Wahai Suami, Telitilah Udzur yang Disampaikan Istri

Ilustrasi. (Foto : rnpertiwi.blogspot.com)

Ilustrasi. (Foto : rnpertiwi.blogspot.com)

Syahida.com – Sebagai manusia tentu kita bisa bertindak benar dan terkadang bertindak salah. Dengan begitu, bukan termasuk cara mempergauli yang baik jika seorang suami tergesa-gesa dalam menghukum istri. Seorang suami mestinya merenung sebelum menghukum istrinya dan meneliti alasannya serta memerhatikan kondisi dan keadaan yang menjadi sumber kesalahan, sehingga persoalan dan bahayanya tidak melebar.

Diantara alasan istri yang seyogianya diperhatikan oleh suami adalah:

1. Kecemburuan wanita.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, “Salah seorang istri Nabi menghadiahkan sepiring burbur kepada Nabi ketika beliau di rumah salah seorang istri yang lain. A’isyah memukul tangan pembantu yang membawa piring itu, sehingga piring tersebut jatuh dan pecah. Nabi pun mengambil bubur yang tumpah dan mengembalikannya ke dalam piring. Beliau bersabda, ‘Makanlah kecemburuan ibu kalian.’ Kemudian Rasulullah menahan pembantu tersebut dan minta diambilkan piring dari dalam rumah istri yang ketika itu beliau berada disana, lalu mengganti piring yang pecah dengan piring itu.”[2]

Beginilah sikap Rasulullah. Beliau melakukannya dengan tenang, hikmah dan menerima alasan. Sebab, kesalahan yang dilakukan salah seorang istrinya adalah karena kecemburuan –selama di dalam kesalahan tidak ada pelanggaran terhadap yang diharamkan Allah.

2. Gelisah dan Emosi Tidak Stabil Saat Haid

Kondisi psikis wanita saat haid berbeda dengan saat suci. Terlebih jika haid itu disertai pusing, capek, nyeri, dan hal lain yang dapat memengaruhi kejiwaan dan interaksi dengan anggota keluarga. Karena itulah, seorang suami harus memaklumi kesalahan yang dilakukan istri pada masa tersebut. Jika ia malas, loyo, atau tidak bisa melaksanakan kewajiban dengan baik, hendaknya suami memahami latar belakang.

3. Masih baru dalam berkomitmen terhadap syariat.



Seorang muslim terkadang menikah dengan muslimah yang siap berkomitmen dengan Islam. Namun, ia tidak menemukan lingkungan yang mendukung dan membimbingnya. Komitmen itu pun melemah. Oleh karena itu, seorang muslim harus memerhatikan pengaruh lingkungan saat membimbingnya dan saat menghantarkannya untuk berkomitmen. Ia juga harus memerhatikan tahapan dan  prioritas langkah. Sebab, pada hal itu ada permasalahan ushul (dasar) dan furu’ (cabang). Sementara, keduanya harus tetap dilaksanakan dan tidak boleh dipisahkan.

“Suamiku, semoga kini kau bisa lebih menghargai aku dan memperlakukanku dengan baik.”

Ya kita tidak meremehkan perkara cabang sampai perkara dasar terpatri. Sebab, keduanya saling berkaitan satu sama lain. Perkara ushul dan furu’ tidak seperti onderdil mesin yang bisa dipisahkan sepotong-sepotong. Tapi, yang kita inginkan adalah agar sebagian besar upaya terfokus pada perkara-perkara ushul dan menyeluruh  dengan tetap memerhatikan sisi furu’ sesuai dengan kadarnya. Juga memanfaatkan ini atau itu. Sebab, kita berinteraksi dengan jiwa manusia, bukan alat mekanik.

Selain itu, tidak sepantasnya kita takut pada hambatan dan kesalahan pada semua sisi di atas, sebelum kita curahkan kesungguhan yang bijak, rapi dan teliti dalam kadar yang tepat.

Karenanya, selama istri siap untuk dibimbing, komitmennya pada agama akan segera baik. Namun, tetap diiringi dengan sikap dewasa dan akal sehat, dengan memberi kemudahan dan kabar gembira, bukan dengan menyulitkan dan membuat lari. Oleh karena itu, seyogianya para suami memerhatikan nasihat Rasulullah berikut.

Sampaikanlah kabar gembira dan jangan membuat lari; permudah dan jangan mempersulit.”

Selama perkembangan terus berlangsung, bergembiralah menyongsong kematangan pada waktunya nanti.

Jauhilah amarah karena hal itu dapat mencabut tanaman dan mengakibatkan penyelesan dan kerugian. Berlemah lembutlah karena itu akan menjadi pagar pelindung dari badai yang mengahncurkan.

Sehingga, pohon pun bisa tumbuh sampai besar. Akar-akarnya menjadi kuat, tertanam dalam, dan ranting-rantingnya membentangkan naungan. Pada saat itulah buah-buahan yang terdapat dapat dipetik.[1]

Janganlah seorang mukmin membenci seorang muslimah, jika ia membenci salah satu akhlaknya, ia ridha dengan akhlak lainnya.” Atau, beliau bersabda dengan perkataan lain yang semakna. [Syahida.com]

Sumber: Buku Suamiku, Dengarkanlah Curahan Hatiku. Isham Muhammad Syarif.

 

[1] Lihat Kaifa tus’id zaujatak, hlm 137-138.

[2] HR. Bukhari.

Share this post

PinIt
scroll to top