Bagaimana Etika Suami Dalam Mengkritik Istri?

Ilustrasi. (Foto : wiidevelopersdevelopersdevelopers.wordpress.com)

Ilustrasi. (Foto : wiidevelopersdevelopersdevelopers.wordpress.com)

Syahida.com – Tentang etika mengkritik, ustadz Muhammad Abdulhalim Hamid menjelaskan, “Jika memang harus mengkritik, hendaklah orang yang mengkritik menghias diri dengan etika-etika dibawah ini:

1. Tidak membesar-besarkan persoalan saat mengkritik, bijaksana, dan menjauhi sikap mencari-cari kesalahan lalu menarik kesimpulan yang tidak tepat.

2. Memulai dengan isyarat sebelum berterus terang. Sebab, berterus terang terkadang bisa melukai. Hendaklah suami lebih memilih isyarat jika istri dapat memahami maksudnya. Apalagi belum paham, barulah berterus-terang dan mengembalikan perkaranya kepada Allah. Tentunya hal ini dilakukan dengan lemah lembut.

3. Memilih moment yang tepat untuk memberi masukan. Tidak melakukannya di hadapan orang lain, meskipun itu kerabatnya sendiri. Sebab, tindakan itu merupakan penutupan kesalahan yang dapat membantu meluruskan orang yang salah. Sedangkan menampakkannya adalah pencemaran nama baik.

4. Memilih waktu yang tepat. Tidak mengkritik ketika sedang marah atau emosi. Tunggulah hingga situasi menjadi tenang untuk menyampaikan masukan.

5. Hati-hati jangan sampai kritikan menimbulkan efek yang lebih berbahaya. Apalagi mengoreksi kesalahan dapat menimbulkan efek yang lebih besar, tahanlah hingga datang waktu yang tepat.

6. Menjaga orang yang dikritik. Yakni, tidak melukai dan menyakiti perasaanya. Tampaklah kecintaan, penghargaan, serta semangat persaudaraan dan ketulusan karena hal itu dapat melanggengkan kecintaan.

7. Menjauhi sikap tinggi hati dan keras kepala.



Itulah beberapa adab penting dalam fikih mengkritik. Para suami seyogianya mengetahui bahwa kritikan kepada istri hanya dilakukan pada perkara yang benar-benar penting, bukan dalam perkara-perkara sepele, seperti terlambat menyiapkan makanan, memindahkan kitab, mengubah letak perabotan rumah, dan lainnya. Jangan hanya karena hal sepele tersebut lalu si suami banyak mencela dan berkata kepadanya dengan sindiran, “Wahai fulanah, semoga Allah memberi petunjuk kepadamu. Kenapa kamu pindahkan ini? Kenapa kamu mengubah ini? Kenapa kamu memberikan ini? Kenapa kamu terlambat? Kenapa…? dan kenapa…?

Jika ada yang menanyakan kepadanya, “Kenapa dalam perkara-perkara yang sepele seperti itu kamu harus mengkritik istrimu?

Ia akan menjawab, “Agar ia terbiasa teratur!”

Dan jika istri terlihat tidak rapi dan terlambat, atau menyiapkan makanan lebih awal, atau menunda sesuatu yang dibutuhkannya karena harus meminta izin terlebih dahulu, suami tersbut akan mengatakan, “Kenapa kamu tidak merapikan ini? Kenapa kamu tergesa-gesa seperti ini? Kenapa kamu tunda hal ini? Kenapa…? dan kenapa?

Lalu tumpahlah segala kritikan kepada istri yang malang tersebut dengan cara yang tidak baik. Padahal, penyebabnya sangat sepele dan untuk menyelesaikannya –meskipun tidak sulit-sebenarnya tidak membutuhkan kritik.

Suami harus menyadari bahwa banyak mengkritik, khususnya dalam perkara-perkara sepele, dapat menyusahkan kehidupan istri. Oleh karena itu, semestinya suami bersikap bijaksana dengan mendudukkan perkara pada tempatnya, proposional, dan dengan cara yang tepat.

Kritikan atau celaan pada perkara-perkara remeh dapat menyebabkan seorang istri gelisah dan tertekan. Sebab, ia selalu dihatui kritikan dan peringatan. Istri akan mendapat kritikan pada setiap dua hal; jika istri maju, suami akan mengatakan bahwa mundurlah yang benar. Namun, jika istri mundur maka suami akan mengatakan bahwa majulah yang benar.

Kemudian, si istri akan mengalami stagnasi, lambat dan mati daya kreativitasnya. Dari sana, kebencianlah akan muncul menggantikan kecintaan.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku melayani Nabi selama sepuluh tahun, namun beliau tidak pernah sekalipun mengucapkan ‘ah’ kepadaku. Juga tidak pernah menanyakan sesuatu yang telah kukerjakan dengan mengatakan, ‘Kenapa kamu melakukan itu? Atau, sesuatu yang tidak aku kerjakan, ‘Tidaklah kamu melakukan ini?’”[1]

Wahai para suami, maafkan dan bertoleransilah. Jika tidak bisa, pegang teguhlah adab-adab dalam mengkritik.[2]

Seorang suami sebaiknya tidak banyak berdebat dengan istri. Lebih-lebih jika tidak ada sebab yang logis, sekadar mendebat tanpa memerhatikan aturan-aturan syar’i.

Suami yang cerdas harus menghindari hinaan dan celaan-celaan. Ia harus menjadi orang yang lapang dada. Memecahkan segala persoalan dengan tenang dan pandangan yang mendalam terhadap persoalan. Tidak mengancam atau menghinakan.

Sungguh, debat yang berkepanjangan antara sepasang suami istri dapat menjatuhkan kewibawaan, membunuh kehormatan, dan merenggut cinta dan kasih sayang. Bahkan mungkin urusannya berakhir tidak terpuji.

Suami yang cerdas tidak perlu menyikapi permasalahan melebihi dari yang semestinya. Terlebih bila ia mengetahui bahwa perselisihan tidak mungkin terhindarkan dari rumah tangga manapun. Namun, dengan kecintaan menutup mata dari kesalahan dan kekeliruan istri, dan bersegera untuk berdamai dan memperbaiki, maka permusuhan dapat diatasi dan perselisihan dalam rumah tangga bisa diminimalisir.

Kemudian yang perlu diingat, apa dosa anak-anak yang hidup di dalam suasana mencekam, penuh pertengkaran pertikaian dan celaan, dan saling menjelekkan di hadapan tetangga?! Apa dosa mereka, sehingga mereka harus tumbuh dalam keadaan terkekang atau membenci pernikahan karena kedua orang tua mereka atau salah satu dari mereka?!

Suami yang cerdas harus menghentikan diskusi dengan istrinya, jika ia mulai emosi. Pilihlah waktu lain yang tepat untuk berdiskusi dan menyampaikan nasihat.

Perselisihan Adalah Sunnatullah[3]

Seorang laki-laki harus realistis, tidak boleh larut dalam khayalan, lalu memimpikan kehidupan yang tanpa perselisihan, permasalahan, kesalahan, atau kelalaian di dalamnya. Harapan semacam itu hanyalah angan-angan kosong yang jauh dari kenyataan.

Oleh karena itu, sebuah keluarga mesti bersiap-siap untuk menghadapi goncangan internal atau eksternal yang disebabkan  oleh perselisihan antara suami dan istri atau kelalaian dari salah satu pihak. Hal itu tidak mengherankan dan tercela. Yang tercela adalah bila perselisihan semakin meningkat dan jurang perpecahan semakin melebar tanpa mau mengevaluasi diri dan mengakui kesalahan.

Di sisi lain, terkadang sebuah keluarga menghadapi badai-badai eksternal yang sangat kencang, yang mengakibatkan tersebarnya isu, desas-desus, dan fitnah diantara suami istri. Seorang suami seharusnya bersikap dewasa, tenang dan ekstra sabar. Ia harus mampu menahan amarah, berhati-hati, mencari tahu dengan kelembutan, menerima udzur, dan memerhatikan psikologi istri. Namun, jika harus tetap menghukum, hukumlah sesuai dengan haknya, menjauhi hawa nafsu, dan berpegang pada aturan-aturan syariat. Begitulah petunjuk Rasulullah dalam mempergauli istrinya. [Syahida.com]
Sumber: Buku Suamiku, Dengarkanlah Curahan Hatiku. Isham Muhammad Syarif.

 

[1] Muttafaqun alaih.

[2] Lihat Kaifa Tus’idu Zaujatak, hlm 152-155.

[3] Lihat Kaifa tus’idu Zaujatak, hlm 129-133.

Share this post

PinIt
scroll to top