Kisah Hikmah : Kehancuran Keluarga

Ilustrasi. (Foto : wellsiplaw.com)

Ilustrasi. (Foto : wellsiplaw.com)

Syahida.com – Dunia menggilasku karena banyaknya masalah yang aku lihat. Aku menyimpan rahasia manusia di dadaku jauh lebih banyak daripada yang dibayangkan, dan sering aku tidak mampu menulisnya. Karena ia adalah amanat. Akan tetapi apabila salah satu dari mereka memiliki sesuatu dan menyatakan keinginannya untuk disebarluaskan, maka itu adalah keputusan mereka dan mereka memperoleh pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala lantaran telah memberikan peringatan kepada saudara-saudara mereka.

Saya masih ingat pada saat engkau berkata kepadaku, “Saya berharap perahu yang kamu kemudikan ini tidak akan tenggelam.” Kemudian hari-hari membuktikan sejauh mana kesalahanku. Dunia telah menyibukkanku wahai dokter. Setiap kali aku memperoleh uang, niscaya aku berpikir uang apalagi yang akan aku peroleh esok hari. Kejar…kejar…dan kejar. Seolah-olah seluruh harta yang aku kumpulkan akan aku bawa ke liang kubur bersamaku. Dengan mengejar dunia aku melupakan keluarga kecilku, isteri dan anak-anakku.

Dahulu kami adalah keluarga bahagia. Ketika aku menjadi orang kaya dan semakin sibuk, aku berkeyakinan bisa membahagiakan keluarga hanya dengan harta. Aku membeli sebuah cottage di dekat laut. Pada awalnya aku menghabiskan waktuku di sini bersama keluarga. Anak-anak bermain kemudian tidur jika mereka merasa lelah. Ketika kesibukan semakin menumpuk aku berkata kepada anak-anakku, “Kalian pergi saja ke sana bersama Ibu, nanti Ayah menyusul.” (Tentu saja aku tidak menyusul mereka)

Hal itu berjalan selama berbulan-bulan. Aku masih yakin dengan apa yang mereka lakukan di cottage masih seperti dulu. Belum lama ini aku pulang dari salah satu perjalanan bisnisku di luar jadwal. Aku ingin membuat kejutan untuk keluargaku. Tapi aku tidak mendapatkan mereka di rumah. Aku bertanya kepada pembantu di rumah tentang mereka, dia menjawab, “Mereka pergi ke cottage.”

Aku pergi ke sana dengan mobilku. Jam dua malam aku sampai. Kerinduan telah memenuhi hatiku. Anak-anak tidur, tetapi aku tidak menemukan istriku. Anak-anak tidur, tetapi aku tidak menemukan istriku. Pembantuku bangun dengan penuh kecemasan ketika aku membangunkannya. Di sisa malam itu aku menunggu. Mataku tertuju ke pintu, menunggu ia dibuka.

Menjelang pagi, istriku pulang ditemani oleh laki-laki yang tidak aku kenal. Begitu mengetahui aku di rumah, dia salah tingkah dan gugup. Dengan tenang aku memintanya duduk. Pertanyaan yang terpedam langsung terlontarkan, “Mengapa? Apa yang kurang bagimu?”

Dia menangis. Setelah tenang dia berkata, “Kamulah penyebabnya. Dulu kita hidup terjaga, berbahagia. Kemudian kamu membawa dan melempar kami di tempat ini. Semua orang melihat kami. Aku membutuhkanmu (sementara kamu tidak ada). Dengan berlalunya waktu, dengan seringnya berpandangan dan komentar, selanjutnya kamu mengetahuinya…”

Kami berpisah dengan baik-baik demi menjaga anak-anak dan nama baik keluarga kami berdua. Akan tetapi setelah aku merenung dan mengunjungi cottage itu berkali-kali, maka aku memahami apa maksud istriku.



Siapapun yang meninggalkan istri dan anak-anaknya di tempat seperti itu berarti dia meninggalkan mereka untuk serigala yang tidak takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Banyak di antara kita yang berkilah, isteri-isteri kami dan puteri-puteri kami tidak mungkin melakukan itu.

Akan tetapi selalu muncul pertanyaan: isteri dan puteri siapa? Bukankah mereka yang kita lihat berjalan tanpa penutup dan melihat…?

Nasihatku kepada setiap manusia: Janganlah engkau membiarkan anak-anak dan isteri-isterimu terancam bahaya dengan dalih menumpuknya pekerjaan. Jauhkanlah mereka dari kehidupan yang terlalu terbuka dan tanpa malu. Jangan sampai mereka bergaul dengan orang-orang rendahan yang setiap saat menebar jaring, mencari mangsa untuk dijadikan hiburan beberapa saat lalu dilepaskan begitu saja untuk mengincar yang baru.

Hatiku terbakar api setelah rumah tanggaku berantakan dan aku kehilangan istriku. Jika ada yang aku salahkan, maka itu adalah diriku sendiri. Seorang penanggung jawab, akan tetapi tidak bertanggung jawab.[1]

  1. Qashash Qaqi’iyah Muatsirah, hlm 95-97.

 

Sumber: Khalid Abu Shalih (Waspadalah Putriku, Serigala Mengintaimu!) 

Share this post

PinIt
scroll to top