Ahli Ibadah Tak Pernah Merasa Sendiri

Ilustrasi. (Foto : hamzahaha.wordpress.com)

Ilustrasi. (Foto : hamzahaha.wordpress.com)

Syahida.com – Wahai fulan! Seberapa banyakkah engkau berpakaian dengan pakaian ahli ibadah dan orang-orang zuhud, sedang hatimu sedemikian lalainya? Secara lahiriah engkau menampakkan ketakwaan, tapi batinmu dikotori oleh angan-angan yang panjang. Orang yang cenderung mencintai harta tidak pantas memperoleh cinta ilahi. Kalau bukan karena perjuangan yang gigih, tentu tidak pantas suatu kaum itu disebut lelaki sejati.

Wahai orang yang mati hatinya, janjinya di dunia benar, namun di akhirat adalah mustahil. Jika engkau tidak segera beramal di saat muda, maka segeralah lakukan di saat tua. Ketika rambut telah beruban, mestinya tak ada lagi perilaku lalai. Tidaklah salah kalau ada yang mengatakan pada orang yang sudah tua, “Engkau telah menyia-nyiakan masa muda dalam kelalaian, dan ketika telah lanjut usia engkau menangisi kurangnya amal. Kalau sekiranya engkau tahu apa yang dicatat darimu, engkau pasti akan menangis sepanjang malam.”

Diriwayatkan oleh Nabi Isa Alaihissala melakukan perjalanan di muka bumi dan mengatakan, “Kendaraanku adalah kedua kakiku, pakaianku adalah rambutku, semboyanku adalah takut kepada Allah, minyak wangiku adalah rerumputan di bumi, makananku adalah roti dari gandum, naunganku adalah kegelapan-kegelapan malam, tempat tinggalku dimanapun malam tiba dan ini cukup banyak bagi orang yang sering mengingat mati.”

Asy Syibli radhiyallahu anhu mengatakan, “Aku pernah melihat seorang badui di Mekkah, kota yang dijaga oleh Allah Ta’ala, dan ia sedang melayani kaum sufi yang zuhud. Aku tanyakan sebabnya, dan badui itu menjawab, ‘Ketika aku masih di perkampungan di pedalaman, aku melihat seorang anak muda bertelanjang kaki, tanpa tutup kepala, tanpa bekal, tak membawa tempat air, dan juga tongkat. Maka aku berkata pada diriku: Aku akan menemui pemuda ini. Jika ia lapar, aku akan memberinya makan. Jika haus, aku akan memberinya minum. Lalu aku segera mendatanginya, tapi ketika jarak antara aku dan dia tingal satu hasta, tahu-tahu ia sudah menjauh dariku sampai-sampai aku tidak dapat melihatnya. Lalu aku berkata, “Ini Setan.” Tapi tiba-tiba ia memanggil, “Bukan, tapi ia orang yang mabuk.”

Kemudian aku memanggilnya, “Hai Fulan, demi Tuhan yang mengutus Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan kebenaran, tidak maukah engkau berhenti?”

Lalu ia berkata, “Hai pemuda, engkau telah membuatku lelah dan membuat dirimu lelah.”

“Aku melihatmu sendirian, maka aku ingin melayanimu,” kataku.

Ia menjawab, “Bagi siapa saja yang Allah bersamanya, mana mungkin ia akan merasa sendirian?”



“Aku tidak melihatmu membawa bekal,” kataku lagi.

“Apabila aku lapar, maka mengingat-Nya adalah bekalku. Jika aku haus, maka melihat-Nya adalah yang aku minta dan aku inginkan,” tukasnya.

Lalu aku balik bertanya, “Aku lapar, maka berilah aku makan.”

Dia menjawab, “Tidakkah engkau percaya dengan karamah para wali?”

“Tentu aku percaya, tetapi agar hatiku tenang,” kataku.

Ia kemudian memukul tangannya ke tanah, lalu menggenggam pasir dan menyerahkannya ke mulutku sambil berkata, “Makanlah, wahai orang yang tertipu.”

Tapi tiba-tiba pasir itu berubah menjadi makanan suwaiq yang sangat lezat.

“Alangkah lezatnya!” kataku senang.

Ia lalu menerangkan, “Di tempat-tempat terpencil, makanan seperti ini banyak ditemui di kalangan para wali, jika kamu sadari.”

Lalu aku berkata, “Beri aku minum.”

Ia kemudian menghentakkan tanah dengan kakinya, tiba-tiba keluarlah air bercampur madu. Lalu aku duduk untuk meminum dari mata air tersebut. Dan setelah kuangkat kepalaku, aku tidak melihat pemuda itu lagi. Aku tak tahu bagaimana ia hillang dari sisiku, dan kemana ia pergi. Setelah kejadian tersebut, aku selalu memberi pelayanan kepada orang-orang fakir hingga sekarang. Barangkali saja aku dapat melihat lagi orang yang seperti wali tersebut.”

Wahai fulan. Sampai kapan engkau akan mendengar cerita-cerita tentang mereka tapi tidak mau mengikuti jejak mereka? Ratapilah jarakmu yang amat jauh, wahai orang yang terusir. Sebab orang sepertimu itu hanya bisa menangis dan menghitung-hitung. Mintalah ampun, wahai orang yang ditinggalkan. Mudah-mudahan dengan cara merendahkan diri dihadapan-Nya maka engkau akan menemui kebahagiaan. Katakanlah dengan lidah merendah, penuh penyesalan dan kesedihan:

Berapa banyak orang yang menyesal, namun tak kunjung berhenti

Tiada tekad menyertai kelemahan dan kemalasan ini

Berapa kali perkataan indah menyelimuti

Namun tiada arti jika amal tak menyertai

Sungguh mengherankan! Berapa kali aku mencela orang-orang yang dijauhi oleh Allah, namun celaan itu ternyata tak bermanfaat. Betapa sering aku menyeru kepada orang-orang yang tuli dan lalai, tapi seruan itu tak di dengar. Betapa seringnya aku berbicara pada hatimu dan aku sangat ingin engkau mendengarkannya.

Wahai orang yang beku air matanya, yang tidak pernah bisa menangis. Salah satu tanda kesesatan itu ialah hati yang tidak bisa khusyu. Hatimu telah habis kau gunakan untuk mencintai dunia yang fana. Engkau lakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh-Nya. Wahai orang yang lalai, hitunglah kerugianmu selama ini dengan mengumpulkan yang haram-haram, dan segeralah tinggalkan itu semua. Jangan sampai engkau masih berada di kebun kelalaian ketika datang panggilan-Nya, hingga engkau berangkat memenuhi panggilan itu dengan cara mengenaskan. [Syahida.com]

Sumber: IBNUL JAUZI

Share this post

PinIt
scroll to top