Suamiku, Hargai Aku… (Bagian ke-3)

Ilustrasi. (Foto : deetwilight.blogspot.com)

Ilustrasi. (Foto : deetwilight.blogspot.com)

Syahida.com – Tanda-tanda Buruknya Perlakuan Suami Terhadap Istri:

1. Ragu dan berprasangka buruk terhadap istri.

Di antara para suami ada yang menuduh istrinya telah mencuri hartanya. Misalnya, ia menuduh istrinya telah mengambil sebagian hartanya tanpa sepengetahuannya. Tapi, beberapa waktu setelah itu, ia baru ingat kalau harta tersebut telah ia gunakan untuk membeli sesuatu atau ia pinjamkan kepada orang lain, dan sebagainya.

Bahkan, ada suami yang terus menerus bersikap seperti itu, sehingga ia pun selalu berprasangka buruk terhadap akhlak dan kehormatan istrinya. Lalu ia selalu memantau istrinya, mengawasi telepon rumah, bahkan mungkin merekam percakapan istrinya di telepon. Atau, ia pulang pada waktu yang biasa untuk meyakinkan bahwa istrinya tidak melakukan perbuatan haram, dan sebagainya.

Sayangnya, itu semua dilakukan tanpa bukti dan kejelasan, hanya karena sifat was-wasnya. Berapa banyak terjadi pembunuhan, perceraian atau penyiksaan hanya karena prasangka buruk. Setelah mencermati fakta itu, seorang suami tidak boleh menuruti prasangkanya dan  membiarkan hatinya terbujuk godaan apa pun tanpa ada keterangan yang jelas. Sebaliknya, ia harus berprasangka baik terhadap istrinya karena ia terikat dengan istrinya dan istri juga telah terikat dengannya secara suka rela atau sebagai pilihan.

Selain berprasangka baik kepada istri, suami harus berhati-hati dan bersabar hingga benar-benar mendapatkan kejelasan. Sebab, pada dasarnya seorang istri bebas dari tuduhan dan prasangka buruk. Di samping itu, mungkin saja ada setan, baik dari jenis manusia maupun jin yang menginginkan kehancuran rumah tangga yang tenteram.

Berprasangka baik kepada istri tidak berarti mengurangi rasa cemburu, melaksanakan fungsi kepemimpinan, dan mendidik istri dengan baik. Namun, dengan bersikap adil dalam cemburu. Dengan begitu, seorang suami tidak melalaikan hal-hal yang ditakutkan akibatnya serta tidak berlebihan dalam berprasangka buruk, menekan dan mengawasi.

2. Sedikitnya rasa cemburu kepada istri.



Ada jenis suami yang perasaanya telah membatu, rasa cemburunya telah mati, dan sifat ksatria dan melindunginya telah lenyap. Sehingga, ia tidak peduli ketika sang istri bercampur baur dengan lelaki yang bukan mahramnya. Mereka beralasan, ‘itu kan saudara, kerabat, atau teman kantor istri dan menaruh kepercayaan besar kepada mereka!!

Diantara mereka ada yang tidak peduli dengan pakaian istrinya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Munkin saja ia menutup  aurat ketika diluar rumah, tapi tidak menutup aurat di dalam rumahnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya.

Diantara mereka ada juga yang membiarkan istrinya duduk-duduk bersama lelaki yang bukan mahramnya, bersalaman, tertawa, atau saling bertukar cerita dengan mereka. Tak pelak, sikap tak peduli seperti ini merupakan sikap dayyuts, hilang kelaki-lakian, lemah agamanya, dan sedikit rasa cemburunya kepada istri.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Al-Mughirah bahwa Sa’ad bin Ubadah berkata, “Seandainya aku melihat seorang lelaki bukan mahram berduan dengan istriku, aku akan menebas laki-laki itu dengan pedang tajam.” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Sungguh, aku lebih cemburu darinya dan Allah lebih cemburu lagi dariku.”

Maksudnya, suami tidak boleh cemburu berlebihan tanpa alasan yang jelas. Ia juga tidak boleh begitu saja melampiaskan kecemburuannya. Sebab, cemburu yang terpuji adalah yang proposional, dan dekat dengan syariat, bukan dengan hawa nafsu dan menuruti bisikan setan.

Cemburu yang berlebihan dan hanya berdasarkan asumsi serta tuduhan tanpa bukti adalah cemburu yang dicela dan dilarang oleh Rasulullah.[1]

3. Meremehkan dan tidak menghargai istri.

Seorang suami telah melakukan kesalahan fatal ketika menyangka bahwa ia akan hidup bahagia dan tenteram bersama istrinya sementara ia selalu meremehkan atau menghina dan tidak menghormatinya. Ia merasa sebagai pemimpin, sementara wanita adalah manusia yang kurang akal dan agamanya sehingga interaksi yang cocok dengan istrinya adalah dengan menghina, meremehkan dan mencelanya.

Kebahagiaan suami istri akan selalu langgeng jika keduanya saling menghormati, menghargai, dan tidak menyakiti.

Orang yang berinteraksi dengan penghinaan dan tidak memedulikan istrinya akan hidup sengsara. Namun, sering kali mereka tidak menyadari bahwa interaksi semacam inilah yang menjadi penyebabnya.

Ada juga model suami yang menyepelekan perkataan istri dan tidak meminta saran kepadanya sama sekali. ia beranggapan bahwa istrinya tidak berhak untuk hal itu. Ia juga tidak memedulikan istrinya karena menganggap bahwa pendapatnya selalu salah.

Di antara meremehkan istri adalah dengan menghina, mencela, memukul atau mengatakan ‘bodoh’ dan ‘lemah akal’ di hadapan anak-anaknya.

Sikap meremehkan istri lainnya adalah mencela keluarganya; baik kedua orang tua atau kerabat-kerabatnya, dan mungkin itu hanya karena sebab yang sangat sepele!

Tidak diragukan, Islam memandang wanita sebagai manusia yang dihormati, memiliki pendapat dan kedudukan. Bukan sebagai manusia yang diremehkan dan disepelekan. Sebagian wanita bahkan mampu melebihi laki-laki dengan kejernihan pendapat serta baiknya manajemen mereka, dan realita telah membuktikan hal itu.

Sosok suami yang berakal, mulia dan bertakwa kepada Allah dalam urusan keluarganya adalah seorang suami yang memerhatikan istrinya, meminta pendapatnya, serta selalu membuatnya merasa memiliki kedewasaan dan kebaikan manajemen si istri, baik dalam kehidupannya secara umum, dalam urusan rumah dan dengan anak-anaknya meskipun sebenarnya ia tidak seperti itu- sampai ia menuntut istrinya menjadi apa yang ia inginkan.

Kemudian juga, muru’ah (kewiraan) dan agama menetapkan untuk menghormati istri dan berbuat baik kepada mereka. Jangan sampai Anda lupa untuk berbuat baik kepada mereka –semoga Allah merahmati Anda- meskipun pada diri mereka ada kekurangan atau cela. Menjadi kewajiban bagi Anda untuk segera memberi nasihat dan arahan sebagai ganti dari celaan dan tuduhan, Ingatlah selalu sabda Rasulullah:

“Berwasiatlah kepada wanita (istri) karena wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya bagian yang  paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian yang paling atas. Oleh karenanya, jika Anda meluruskannya, niscaya ia akan mematahkannya. Namun, jika Anda membiarkannya, ia akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiatlah kepada wanita (istri).”[2]

4. Memakan harta istri dengan cara yang tidak dibenarkan syari’at.

Ada seorang istri yang mengadu tentang suaminya yang meminta harta warisan, dengan dalih untuk mengembangkan usahanya. Perlu dicatat, permintaan itu tidak didesak oleh kebutuhan atau kesempitan, hanya karena tamak pada harta istri untuk pengembangan usahanya. Naifnya, istrinya tidak dianggap sebagai bagian dalam usahanya itu. Ia memaksa sang istri karena menganggap toh pada akhirnya harta tersebut akan menjadi miliknya dan anak-anaknya. Ia pun mulai membujuk istrinya agar mau memberikan hartanya. Seakan-akan ia keberatan jika istrinya masih memegang hartanya, sementara ia tidak dapat menikmatinya.

Atas dasar apa suami tersebut meminta harta istrinya, dan dengan hak apa ia mengambilnya tanpa kerelaan istri? Terlebih, si istri merasa bahwa hal itu merupakan ketamakan suami pada hartanya saja. Ini merupakan salah satu gambaran sikap memakan harta istri dengan cara yang salah. Bagaimana mungkin seorang suami menanggap hal itu dibolehkan bagi dirinya, padahal dia telah mengambil harta istrinya tanpa kerelaan istrinya.

Memang, ada suami yang telah menepis dan melemah harga dirinya. Ia memakan harta istrinya dengan cara yang batil. Misalnya, mengancam sang istri, mengiba, berhutang dengan niat tidak melunasinya, atau dengan berserikat dalam suatu proyek tertentu tanpa menuliskan akad antara keduanya. Masih banyak lagi gambaran sikap memakan harta istri dengan cara yang batil.

Perbuatan semacam ini adalah perbuatan yang ditolak oleh muru’ah dan agama. Islam telah melindungi harta istri dan tidak membolehkan jalan apapun bagi suami untuk menguasainya. Islam membebaskan istri dalam memanfaatkan harta sesuai dengan apa yang ia inginkan jika ia seorang yang shalihah. Tidak ada hak bagi suami untuk memakan harta satu dirham tanpa kerelaan istri. Menurut ijmak ulama, suami tidak berhak melarang istri  memanfaatkan hartanya. Sebagian ulama menyatakan bahwa istrinya menginfakkan sebagian hartanya atau keseluruhannya untuk kebaikan, seperti sedekah dan hibah. Namun, sebagian ulama berpendapat seorang suami boleh melarang istrinya mendermakan hartanya jika melebihi sepertiganya, [3] dengan demikian, perbedaan pendapat hanya pada masalah berinfak, sedangkan persoalan seorang suami mengambil harta istrinya dengan cara batil, larangan dalam hal itu tidak diperselisihkan sama sekali.[4]

[Syahida.com]

——

Bersambung….

Sumber: Buku Suamiku, Dengarkanlah Curahan Hatiku. Isham Muhammad Syarif.

 

[1] HR. An-Nasa’i dan Abu Dawud, serta dishahihkan Al-Alabani di dalam shahih Al-Jami’ (5905).

[2] HR. Bukhari (3331) dan Muslim (1468).

[3] Lihat Al-Hidyah Al-Islamiyyah, hlm 58.

[4] Lihat Min Akhtha’i Al-Azwaj, hlm 24.

Share this post

PinIt
scroll to top