apa tuntunan Islam tentang sesuatu yang akan dan sedang kita lakukan? Tak terkecuali masalah anak asuh. Apa tuntutan Islam terkait dengannya?

Ustadz Sigit Pranowo Lc, menyatakan mengaush anak yatim dan dhuafa sangat dianjurkan dalam Islam. Banyak keutamaan yang dapat diperoleh, baik di dunia dan akhirat. Namun, dalam mengasuh atau mengangkat seorang anak ada juga yang dilarang, yaitu menghilangkan nasab anak tersebut.

Lalu. Adakah persyaratan khusus untuk menjadi orangtua asuh? “Tidak ada persyaratan khusus. Hanya saja, setelah anak itu diasuh maka ia menjadi amanah baginya. Untuk itu sebaiknya orangtua asuh adalah seorang Muslim, adil, mampu berbuat baik, menjauhi kezaliman dalam pengasuhan, serta memiliki kelebihan penghasilan dari kebutuhan diri dan keluarganya yang wajib dipenuhi,” papar Sigit.



Hal lain yang tak kalah pentingnya, niat. Mengambil anak asuh untuk pemancing, misalnya untuk mendapat keturunan, melancarkan rezeki, dan pengisi waktu agar tidak kesepian, menurut Sigit, tidak pernah diajarkan dalam agama kita. Bahkan, keyakinan seperti itu termasuk dalam perbuatan tathayyur (merasa sial karena sesuatu) yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Persiapan mental

Psikologi Sri Lintang Rosi Aryani Psi, menyarankan sebelum mengambil anak asuh, komunikasikan dulu dengan pasangan. Karena persetujuan kedua pihak menjadi syarat mutlak untuk mengambil anak asuh. Jika salah satu belum siap, sebaliknya rencana itu ditunda dulu. Lakukan pendekatan pada suami/istri sampai ia juga setuju.

Selain pasangan, tambah alumnus Psikologi UI ini, kita juga harus mengondisikan orangtua dan saudara, terutama jika kita tinggal bersama mereka. Jangan sampai anak asuh merasa tidak nyaman karena keluarga besar tak menganggapnya keluarga.

Hal yang penting adalah menyiapkan mental. Biasanya, kan , saat mengandung, kita mulai belajar menjadi orangtua asuh. Tanamkan kuat dalam sanubari kita, bahwa anak ini adalah amanah yang akan kita pertanggung jawabkan di akhirat kelak.

Perhatikan usia

Umumnya, orang lebih suka mengambil anak asuh yang masih bayi dibanding yang sudah besar. “Wajar, sih. Karena memang labih mudah ‘membentuk’ sikap anak jika kita mendidiknya sejak bayi. Anak yang sudah besar, terbentuk oleh lingkungan sebelumnya. Kalau lingkungannya positif, bagus. Jika sebaliknya, akan sulit membentuknya,” ujar Hikal Hassan, Direktur Utama PT Anugrah Consulting yang memiliki puluhan anak asuh.

Lintang juga mengingatkan, jika mengambil anak asuh dari bayi, orangtua asuh harus membuat perjanjian dengan orangtua kandung, di usia berapa anak tersebut boleh diberitahu siapa orangtua kandungnya. Ini penting untuk membangun kepribadian anak tersebut secara utuh, disamping juga guna menghindari kebingungan si anak, misalnya tiba-tiba ada orang datang dan mengaku sebagai ibu kandungnya.

Namun, hal yang harus diingat, orangtua asuh itu “Hanya” mengasuh, bukan memutus hubungan orangtua dan anak kandungnya. Jadi wajib hukumnya memberitahukan ke anak tersebut, suatu saat nanti, siapa orangtua kandungnya dan memeberi kesempatan bagi mereka untuk berkomunikasi.

Kita butuh anak asuh

Haikal memiliki formula yang dia praktekkan dalam segala sisi kehidupannya, terutama saat mengambil anak asuh. Apa formula itu? Yakni Pray+love= miracle, atau ibadah/berdoa pada Allah ditambah rasa cinta, maka akan datang keajaiban.

Ini pula jawaban singkat dari Haikal saat menanggapi berbagai masalah yang dikhawatirkan muncul ketika ia mengambil anak asuh. “Kalau kita benar mencintai anak asuh, maka apa yang dia cintai, juga kita cintai. Termasuk ingin kembali ke orangtua kandungnya, ya, seharusnya kita dukung,” jelas Haikal.

Menurut Haikal, ada persepsi yang harus diluruskan. “Bukan anak yang membutuhkan kita, namun kita yang membutuhkan anak asuh. Karena dialah ointu rezeki kita.”

Jika kita tahu ada anak yatim atau terlantarm tambah Haikal, dan tidak tergerak untuk mengasuh atau menyantuninya, pasti Allah akan mengirim orang lain. Dan beruntunglah orang tersebut karena Allah akan menjamin kehidupan dan kemakmurannya.

“Jadi sebenarnya bukan kita yang menyantuni anak asuh, tapi kita disantuni oleh mereka,” pungkas Haikal.

Jadi, tidakkah kita ingin menjadi orang yang beruntung? Aini Firdaus, wawancara: Aini Firdaus, Rahmi Rizal.

Estafet anak asuh

Pernakah Anda bayangkan? Jika tiap satu keluarga, mengasuh setiap satu saja anak asuh, berapa banyak anak yatim, dhuafa atau anak-anak terlantar yang bisa kita selamatkan? Apalagi jika Anda bisa mendidiknya dengan baik, hingga ia menjadi anak shalih/shalihah, mandiri dan sukses. Lalu coba tanamkan dalam jiwa anak tersebut. “kamu memiliki tugas untuk menyelamatkan anak ‘kurang beruntung’ yang lain. Satu orang saja!” insya Allah, tidak akan ada lagi anak terlantar di bumi Allah.

[Syahida.com]

Sumber: Ummi No.7/ XXIII/ November 2011/ 1432 H

Share this post

PinIt
scroll to top