Mengqadha’ Shalat Sunnah Fajar

 

Ilustrasi. (Foto : muslim-academy.com)

Ilustrasi. (Foto : muslim-academy.com)

Syahida.com – Ada dua kesimpulan yang ingin kita capai dari pendahuluan panjang yang telah lalu:

Pertama, kita tahu bahwa waktu sunnah Fajar adalah sejak terbitnya Fajar sampai dilaksanakannya shalat Subuh. Dan barangsiapa tidak berkesempatan mengerjakan sunnah Fajar sebelum mengerjakan shalat Subuh, dia boleh memilih untuk mengerjakannya setelah mengerjakan shalat Subuh atau setelah terbitnya matahari setelah berlalunya waktu terlarang. Dalilnya adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tertidur sehingga tidak mengerjakan dua rakaat Fajar. Maka beliau mengqadha’nya setelah matahari terbit.[1] Juga hadist dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa belum mengerjakan dua rakaat Fajar, hendaklah dia mengerjakannya setelah matahari terbit.”[2]

Dan di dalam Mustadrak Al-Hakim, “Bagi siapa yang belum mengerjakan dua rakaat Fajar, hendaklah dia mengerjakannya setelah matahari terbit.” Kemudian At-Tirmidzi berkomentar, “Berdasarkan hadist inilah praktik sebagian ahli ilmu. Dan ini adalah pendapat Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq dan Ibnu Mubarak.”

Di dalam Al-Mughni, Ibnu Qudamah menulis, “Mengqadha’ sunnah Fajar setelah shalat Subuh boleh hukumnya. Namun Imam Ahmad lebih memilih mengwadha’nya pada waktu Dhuha. Beliau berkata, ‘Jika seseorang mengerjakannya setelah shalat Subuh, maka itu sah.”[3]

Menurut saya, jika seseorang khawatir dengan menundanya sampai matahari terbit mengakibatkan dia lupa kepadanya atau sibuk sehingga tidak sempat melakukannya, maka lebih baik baginya mengqadha’nya setelah shalat Subuh. Di depan telah kita sebutkan hadist Qais bin Amru radhiyallahu anhu. Hadist itu menjelaskan bahwa ada seseorang yang mengqadha’ sunnah Fajar setelah shalat Subuh. Juga hadist Ummu Salamah radhiyallahu anhu yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengqadha’ sunnah Dzuhur setelah shalat Ashar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berfatwa, “Jika mengqadha’ sunnah Dzuhur setelah shalat Ashar dibolehkan, maka mengqadha’ sunnah Fajar setelah shalat Subuh lebih dibolehkan lagi. Sebab itu masih di dalam waktunya.”[4]

Saya tambahkan, jika saat seseorang selesai dari shalat Subuh tepat ketika matahari terbit, maka janganlah dia mengerjakan shalat kecuali setelah matahari meninggi. Wallahu a’lam.



Mendapatkan Satu Rakaat Shalat Subuh

Kedua, hendaknya kita mengerti bahwa larangan mengerjakan shalat setelah Subuh dan Ashar bukanlah setelah waktu Subuh dan waktu Ashar. Akan tetapi yang dilarang adalah mengerjakan shalat Subuh dan Shalat Ashar. Karena itulah wajibnya waktu tidak berlaku untuk hukum-hukum yang telah lalu, dan bahwa barangsiapa mendapatkan satu rakaat shalat Subuh sebelum matahari terbit, maka dia dihukumi telah melaksanakan shalat Subuh pada waktunya (meskipun yang satu rakaat dikerjakan di luar waktunya –pent). Demikian pula halnya dengan shalat Ashar dan shalat-shalat fardhu yang lain. Dasarnya adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallalllahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa mendapati satu rakaat dari shalat Subuh sebelum matahari terbit, maka dia telah mendapati satu rakaat dari shalat Ashar sebelum matahari terbit, maka dia telah mendapati Ashar.”[5]

Dalam riwayat lain beliau bersabda, “Barangsiapa mendapati satu rakaat dari suatu shalat, maka dia telah mendapati shalat itu.”[6]

Dalam riwayat lain lagi beliau bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian mendapati sujud dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, hendaklah dia menyempurnakan shalatnya. Dan apabila mendapati sujud dari shalat Subuh sebelum matahari terbit, hendaklah dia menyempurnakan shalat.”[7]

Pengertian hadist di atas, bahwa barangsiapa mendapati kurang dari satu rakat, maka dia mendapati waktu, tidak melaksanakannya pada waktunya. Kadar satu rakaat ini adalah kadar takbiratul ihram, membaca Al-Fatihah, rukuk, iktidal dan dua sujud berikut syarat masing-masing. Sabda beliau, “maka dia telah mendapati shalat itu,” pada riwayat kedua maknanya adalah, maka dia telah mendapati waktu shalat itu.” Dan tentang sabda beliau, “apabila mendapati sujud dari shalat Subuh,” pada riwayat yang ketiga, Al-Baghawi di dalam Syarh As-Sunnah menulis, “Yang dimaksud adalah satu rakaat dengan rukuk dan sujudnya. Shalat disebut dengan sujud sebagaimana disebut juga dengan rukuk.”[8]

Al-Khaththabi menulis, “Yang dimaksud dengan sujud adalah satu rakaat lengkap dengan rukuk dan sujudnya. Satu rakaat itu sempurna dengan sujudnya, karena rukuk dan sujudnya. Satu rakaat itu sempurna dengan sujudnya, karena itulah ia disebut juga satu sujud atas dasar makna ini.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari menulis, “Telah dikutip kesepakatan (para ulama) bahwa barangsiapa tidak punya udzur tidak boleh mengakhirkan shalat sampai tak tersisa waktunya kecuali sekadar itu.”[9]

Tentang mengakhiri shalat sampai waktu terlarang Anas bin Malik radhiyallahu anhu bertutur, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Itu adalah shalatnya orang munafik. Dia duduk menunggu matahari; sampai setelah berada di antara dua tanduk setan, dia berdua dan mematuk empat kali. Dia tidak mengingat Allah di dalamnya kecuali sedikit saja.”[10]

Penyusun Fiqh As-Sunnah menulis, “Zhahir hadist ini menyatakan bahwa barangsiapa mendapati satu rakaat dari shalat Subuh atau shalat Ashar tidak terlarang baginya melanjutkannya pada saat matahari terbit atau terbenam, walaupun waktu itu adalah waktu larangan. Shalatnya terhitung sebagai ada’ (bukan qadha’) dengan dia mendapati satu rakaat (pada waktunya). Namun tidak boleh menyengaja mengakhirkan shalat sampai waktu ini.”[11]

Dua Catatan

Dari pembahasan di atas ada dua hal yang perlu kita perhatikan:

Pertama, tentang wanita yang suci dari haid atau nifas, seorang kafir jika masuk Islam, dan seorang anak laki-laki atau perempuan jika baligh sebelum terbit matahari sekadar satu rakaat, mereka wajib mengqadha’ shalat Subuh. Begitu juga jika terjadi sebelum terbenam matahari sekadar satu rakaat , mereka wajiib mengqadha’ shalat Ashar.[12]

Dan demikian pula dikatakan untuk semua shalat mengingat sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Barangsiapa mendapati satu rakaat dari suatu shalat, maka dia telah mendapati shalat itu.” Pun demikian jika seorang wanita datang bulan atau mengalami nifas setelah masuknya waktu shalat namun dia belum melaksanakannya, maka setelah suci dia berkewajiban mengqadha’ shalat yang belum sempat dilaksanakannya saat dia datang bulan atau nifas. Wallahu a’lam.

Kedua, jika seseorang bangun dari tidurnya dalam keadaan junub sebelum terbitnya matahari, padahal waktu yang ada tidak cukup untuk mandi dan shalat, maka apa yang harus dilakukannya? Ringkasnya dia tetap harus mandi dan melaksanakan shalat meskipun setelah terbit matahari. Adapun perinciannya para ulama berbeda pendapat menjadi tiga:

Pendapat pertama, hendaklah dia bertayammum dan mengerjakan shalat sebelum terbitnya matahari, kemudian dia mandi dan mengulangi shalatnya setelah terbitnya matahari.

Pendapat kedua, dia bertayammum dan mengerjakan shalat sebelum terbitnya matahari, dan dia tidak perlu mengulangi shalatnya. Ini adalah pendapat ulama madzhab Maliki sebagaimana dinyatakan oleh Ibnul Qayyim. Pendapat inilah yang diambil oleh penyusun Fiqh As-Sunnah.

Pendapat ketiga, yaitu pendapat jumhur ulama. Hendaklah dia mandi dan mengerjakan shalat begitu selesai mandi, meskipun telah keluar waktu dengan terbitnya matahari. Inilah pendapat yang kami sebut secara ringkas.

Di dalam kitabnya yang berjudul Miftah Dar As-Sa’adah, Ibnul Qayyim menulis, “Tentang seseorang yang bangun tidur dalam keadaan junub sebelum terbit matahari, namun waktunya sempit, tidak cukup untuk mandi dan mengerjakan shalat, maka kewajibannya menurut jumhur ulama adalah: dia mandi meskipun matahari terbit. Tidak sah baginya shalat hanya dengan bertayammum. Sebab dia mendapati air. Jika dia tidak berlebih-lebihan dalam tidur, dia tidak berdosa. Ini sama dengan jika saat dia bangun matahari telah terbit, kewajibannya adalah segera mandi dan mengerjakan shalat. Ini adalah waktunya dalam hak yang semisal dengannya. Inilah pendapat yang benar. Disini tidak ada pertentangan antara maslahat dan mafsadat yang sama. Bahkan maslahat shalat dengan bersuci (baca: mandi) lebih kuar daripada melaksanakannya pada waktunya dengan tayammum.”[13]

Telah disebutkan dalam satu hadist, “Barangsiapa tidur (sehingga tidak mengerjakan) suatu shalat atau lupa terhadapnya hendaklah dia mengerjakannya saat dia ingat.” Ada orang yang tidur saat masuk waktu shalat dan tidak bangun kecuali pada waktu yang sempit. Dia bangun dalam keadaan junub. Maka kewajibannya adalah mandi dan mengerjakan shalat, walaupun telah keluar waktunya. Dia seperti orang yang belum bangun dari tidurnya kecuali setelah terbitnya matahari. Wallahu a’lam.

“Barangsiapa belum mengerjakan dua rakaat Fajar, hendaklah dia mengerjakannya setelah matahari terbit.” (HR. Tirmidzi) [Syahida.com]

  1. Shahih Sunan Ibnu Majah hadist no.1155 dan Shahih Ibnu hibban hadist no. 2652
  2. Shahih Sunan At-Tirmidzi hadist no. 424
  3. Al-Mughni 1/757.
  4. Majmu’ Fataqa, 23/199
  5. Al-Bukhari no. 579 dan Muslim hadist no. 608
  6. Al-Bukhari hadist no. 580 dan Muslim hadist no. 607
  7. Al-Bukhari hadist no. 556 dan Muslim hadist no. 609
  8. Syarh As-Sunnah 2/250
  9. Sebagian besar keterangan hadist ini diambil dari syarah Ibnu Hajar di dalam Fath Al-Bari.
  10. Muslim hadist no. 622 dan Shahih Sunan At-Tirmidzi hadist no. 160
  11. Fiqh As-Sunnah 1/94.
  12. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsman menjawab dengan jawaban seperti ini saat menjawab pertanyaan no. 25 di dalam Al-Majmu’ Ats-Tsamin bagian Haidh dan Nifas.
  13. Miftahu Dar As-Sa’adah 2/ 19-20
Sumber: Sulitkah Shalat Subuh Tepat Waktu? oleh Samir Al-Qarny bin Muhammad

Share this post

PinIt
scroll to top